Jakarta (Antaranews Babel) - Selain mempercepat pembangunan infrastruktur di Tanah Air, pemerintah juga perlu untuk mempercepat agenda kesejahteraan nelayan nusantara, terutama mengingat salah satu visi pemerintah adalah Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Terkait hal itu, Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Misbachul Munir mengingatkan bahwa saat ini, penghasilan nelayan sudah tidak sesuai dan tidak seimbang dengan kebutuhan pokok sehari-hari seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Menurut Misbachul, di tengah kondisi pengelolaan perikanan nasional yang tak kunjung membaik, berdampak kepada rendahnya harga ikan di sejumlah kampung nelayan.

Hingga kini nelayan tidak kuasa atas pengendalian pasar yang dilakukan oleh kalangan tengkulak.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah harus segera melakukan akselerasi agenda kesejahteraan nelayan pada tahun 2018 melalui bantuan pemerintah, seperti bantuan kapal yang harus dimonitoring secara ketat agar tepat sasaran dan sesuai target.

Kemudian, akses permodalan yang tidak memberatkan nelayan melalui kolaborasi dengan kelembagaan setempat yang adaptif dengan sosial budaya lokal saat ini.

Berdasarkan data KNTI, angka kredit macet UMKM Sektor Perikanan memburuk dengan mengalami kenaikan menjadi 5,04 persen pada tahun 2017 dari sebelumnya 4,30 persen pada 2016.

Hal tersebut, dinilai mengindikasikan fenomena kelesuan usaha ekonomi skala kecil hingga menengah di sektor perikanan.

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan pemerintah dapat memberdayakan dan menyejahterakan para perempuan yang menjadi nelayan di berbagai daerah dan tidak menyepelekan peran mereka.

Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang adalah perempuan.

Sekjen Kiara Susan Herawati mengemukakan, berdasarkan kajian pihaknya, perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran.

Namun ironinya, peran dan kontribusi perempuan nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dinilai belum diakui oleh negara.

Ia berpendapat bahwa saat ini, pada umumnya yang disebut sebagai nelayan adalah orang yang sumber mata pencahariannya dari menangkap ikan di laut, yang memiliki nilai ekonomis dan diasosiasikan sebagai laki-laki.

Padahal, meski perempuan nelayan memiliki multitugas dan tanggung jawab berkaitan dengan rumah tangga dan ekonomi, posisinya tetap disubordinasi sebagai isteri nelayan, bukan perempuan nelayan.
    
Infrastruktur perikanan

Di tengah ambisi pemerintah dalam membangun infrastruktur di berbagai daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Destructive Fishing Watch juga menginginkan pemerintah dapat memperkuat pembangunan infrastruktur unit pengolahan ikan (UPI) yang berkualitas guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Peneliti Destructive Fishing Watch Subhan Usman menuturkan, proses naik kelas nelayan lokal yang selama ini hanya mensuplai pasar-pasar lokal, akan bergeser dengan terbangunnya UPI.

Untuk itu, Subhan menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga seharusnya tidak melupakan intervensi penguatan kapasitas kelembagaan nelayan di berbagai lokasi sentra kelautan.

Hal tersebut, perlu dilakukan mengingat jenis-jenis bantuan masyarakat dan infrastruktur yang dibangun pemerintah di sentra perikanan memerlukan dukungan manajemen kelembagaan yang kuat.

Selain itu proses transisi dan perubahan orientasi tangkap dari tradisional menjadi modern membutuhkan pendampingan karena terkait dengan alih teknologi, dukungan permodalan, dan peningkatan keahlian.

Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan, program Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) masih belum berdampak nyata bagi nelayan sehingga belum benar-benar melesatkan tingkat kesejahteraan mereka.

Menurut Abdul Halim, SLIN yang selama ini dijalankan oleh KKP belum memberikan dampak nyata bagi masyarakat nelayan.

Apalagi dari sebanyak 12 titik pembangunan kawasan terpadu pengelolaan sumber daya ikan yang dibangun, ternyata kinerjanya tidak efektif.

Untuk itu, KKP dinilai sebaiknya fokus memfasilitasi masyarakat nelayan di sentra produksi ikan agar mereka bisa mendapatkan kemudahan dalam memperoleh izin melaut sehingga nelayan juga merasa aman dan nyaman serta bisa menjual hasil tangkapan dengan harga lebih baik.

Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu juga menginginkan agar dapat mendukung kemudahan perizinan melaut bagi nelayan, maka Kementerian Perhubungan juga harus bisa bersinergi dengan KKP.
    
Peran BUMN

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendorong BUMN Perindo dan Perinus untuk dapat menggerakkan sektor perikanan, dengan langkah menyerap hasil tangkapan ikan dari para nelayan di berbagai daerah.

Dalam forum bisnis di KKP, Jakarta, Senin (12/2), Menteri Susi menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong BUMN agar berperan lebih dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan.

Menurut dia, Perindo dan Perinus harus dapat mempercepat akselerasi arahan dari pemerintah karena bila tidak, surplus stok ikan, terutama di wilayah timur Nusantara, tidak akan bisa dimanfaatkan oleh kalangan pemangku kepentingan nasional.

Sebab bila tidak, maka pihak yang akan disalahkan adalah pemerintah yang dinilai kebijakannya selama ini di sektor kelautan dan perikanan dianggap tidak berhasil.

Jika hal itu yang terjadi maka berpotensi bisa kembali ke rezim lama di mana yang berkuasa adalah mereka yang menginginkan agar kapal-kapal eks-asing kembali melaut seperti zaman dahulu.

Sebelumnya, Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia Risyanto Suanda mengatakan, kebijakan moratorium kapal asing yang ditelurkan KKP selama ini menguntungkan BUMN sektor perikanan nasional.

Dalam diskusi di Jakarta, Jumat (19/1), dia menilai dengan adanya kebijakan KKP untuk menghentikan kapal asing pencuri ikan, maka Perum Perindo dapat mengukuhkan kehadirannya di perairan yang dulu dikuasai kapal-kapal asing seperti di Tual (Maluku), Sorong (Papua Barat), dan laut Arafuru.

Ia memaparkan, Perum Perindo mulai tahun 2013 ditugaskan untuk masuk ke perikanan tangkap, budi daya, dan perdagangan hasil laut. Selain Perum Perindo, BUMN Perikanan lainnya yang bergerak di sektor perikanan adalah Perum Perikanan Nusantara.

Meski awalnya hanya beroperasi sebagai pengelola pelabuhan perikanan Nizam Zaman Muara Baru, Jakarta Utara, kini kinerja Perum Perindo melejit dan saat ini mengelola beberapa pelabuhan perikanan lainnya di Pekalongan, Belawan, Parigi, dan Brondong.

Sedangkan mulai tahun 2018 Perum Perindo dinyatakan akan memiliki 77 unit kapal penangkap dan penampung ikan serta sejumlah lahan tambak udang yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Perum Perindo, aktif membeli langsung ke nelayan dan sentra perikanan di daerah untuk kebutuhan ekspor ikan ke Amerika Serikat.

Ke depan,Perum Perindo mengharapkan potensi industri perikanan makin dikembangkan dengan lebih mengefisienkan ongkos logistik, volume produksi, dan kualitas produk perikanan di Tanah Air.

Dengan adanya sinergi yang baik dari BUMN dalam menerapkan kebijakan yang diarahkan oleh pemerintah melalui KKP, maka diharapkan agenda peningkatan kesejahteraan nelayan bisa dipercepat.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018