Jakarta (Antaranews Babel) - Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta berbagai pihak menghentikan eksploitasi hiu yang umumnya kerap dilakukan di "nursery ground" atau daerah potensial pelepasan anakan hiu.
"BRSDM (Badan Riset dan Sumber Daya Manusia) mendorong sektor perikanan dan kelautan agar terlaksana secara berkelanjutan," kata Kepala Badan Riset dan SDM KKP M Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu.
Ia mengingatkan bahwa daerah potensial pelepasan anakan hiu terdapat antara lain di kawasan terumbu karang, di perairan pantai yang dangkal, atau wilayah estuari atau tempat ikan mencari makan.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat mengakibatkan penurunan populasi hiu dan pari secara cepat sehingga dinilai juga memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali.
Karakteristik biologi ikan hiu dan pari diketahui memiliki laju reproduksi yang relatif rendah, usia matang seksual lama, dan laju pertumbuhannya yang lambat.
"Pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan, dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya," paparnya.
Terkait hal tersebut, KKP bersama Conservation International, Misool Foundation, dan World Wildlife Fund (WWF) menggelar Simposium Nasional Hiu dan Pari Indonesia di Gedung Mina Bahari IV, KKP, Jakarta, 28-29 Maret.
Simposium itu mengundang akademisi, peneliti, dan praktisi untuk berkontribusi dalam pengelolaan dengan mengirimkan abstrak penelitian terkait dengan sejumlah subtema mengenai aspek biologi, populasi, ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, serta pengelolaan dan konservasi.
Dalam simposium itu juga terdapat 75 pemakalah terkait sumber daya ikan hiu dan pari, serta adanya proses kajian pakar yang diharapkan dapat dijadiak acuan dalam penyusunan cetakan terbaruk Buku Putih Perikanan Hiu di Indonesia.
Diharapkan pula ada rekomendasi kebijakan pengelolaan hiu dan pari secara berkelanjutan berbasis ilmiah, terutama yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"BRSDM (Badan Riset dan Sumber Daya Manusia) mendorong sektor perikanan dan kelautan agar terlaksana secara berkelanjutan," kata Kepala Badan Riset dan SDM KKP M Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu.
Ia mengingatkan bahwa daerah potensial pelepasan anakan hiu terdapat antara lain di kawasan terumbu karang, di perairan pantai yang dangkal, atau wilayah estuari atau tempat ikan mencari makan.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat mengakibatkan penurunan populasi hiu dan pari secara cepat sehingga dinilai juga memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali.
Karakteristik biologi ikan hiu dan pari diketahui memiliki laju reproduksi yang relatif rendah, usia matang seksual lama, dan laju pertumbuhannya yang lambat.
"Pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan, dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya," paparnya.
Terkait hal tersebut, KKP bersama Conservation International, Misool Foundation, dan World Wildlife Fund (WWF) menggelar Simposium Nasional Hiu dan Pari Indonesia di Gedung Mina Bahari IV, KKP, Jakarta, 28-29 Maret.
Simposium itu mengundang akademisi, peneliti, dan praktisi untuk berkontribusi dalam pengelolaan dengan mengirimkan abstrak penelitian terkait dengan sejumlah subtema mengenai aspek biologi, populasi, ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, serta pengelolaan dan konservasi.
Dalam simposium itu juga terdapat 75 pemakalah terkait sumber daya ikan hiu dan pari, serta adanya proses kajian pakar yang diharapkan dapat dijadiak acuan dalam penyusunan cetakan terbaruk Buku Putih Perikanan Hiu di Indonesia.
Diharapkan pula ada rekomendasi kebijakan pengelolaan hiu dan pari secara berkelanjutan berbasis ilmiah, terutama yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018