Jakarta (Antaranews Babel) - Pemberlakuan desentralisasi/otonomi daerah yang diterapkan sejak 2001 masih dibayangi sejumlah kendala dalam 20 tahun Reformasi, kata Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.
"Berbagai studi yang dilakukan LIPI dan institusi lain menunjukkan bahwa tidak sedikit kendala yang dihadapi daerah dalam melaksanakan otonomi," katanya dalam acara Seminar Nasional 20 Tahun Reformasi bertajuk "2 Dekade Reformasi: Quo Vadis Politik Yang Bermanfaat" di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan masalah pertama yakni konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acap kali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas.
"Masalah kedua ini menunjukkan bahwa kendala tidak hanya berasal dari pelaku di pusat, tapi juga pelaku di daerah, yang acapkali menonjolkan ego sehingga menghambat daerah untuk berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antardaerah," jelas Siti.
Ketiga, hal rinci menyangkut kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah, dan keempat, adanya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Sementara itu politik lokal juga dinilai masih menganut oligarki kekuasaan sehingga menghambat otonomi daerah, di mana selama empat tahun pertama pemberlakuan desentralisasi dan otda 2001-2004, peran DPRD tidak digunakan untuk memonitor dan mengawal kinerja Pemda, melainkan untuk melakukan daya tawar politik untuk kepentingan diri dan partainya saja.
"Hak yang sama juga tampak selama kurun 2005 sampai saat ini, di mana otonomi daerah juga tidak menghasilkan capaian yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat," kata dia.
Dia menekankan dengan adanya hambatan dalam proses pelaksanaan desentralisasi dan otda, bukan berarti riwayat desentralisasi dan otda berakhir.
Untuk menjawab problematika pelaksanaan desentralisasi dan otda, kata Siti, ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan, antara lain membangun komitmen jelas antarpemangku kepentingan berkenaan pelaksanaan otda, mendorong implementasi good governance, penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, adanya political will mewujudkan harmonisasi hubungan pusat dan daerah, serta konsistensi pemeritnah dalam mengendalikan gejala pemekaran wilayah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Berbagai studi yang dilakukan LIPI dan institusi lain menunjukkan bahwa tidak sedikit kendala yang dihadapi daerah dalam melaksanakan otonomi," katanya dalam acara Seminar Nasional 20 Tahun Reformasi bertajuk "2 Dekade Reformasi: Quo Vadis Politik Yang Bermanfaat" di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan masalah pertama yakni konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acap kali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas.
"Masalah kedua ini menunjukkan bahwa kendala tidak hanya berasal dari pelaku di pusat, tapi juga pelaku di daerah, yang acapkali menonjolkan ego sehingga menghambat daerah untuk berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antardaerah," jelas Siti.
Ketiga, hal rinci menyangkut kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah, dan keempat, adanya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Sementara itu politik lokal juga dinilai masih menganut oligarki kekuasaan sehingga menghambat otonomi daerah, di mana selama empat tahun pertama pemberlakuan desentralisasi dan otda 2001-2004, peran DPRD tidak digunakan untuk memonitor dan mengawal kinerja Pemda, melainkan untuk melakukan daya tawar politik untuk kepentingan diri dan partainya saja.
"Hak yang sama juga tampak selama kurun 2005 sampai saat ini, di mana otonomi daerah juga tidak menghasilkan capaian yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat," kata dia.
Dia menekankan dengan adanya hambatan dalam proses pelaksanaan desentralisasi dan otda, bukan berarti riwayat desentralisasi dan otda berakhir.
Untuk menjawab problematika pelaksanaan desentralisasi dan otda, kata Siti, ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan, antara lain membangun komitmen jelas antarpemangku kepentingan berkenaan pelaksanaan otda, mendorong implementasi good governance, penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, adanya political will mewujudkan harmonisasi hubungan pusat dan daerah, serta konsistensi pemeritnah dalam mengendalikan gejala pemekaran wilayah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018