Jakarta (Antaranews Babel) - Ketua Lembaga Bantuan Hukum Garda Tipikor Indonesia (LBH-GTI) Prof Yislam Alwini menilai proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua sejak awal diindikasikan banyak diwarnai pelanggaran.

"Ada banyak indikasi pelanggaran. Saya melihat KPU Puncak sejak awal cenderung berpihak kepada pasangan calon petahana," kata Yislam kepada pers di Jakarta, Rabu.

Ketua LBH-GTI yang juga Ketua Umum Komisi Nasional Pilkada Independen itu mengaku mendapat laporan bahwa pada pilkada 27 Juni 2018 beberapa Komisioner KPU Puncak melakukan pelanggaran aturan secara terstruktur, sistematis dan massif.

KPU Puncak melakukan pelanggaran dengan menetapkan pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan, yakni Willem Wandik (petahana) dan calon wakilnya, Alus Uk Murib, di mana Alus Murib diindikasikan menggunakan ijazah palsu.

Kemudian, dalam rapat pleno yang digelar oleh KPU Puncak di Jakarta pada 23 Mei 2018 ditetapkan calon wakil bupati pengganti adalah Pelinus Balinal karena Alus Murib telah terbukti menggunakan ijazah palsu.

Di sisi lain, pasangan Repinus Telenggen dan David Ongomang seharusnya ditetapkan sebagai calon berdasarkan Putusan Panwas Kabupaten Puncak, namun putusan itu tidak pernah ditindaklanjuti.

Dalam kaitan ini Ketua KPU RI dalam penjelasannya menyebutkan bahwa apapun Putusan Panwas, KPU setempat wajib menindaklanjuti putusan tersebut tanpa harus memberikan penafsiran serta tanpa melakukan verifikasi dan klarifikasi.

Ketua LBH-GTI juga mendapat laporan, pada Pilkada 27 Juni 2018 kertas surat suara dicetak dua kali oleh KPU Puncak. Pertama atas nama Paslon Willem Wandik dan Alus Uk Murib. Lalu setelah diketahui banyak pihak, KPU Puncak mencetak ulang surat suara atas nama Willem Wandik dan Pelinus Balinal.

KPU Puncak juga tidak mendistribusikan stempel untuk 25 Distrik serta untuk  Panitia Pemungutan Suara (PPS) di 206 kampung atau desa, sementara Panitia Pemilihan Distrik (PPD) di 25 Distrik tidak mengeluarkan undangan pemilih kepada PPS untuk diteruskan kepada pemilih.

Selain itu, ditemukan adanya nama paslon dalam Berita Acara Model C1-KWK atas nama Willem Wandik dan Pelinus Balinal, sedangkan dalam Berita Acara Model C5-KWK dan Berita Acara Model DAA-KWK halaman 2 ditemukan nama paslon Willem Wandik dan Alus Uk Murib.

Prof Yislam juga mendapat laporan bahwa hampir 90 persen dari jumlah pemilih di Kabupeten Puncak tidak dapat melakukan pencoblosan karena TPS yang ditetapkan oleh KPU Puncak dan PPD jaraknya jauh dari tempat tinggal pemilih.

"Kemudian, pada Berita Acara Model C1-KWK tidak tersedia kolom kotak kosong. Ini menunjukkan bahwa paslon tunggal khawatir dan takut kalau kotak kosong mengalahkannya," ujarnya.

Jauh sebelumnya, Komisioner KPU RI pada awal Februari 2018 menunjukkan bahwa terkait Pilkada di Kabupaten Puncak sudah terdaftar dua bakal calon dari jalur partai dan satu bakal calon perseorangan sebagaimana tertera pada Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU.

Pasangan dimaksud adalah Willem Wandik-Alus Murib dan Repinus Telenggen-David Ongomang dari jalur Parpol serta bakal calon perseorangan Hosea Murib-Yoni Wanimbo. Tapi KPU Puncak mengabaikan berkas pendaftaran dua bakal calon di luar Willem Wandik-Alus Murib.

Terkait banyaknya pelanggaran itu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Manase Wandik dari jabatannya sebagai Ketua KPU Puncak. Pada waktu berbeda DKPP menonaktifkan sementara dua Komisioner KPU Puncak karena mereka merangkap sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Dari adanya rangkaian pelanggaran pada Pilkada Puncak, Panwaslu setempat serta Bawaslu, KPU Provinsi Papua, dan KPU Pusat harus segera melakukan tindaklanjut, sebab saya pribadi menilai Pilkada Puncak harus batal demi hukum karena tidak sesuai aturan yang berlaku," demikian Prof Yislam.

Pewarta: Riza Fahriza

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018