Jakarta (ANTARA) - Hari Jumat, 2 Agustus 2019, pasti merupakan saat yang amat membahagiakan bagi seorang wanita bernama Baiq Nuril yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai seorang guru honorer di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) karena berhasil bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.
Joko Widodo yang pada 20 Oktober 2019 bakal dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan keduanya kurun waktu 2019-2024, menyaksikan penyerahan salinan surat Keputusan Presiden tentang pemberian amnesti kepada Baiq Nuril yang pernah dianggap telah melanggar Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik(ITE), dari Menhukam Yasonna Laoly.
Kasus hukum yang menimpa ibu guru ini diawali ketika beberapa tahun lalu, kepala sekolah menengah atas (SMA) tempat Nuril mengabdikan diri sebagai seorang guru telah berulang kali menelepon anak buahnya itu untuk menceritakan pengalamannya di bidang seksual. Karena tidak tahan diperlakukan secara tidak senonoh tersebut maka akhirnya Baiq Nuril merekam omongan yang tidak senonoh itu.
Akhirnya rekaman itu tersebar ke masyarakat luas terutama di Kota Lombok. Tidak tahan telah dijadikan cemoohan warga NTB maka akhirnya sang kepala sekolah itu justru melaporkan Nuril ke kantor kejaksaan setempat yang mengakibatkan kasus tersebut dibawa ke pengadilan negeri setempat. Namun, para hakim membebaskannya.
Karena kepala sekolah tak senonoh ini tidak merasa puas maka akhirnya mengajukan perkara ini ke pengadilan tinggi. Nah disinilah persoalannya karena Nuril ternyata dihukum.
Merasa tidak puas Nuril membawa kasus ini ke Mahkamah Agung, namun lembaga negara ini tetap menganggap Nuril lah yang bersalah telah melanggar Undang- Undang ITE.
Akan tetapi karena Nuril yakin bahwa dirinya tidak bersalah maka kemudian dia membawa kasus ini kepada Presiden Joko Widodo untuk minta amnesti (pengampunan).
Nuril kemudian datang ke Jakarta untu mengadukan nasibnya seperti kepada Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dengan dukungan berbagai pihak akhirnya Moeldoko dan Yasonna Laoly bersedia membantu Nuril.
Jokowi lalu membuat surat kepada DPR tentang kemungkinan pemberian amnesti sebab peraturan perundangan menetapkan bahwa amesti harus disetujui DPR.
Kemudian semua wakil rakyat menyetujui amnesti itu sehingga akhirnya Presiden selaku Kepala Negara menerbitkan sebuah keputusan presiden.
Kasus lain adalah yang menyangkut dokter gigi Romi dari Sumatera Barat yang surat pengangkatan dirinya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) telah dibatalkan atau ditolak oleh pimpinan Kabupaten itu karena dia menggunakan kursi roda akibat termasuk kelompok disabel. Padalah Romi mendapat nilai tertinggi.
Sekalipun tidak diketahui masyarakat apakah Presiden Jokowi ikut mencampuri atau turun tangan terhadap kasus drg Gigi ini, lagi-lagi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko turun tangan dengan menerima drg Romi yang tetap menggunakan kursi rodanya.
Kemudian Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga telah menerima Romi dan wanita ini sangat berharap agar dia akhirnya tetap disahkan sebagai CPNS.
Tugas-tugas Presiden
Joko Widodo tentu amat menyadari bahwa tugas-tugasnya amat berat mulai dari menangani masalah ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan hingga politik serta 1.001 masalah "tetek bengek" lainnya.
Yang patut dipertanyakan masyarakat adalah apakah semua kasus yang dihadapi masyarakat harus dilaporkan dan kemudian disetujui penyelesaiannya oleh seorang presiden yang juga Kepala Negara?
Contoh mudah atau gampangnya, misalnya, haruskah Presiden mengomentari letusan atau erupsi Gunung Tangkuban Parahu di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, beberapa hari lalu? Ataukah haruskah Presiden dimintai komentarnya tentang setumpuk sampah yang menutupi sungai Bahagia di Bekasi, Jawa Barat?
Rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia tahu bahwa Joko Widodo memiliki kurang lebih 33 menteri, kepala lembaga pemerintah nonkementerian serta ratusan direktur jenderal dan ribuan pejabat lainnya di Jakarta dan 33 provnsi lainnya. Di Tanah Air terdapat 34 provinsi serta 514 kota dan kabupaten.
Kalau setiap kasus alias 90 persen masalah harus diketahui seorang kepala negara, maka apa gunanya jajaran pemerintah di semua lini itu terutama di daerah-daerah? Masalah di daerah mulai di provinsi, kota dan kabupaten yang perlu atau bahkan harus secepatnya dilaporkan kepada seorang presiden, misalnya, kebakaran yang menimpa beberapa daerah secara sekaligus umpamanya di Riau dan juga Provinsi Kalimantan Tengah.
Kasus yang menimpa dokter gigi Romi seharusnya cukup atau maksimal diselesaikan di Provinsi Sumatera Barat sehingga tidak perlu "dipelototi" oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, KSP Moeldoko serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin.
Setiap pejabat mulai dari menteri, sekretaris jenderal dan direktur jenderal di semua jajaran kementerian, bupati dan wakil bupati, sekretaris daerah hingga kepala biro kesejahteraan sosial pasti telah mengetahui uraian tugas alias job description masing-masing penugasannya. Kemudian pemerintah juga pasti sudah menyusun pembagian tugas setiap pejabat.
Jadi, karena Jokowi akan segera memasuki masa penugasan yang keduanya itu, maka tentu dia berhak mengingatkan ataupun memperingatkan semua jajarannya bahwa karena tugas pemerintah akan semakin banyak dan sekaligus berat selama lima tahun mendatang, maka setiap jajaran harus siap mental untuk menangani apa pun masalah yang timbul di dalam masyarakat harus diselesaikan terlebih dahulu di tingkat terbawah.
Kalau pejabat di bawah tak sanggup maka baru dibawa ke tingkat yang di atasnya sehingga seharusnya kewajiban atau tugas seorang kepala negara adalah menangani hal-hal yang benar-benar mendasar (prinsipil) atau benar-benar bersifat strategis, misalnya, bagaimana memindahkan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar Pulau Jawa.
Presiden umpamanya tak usah menangani berapa jumlah pegawai Kementerian Sosial ataupun Agama yang harus dipindahkan ke Ibu Kota RI yang baru itu . Tidak lagi perlu ada kasus dokter Romi terulang-ulang lagi pada masa depan hanya karena tuan bupati dan jajarannya tidak becus bekerja.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009