Jakarta (Antara Babel) - Mengurus organisasi sepakbola ternyata tak cukup mencurahkan perhatian pada organisasinya yang sekarang ini dibekukan Menpora, karena banyak hal lain, di antaranya organisasi pelatih, wasit dan urusan nonteknis lainnya seperti pengelolaan lapangan hingga urusan "si tarkam" pun patut ikut diurusi.
Menpora Imam Nahrawi pada medio April 2015 membekukan PSSI saat induk organisasi sepak bola Indonesia itu sedang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Jawa Timur.
Dasar pembekuan tersebut mengacu pada tidak diindahkannya SP1, SP2 dan SP3 untuk PSSI yang jatuh tempo pada tanggal 17 April 2015. Pembekuan dianggapnya sebagai langkah tegas dari pemerintah. Dengan demikian, dengan adanya pembekuan tersebut, pemerintah tidak mengakui seluruh kegiatan yang dilakukan oleh PSSI.
PSSI " Persatuan Sepak bola Indonesia" adalah induk organisasi olah raga terbesar di Tanah Air. Kantornya bertebaran dari ujung Merauke hingga Sabang di bagian paling barat Provinsi Aceh.
Pada awalnya kantor organisasi sepak bola itu ada yang menumpang di rumah seseorang, ngontrak atau berdiri megah karena dapat dukungan dari pemda setempat atau pihak sponsor. Tetapi sekarang ini PSSI berkibar dari Sabang hingga Merauke di Papua. Dan harus diakui bahwa cabang olah raga ini menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.
Jika diibaratkan sebuah organisasi partai, untuk era reformasi dewasa ini, hanya PSSI yang merupakan organisasi terbesar. Minimal untuk setiap kabupaten ataupun kota, organisasi sepak bola hadir di sana.
Kendati PSSI dibekukan, sepak bola tetap dimainkan, sepak bola "tarkam" "kompetisi sepak bola antarkampung" menjadi semakin marak. Pamain berkelas nasional pun ikut ambil bagian bukan lagi sebagai penggembira.
Berikutnya, konsekuensi dari pembekuan itu, PSSI pun mendapat sanksi pula dari Federation of International Football Association (FIFA), organisasi sepak bola dunia, di penghujung Mei 2015.
Mengejutkan, memang, menjadi pemain "tarkam" kini menjadi sebuah kebutuhan bagi para pesepak bola. Mengenai gengsi pemain nasional bermain di situ, itu soal lain. Toh, martabatnya tak menghilang sebagai pemain sepak bola. Kebutuhan menendang, mengolah dan mengasah keterampilan si kulit bundar kini menjadi kebutuhan. Maman Abdulrahman, Ramdani Lestaluhu (pemain Persija Jakarta), kiper AndriTany. Ramdani dan Maman Abdurahman misalnya, ikut main tarkam di Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Diego Michels main futsal di Garuda All Star.
Awal ketika PSSI dipimpin Kardono, Sigit Harjojudanto, Wahab Abdi, Acub Zaenal, dan sekjennya Nugraha Besoes, kondisi organisasi persepakbolaan Indonesia secara fisik belum terlalu menggembirakan. Khususnya kantor PSSI di tingkat daerah, ada yang ngontrak, ditempatkan di garasi hingga untuk mendapatkan bola standar nasional saja masih kurang. Terlebih lagi jika bicara utang PSSI, yang banyak diselesaikan oleh kepemimpinan Kardono.
Saat itu, jika dilihat kompetisi sepak bola nasional memulai mengalami perbaikan. Namun untuk beberapa daerah, kondisinya masih sangat memprihatinkan. Untuk menjadi pengurus sepak bola saja masih dianggap tidak menarik. Pasalnya, mengurus bola butuh "fulus" cukup besar. Berbeda dengan mengurus olah raga perorangan, yang jika memperoleh medali, perolehannya sama dengan satu cabang olah raga yang banyak melibatkan banyak pemain.
Belakangan, para tokoh di daerah mulai tertarik mengurus bola lantaran di situ ada "kantong suara" untuk menarik dukungan sebagai kepala daerah. Terlebih di beberapa daerah, tim sepak bola mendapat dukungan dana APBD setempat. Olah raga ini memang memiliki ikatan emosional kuat dengan warganya, para penggila bola dan dapat mengalihkan perhatian terhadap suatu isu.
Porkas
Sepak bola Indonesia pernah dikaitkan dengan undian Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola (1985). Secara kelembagaan, urusan kupon berhadiah dan sepak bola sejatinya tak punya kaitan lantaran dikelola terpisah. PSSI tak terlibat dalam pengelolaannya. Namun faktanya, saat itu, para pengurus sepak bola sedikit direpotkan dengan urusan judi itu.
Para pemain nasional dicurigai sebagai pengatur skor di lapangan. Apalagi pada malam tertentu Mangga Besar atau "mabes" kerap menjadi tempat tujuan favorit bagi pemain sepak bola untuk mencari hiburan malam. Maka, mencuatlah stigma bahwa skor pertandingan sepak bola sepenuhnya di atur dari kawasan itu.
Terminologi sepak bola di Tanah Air pun makin berkembang di kalangan wartawan olah raga yang tergabung dalam Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) PWI Jaya, seperti "mabes", "tiang gawang jauh", "gawang jarak dekat", yang maknanya hanya dapat dipahami wartawan itu sendiri.
Organisasi sepak bola di awal 1980 mulai banyak diurus penggila bola. Dari sisi pemerintahan, saat itu, mengurus organisasi bola secara tidak langsung mendapat poin atau penilaian "plus" lantaran mencerminkan sebagai orang memiliki kepedulian kepada publik.
Hal itu dapat dipahami karena sepak bola merupakan olah raga paling digemari meski dari sisi prestasi dari dulu hingga kini terus menerus mengalami pasang-surut.
Karena itu, tidak heran, tatkala berlangsung kompetisi, mulai bupati hingga gubernur memberi perhatian khusus. Mereka hadir menyaksikan pertandingan. Bahkan sebelum mulai pertandingan, digelar pertandingan sepak bola antarpejabat. Jika timnya menjadi juara, pemain dapat sanjungan tinggi dan dapat bonus.
Jika saja sepak bola Indonesia diurus pejabat, barangkali menpora saat itu akan berfikir dua kali untuk membekukan PSSI. Namun di era reformasi kini, pejabat mana sih yang mau mengurus sepakbola jika tidak ada dukungan dari bawah dan atas. Sponsor pun tak bakal mengalir untuk memberi dukungan kompetisi.
Tatkala PSSI masih dibawah kepemimpinan Kardono, bentuk Intervensi atau setidaknya memasuki dan mencampuri urusan PSSI sebetulnya sudah ada. Jadi, jika Kemenpora membekukan induk organisasi sepak bola itu dimaknai sebagai intervensi, hal itu bukanlah hal baru.
Kirim surat
Pengurus KONI, yang saat itu berpangkat jenderal, berkirim surat kepada pemimpin umum kantor berita Antara, Handjojo Nitimihardjo. Surat tersebut maka tanpa "ba bi bu", tanpa dipanggil dan dimintai pendapatnya, tahu-tahu reporter yang biasa meliput di PSSI "grounded", dihukum tidak diperbolehkan meliput setiap kegiatan olahraga yang berbau sepak bola.
Belakangan, Kardono mengetahui peristiwa tersebut. Kemudian beberapa hari berikutnya ia pun memerintahkan pimpinan Antara agar reporter olah raga bersangkutan untuk diaktifkan kembali. Tentu saja, Kardono dengan posisinya sebagai Sekretaris Militer Kepresidenan perintahnya dipatuhi oleh Hanjojo Nitimiharjo. Selanjutnya, Kardono membuat siaran pers yang menjelaskan kedudukan PSSI memiliki ikatan kuat dengan KONI untuk memajukan sepak bola nasional, tetapi bukan mengintervensi urusan di luar itu.
Dari sisi historis, memang prestasi sepak bola Indonesia di Olimpiade tak boleh dilupakan. Indonesia (1938) menjadi tim Asia pertama tampil di Piala Dunia FIFA. Walaupun piala dunia di Prancis itu bukan diwakili timnas Indonesia, karena masih di bawah jajahan Hindia Belanda. Namun Indonesia tetap bangga karena para pemain NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie), tim yang berangkat dengan bendera Hindia Belanda saat itu kebanyakan adalah orang pribumi. Penampilan NIVU mencatat sejarah sebagai tim sepak bola Asia pertama yang tampil di piala dunia.
Pada Olimpiade 1956 di Melbourne Australia timnas sepak bola Indonesia memang gagal meraih tropi juara. Tapi tim besutan pelatih Toni Pogacknik (Yugoslavia) berhasil membuat sensasi dengan menahan imbang tanpa gol raksasa sepak bola dunia saat itu, Uni Soviet.
Masih banyak prestasi, seperti pada Asian Games 1958 di Tokyo, meraih medali perunggu, SEA Games 1987 dan 1991, Piala Asia 2004, dan Piala AFF 2010.
Belakangan, timnas prestasinya tidak menggembirakan. Kompetisi terhenti, pemain kehilangan penghasilan. Ujungnya, bisnis ikutan lainnya dalam sepak bola nasional juga terhenti. Uang sponsor ke sejumlah klub terhenti, pemain lokal dan asing 'nganggur'. Industri kreatif, seperti pembuatan kaos dan makanan yang biasa digelar saat pertandingan, ikut terhenti. Tentu semua berharap, semoga pembekuan PSSI tidak berlangsung lama.