Pangkalpinang (ANTARA) - PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) melakukan berbagai persiapan infrastruktur, teknologi dan sumber daya manusia agar mampu berperan banyak dalam ekosistem perdagangan karbon di Indonesia.
"Terkait dengan teknologi untuk berperan sebagai lembaga kliring di perdagangan karbon, KBI memanfaatkan teknologi 'blockchain'. Dengan teknologi ini akan memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon dan memastikan tidak terjadi 'double counting' dalam proses pencatatan," kata Direktur Utama PTR KBI (Persero) Fajar Wibhiyadi dalam rilis yang diterima di Pangkalpinang, Senin.
Pemanfaatan teknologi "blockchain" bukan pertama kali dilakukan KBI, karena sebelumnya telah menggunakan teknologi ini untuk aplikasi registrasi dalam ekosistem resi gudang.
Beberapa langkah yang dilakukan PT KBI merupakan bentuk persiapan perkembangan bisnis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terkait isu perdagangan karbon atau "carbon trade".
Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya mitigasi iklim yang pertama kali diperkenalkan melalui Protokol Kyoto yang disepakati pada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim tahun 2005.
Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan konsep jual beli, namun dalam perdagangan karbon ini yang diperjualbelikan adalah emisi karbon. Dalam skema perdagangan karbon, diberlakukan sistem kredit atau kuota yaitu setiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon akan diberikan kuota tertentu.
Jika produksi emisi karbon melebihi kuota tersebut, maka perusahaan dapat membeli kredit pada perusahaan lain yang memiliki kuota.
Saat ini emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Hidroflurokarbon (HFCs), Nitrat Oksida (N2O, Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfur Heksafluorida (SF6).
Di Indonesia, implementasi "crediting" telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.
Sebagai negara pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29 persen dari skenario emisi gas rumah kaca secara "business as usual" (BAU), dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e.
Terkait perdagangan karbon, di Indonesia telah diatur melalui Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan, perdagangan karbon dapat dilakukan dengan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung.
Menurut Fajar, perdagangan karbon akan menjadi hal baru di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Presiden perdagangan karbon dapat dilakukan dengan melalui bursa karbon, dan atau perdagangan langsung, yang tentunya ada lembaga kliring dalam ekosistemnya.
"KBI telah memiliki pengalaman 37 tahun sebagai lembaga kliring di perdagangan berjangka komoditas, ini akan menjadi modal positif bagi KBI untuk menjadi lembaga kliring di perdagangan karbon, baik dilakukan melalui bursa dan atau perdagangan langsung," katanya.
Selain keberadaan lembaga kliring, dalam ekosistem perdagangan karbon melalui mekanisme bursa terdapat beberapa lembaga, yaitu perusahaan yang menghasilkan oksigen (penjual), perusahaan yang menghasilkan emisi karbon (pembeli), lembaga survei, serta bursa.