Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan daftar produk obat sirop yang dilarang untuk diresepkan dan diperdagangkan di Indonesia mengerucut pada 102 merek dagang.
"Kami belum 100 persen tahu mana yang obat sirop yang berbahaya. Tapi, 75 persen sudah diketahui, sehingga dilarang untuk diresepkan dan dijual di apotek," kata Budi Gunadi Sadikin dalam agenda konferensi pers terkait gagal ginjal akut progresif Atipikal (Acute Kidney Injury/AKI) yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Jumat.
Budi mengatakan Kemenkes dibantu organisasi profesi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menginstruksikan kepada kalangan apoteker dan dokter untuk tidak meresepkan daftar obat sirop yang berisiko memicu AKI.
Daftar obat sirop yang dikonsumsi pasien AKI di Indonesia berdasarkan telisik Kemenkes RI pada pasien AKI di Indonesia dapat dilihat pada tautan ini.
Budi mengatakan pihaknya tidak punya wewenang menarik ratusan produk obat tersebut dari peredaran, tapi bisa melarang penjualannya secara sementara di seluruh jaringan apotek sambil menanti hasil penelusuran lebih lanjut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Budi mengatakan baru-baru ini pihaknya menginstruksikan agar seluruh produk obat sirop yang beredar luas di Indonesia dihentikan sementara penggunaannya selama proses investigasi penyebab AKI.
Upaya itu ditempuh Kemenkes sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah menyikapi laju kasus AKI yang mencapai 241 pasien di 22 provinsi dengan angka kematian 133 jiwa.
"Dua hari lalu, karena belum terarah, kami tahan semua dulu. Yang kami tahu, semua obat sirop memiliki probabilitas senyawa berbahaya," katanya.
Menkes Budi mengatakan seluruh produk obat sirop tersebut terbukti secara klinis mengandung bahan polyethylene glikol yang sebenarnya tidak berbahaya sebagai pelarut obat sirop selama penggunaanya berada pada ambang batas aman.
"Kalau formula campurannya buruk, polyethylene glikol bisa memicu cemaran seperti Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol Butil Ether (EGBE). Kalau dilihat, polyethylene glikol adalah pelarut tambahan yang jarang dicatat dalam informasi produk obat," katanya.
Pada Kamis (20/10) malam, Kemenkes mengundang para ahli farmakologi, dokter, hingga organisasi apoteker untuk mengecek lebih rinci mana saja produk obat sirop yang benar-benar bahaya untuk dikonsumsi publik.
"Setelah kami tutup semua (distribusi obat sirop), kami coba longgarkan pelan-pelan," katanya.
Obat sirop yang diizinkan untuk kembali beredar hanya yang terbukti secara klinis oleh BPOM tidak mengandung pelarut polyethylene glikol.
"Dari sekian ribu obat sirup, mana yang tidak ada polyethylene glikol, kita buka (kembali diedarkan di pasaran)," katanya.
Sebelumnya, dalam rilis resmi BPOM dikemukakan tenaga kesehatan dan industri farmasi didorong untuk terus aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional melalui aplikasi e-MESO Mobile.
BPOM akan terus memperbaharui informasi terkait dengan hasil pengawasan terhadap sirup obat sesuai dengan data yang terbaru.