Selatpanjang, Riau (Antara Babel) - Badan Restorasi Gambut akan
memulihkan 933.000 hektare lahan gambut yang rusak di Provinsi Riau
selama lima tahun ke depan dan membutuhkan dana Rp11,196 triliun untuk
melakukannya.
"Estimasi kami membutuhkan lebih Rp12 juta per hektare," kata
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead kepada Antara pada pencanangan
dimulainya restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti, Selasa.
Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) awal
2016 guna memulihkan dua juta hektare lahan gambut dalam lima tahun.
Tujuan utamanya untuk mengatasi kebakaran lahan akibat kerusakan
ekosistem gambut.
Restorasi akan dilakukan di lahan-lahan gambut yang tersebar di
tujuh provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Tahun ini Badan Restorasi Gambut menargetkan bisa merestorasi 30
persen lahan gambut yang rusak, sekitar 600.000 hektare lahan gambut
yang ada di Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, Ogan Komering Ilir dan
Musi Banyuasin di Sumatera Selatan, dan Kepulauan Meranti di Riau.
Khusus di Riau, Nazir Foead menyatakan Presiden meminta pemulihan lahan gambut di Kepulauan Meranti menjadi prioritas.
"Skala kebakaran di Meranti tak begitu besar dibandingkan tiga
daerah lainnya, tapi dipilih karena Presiden melihat adanya peran serta
masyarakat setempat dengan mendayagunakan komoditi sagu. Karena itu,
pencanangan kegiatan BRG pertama dilaksanakan di Riau, khususnya
Meranti," katanya.
Namun, ia mengatakan, sampai saat ini belum ada alokasi dana untuk
lembaganya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Menurut
dia, Badan Restorasi Gambut sudah menyampaikan usul anggaran dan
Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas masih membahasnya.
"Anggaran khusus untuk BRG di APBN belum pasti karena masih dihitung dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas," ujarnya.
Untuk sementara waktu, ia menjelaskan, program restorasi gambut
masih mengandalkan anggaran rehabilitasi lahan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta sumbangan dari pemerintah
Norwegia, dan bantuan Amerika Serikat melalui lembaga USAID.
Pemerintah Norwegia pada Februari 2016 sepakat mengalokasikan dana
hibah 50 juta dolar AS untuk membantu restorasi lahan gambut Indonesia,
sementara bantuan dari Amerika Serikat untuk upaya itu sekitar 17 juta
dolar AS.
Selain itu, ia mengatakan, pemerintah berencana mengalihkan
sebagian anggaran untuk pemadaman kebakaran lahan ke program restorasi
gambut.
Nazir juga mengharapkan dukungan dana dari sektor swasta untuk program restorasi gambut.
"Ini bukan kerja yang ringan, jadi ini harus mengetuk hati
kawan-kawan di dunia usaha untuk segera melakukan dengan efektif dan
akan terus dipantau," katanya.
Sebagai langkah awal, BRG akan menginventarisasi lahan yang siap
direstorasi agar tidak menimbulkan masalah hukum ke depannya.
BRG
mulai memetakan luas lahan yang ada konsesinya, konsesi lahan
berkonflik yang harus diselesaikan sebelum direstorasi, serta lahan
milik warga atau lahan masyarakat adat yang harus masuk program
restorasi.
"Dari 933.000 di Riau tidak semua bisa langsung direstorasi karena
masih ada aspek legalitas lahan yang harus dituntaskan," katanya.
BRG akan fokus melakukan pembasahan kembali dan penanaman kembali lahan gambut rusak.
Upaya
pembasahan kembali akan dilakukan dengan memasang sekat di lahan-lahan
gambut supaya air yang tertampung di musim hujan tak mengalir ke tempat
lain sehingga tidak terlalu kering saat kemarau.
Jika gambut yang
tetap basah, maka risiko kebakaran lahan dan hutan menurun dan lahan
bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan seperti sagu.
Restorasi Gambut Riau Butuh Dana Rp11 Triliun
Selasa, 12 April 2016 12:54 WIB