Jakarta (ANTARA) - Apa yang dikonsumsi seorang ibu selama hamil dan menyusui dapat berdampak pada kesehatan anaknya dan sebuah studi baru mengungkapkan hubungan antara konsumsi soda atau minuman dengan pemanis buatan selama kehamilan atau menyusui dengan diagnosis autisme pada anak laki-laki yang dilahirkan.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Nutrients, para peneliti dari Pusat Ilmu Kesehatan di University of Texas Health Science Center di San Antonio seperti disiarkan Medical Daily, Selasa (26/9) waktu setempat, mengevaluasi konsumsi aspartam ibu dan risiko autisme pada anak yang terpapar aspartam di awal kehidupan – di dalam rahim dan selama menyusui.
Gangguan spektrum autisme (ASD) atau autisme adalah gangguan neurologis dan perkembangan yang memengaruhi pembelajaran, perilaku, dan interaksi.
Hal ini sering disebut sebagai gangguan perkembangan karena anak-anak sering kali didiagnosis menderita ASD dalam dua tahun pertama kehidupannya.
Tim peneliti lalu menganalisis sebanyak 235 anak yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme dan membandingkan datanya dengan 121 anak yang memiliki perkembangan neurologis yang khas.
Untuk menentukan paparan awal kehidupan para partisipan, peneliti menggunakan kuesioner untuk mengevaluasi seberapa sering para ibu mengonsumsi diet soda atau minuman serupa.
Hasilnya, diketahui anak laki-laki dengan autisme tiga kali lebih mungkin lahir dari ibu yang mengonsumsi setidaknya satu atau lebih porsi soda diet atau produk yang dimaniskan dengan aspartam setiap hari selama kehamilan atau menyusui.
Namun, para peneliti tidak dapat menemukan hubungan yang signifikan secara statistik pada anak perempuan.
“Temuan kami berkontribusi pada berkembangnya literatur yang meningkatkan kekhawatiran tentang potensi bahaya bagi anak-anak akibat soda atau minuman diet ibu atau asupan aspartam selama kehamilan,” tulis para peneliti.
Peneliti salah satunya Sharon Parten Fowler mencatat bahwa studi mereka tidak membuktikan bahwa minum soda diet menyebabkan autisme pada anak.
Aspartam merupakan pemanis non-gula yang banyak digunakan dalam beberapa minuman diet, es krim, produk susu, sereal sarapan, pasta gigi, dan obat batuk. Asupan aspartam harian yang dapat diterima adalah 50 miligram per kilogram berat badan, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Meskipun populer sebagai pengganti gula non-kalori, keamanan aspartam telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan masyarakat untuk menghindari aspartam demi mengendalikan berat badan.
Ini karena mereka menemukan bahwa mengganti gula dengan aspartam mungkin tidak membantu menurunkan berat badan dalam jangka panjang.
Sementara itu, Badan penelitian kanker WHO, IARC (Badan Internasional untuk Penelitian Kanker) menyoroti kemungkinan aspartam bersifat karsinogenik bagi manusia.