Jakarta (Antara Babel) - Banyak orang yang terkejut ketika akhir pekan lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman atas dugaan korupsi terkait gula impor.
Irman diduga menerima uang dari seorang pengusaha saat KPK melangsungkan operasi tangkap tangan Jumat malam atau Sabtu dini hari (17/9). Operasi itu merupakan pengembangan kasus gula impor yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Padang.
Drama penangkapan Irman dimulai ketika KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Jakarta, Jumat (16/9) malam.
Kejadiannya bermula ketika XSS, MNI dan WS (adik dari XSS dan MNI) mendatangi rumah Irman pada Jumat pukul 22.15.
Kemudian sekitar pukul 00.30, ketiganya keluar dari rumah Irman dan tim KPK menghampiri ketiganya ketika berada di dalam mobil yang masih parkir di halaman rumah Ketua DPD tersebut.
"Petugas KPK kemudian meminta mereka untuk masuk kembali ke dalam rumah dan meminta agar Irman menyerahkan bungkusan berisi uang yang berasal dari XSS dan MNI."
Bungkusan tersebut ternyata merupakan uang senilai Rp100 juta. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa uang tersebut merupakan uang jasa rekomendasi untuk kuota impor gula wilayah Sumatera Barat.
KPK menilai rekomendasi tersebut dapat mempengaruhi Bulog dalam memberikan jatah kuota impor gula.
Setelah penetapan status tersangka terhadap Ketua DPD RI periode 2014-2019 itu, Badan Kehormatan DPD kemudian melangsungkan sidang dan memutuskan memberhentikan Irman dari jabatannya.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat pleno BK DPD RI yang dipimpin Ketua BK AM Fatwa dan Wakilnya Lalu Suhaimi Ismy di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (19/9) malam.
BK DPD RI memutuskan mencopot Irman Gusman dengan pertimbangan melanggar etika dan Tata Tertib DPD RI pasal 52 huruf c, yang berbunyi, "Ketua dan Wakil Ketua DPD RI dapat diberhentikan dari jabatannya jika menjadi tersangka kasus pidana".
Menurut AM Fatwa, BK DPD RI membuat keputusan sesuai dengan kewenangannya yakni soal etik, sedangkan terhadap kasus hukumnya menghormati proses hukum yang sedang dilakukan KPK.
Kasus hukum yang menjerat Irman ini merupakan kasus kedua yang melibatkan kepala lembaga tinggi negara saat masih menjabat. Kasus yang pertama adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK juga dalam sebuah operasi tangkap tangan dengan modus kejahatan korupsi berupa penyuapan.
Akil Mochtar, yang kini telah menjalani hukuman penjara seumur hidup, diputuskan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas penerimaan suap dari pihak yang berperkara terkait gugatan pemilihan kepala daerah yang saat itu ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua kasus ini menjadi perhatian masyarakat karena menyangkut penyelenggara negara dan juga pejabat tinggi negara.
Sejak KPK didirikan pada 2004, puluhan penyelenggara negara telah ditangkap atas pelanggaran hukum akibat korupsi. Dari mulai menteri, anggota parlemen, Gubernur, Wali kota dan Bupati hingga aparatur negara lainnya seperti jaksa, polisi bahkan pernah penuntut pada KPK sendiri.
Kode Etik
Sebagai penyelenggara negara dan aparatur negara, seharusnya tunduk pada kode etik yang sudah ada. Tak hanya diucapkan saat pengambilan sumpah, kode etik penyelenggara negara dan aparatur negara juga kerap disematkan dalam aturan tertulis yang bisa dibaca kapanpun.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie dalam situs pribadinya di internet mengatakan tradisi membangun etika positif berupa prinsip-prinsip etika dan perilaku yang dirumuskan sebagai standar yang ideal bagi para anggota komunitas profesi atau jabatan tertentu yang membutuhkan kepercayaan publik awalnya muncul dalam praktik di Inggris dan kemudian dikembangkan dalam arti yang lebih modern di Amerika Serikat.
Profesi awal yang memperkenalkan kode etik profesi adalah kedokteran. Jimly mengatakan pada abad pertengahan sudah ada buku dari sarjana dan pemikir Islam tentang kode etik itu di bidang kedokteran.
Hal itu kemudian berkembang pada abad ke-18 hingga kemudian dikenal dengan istilah 'medical ethics'.
Ketika pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang tentang apoteker pada 1815 maka sejak itu kedokteran dan kesehatan resmi diatur oleh pemerintah.
Profesi kedua yang membangun sistem etika adalah profesi akuntan pada 1887 di bawah asosiasi akuntan dan kemudian profesi ketiga yang memiliki sistem etika adalah profesi hukum.
Jimly menambahkan, kode etik di bidang hukum pertama kali disusun dan disahkan yaitu oleh negara bagian Alabama pada 1887 dan asosiasi pengacara Amerika Serikat menyusun kode etiknya pada 1908.
Pada Ketetapan MPR RI juga pernah mengatur tentang etika. Dalam Tap MPR RI nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa diatur tentang berbagai etika yang harus dijalankan dalam sejumlah sektor kehidupan.
Dalam ketetapan MPR tersebut, etika kehidupan berbangsa dipahami sebagai rumusan yang bersumber dari ajaran agama khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
MPR RI menetapkan ada sejumlah etika dalam kehidupan berbangsa di bidang sosial dan budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakan hukum yang berkeadilan, keilmuan dan lingkungan.
Khusus di bidang etika politik dan pemerintahan, pedoman ini diharapkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis bercirikan sejumlah hal seperti keterbukaan, rasa tanggung jawab, menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam etika di bidang ini, menegaskan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.
Pejabat negara atau penyelenggara pemerintahan seyogyanya menjalankan etika ini dalam bentuk tata krama pada perilaku politik yang tolerans, tidak pura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik dan tidak manipulatif.
Ketetapan MPR RI tersebut masih berlaku hingga saat ini dan sudah seharusnya menjadi pedoman bagi semua pejabat publik dan penyelenggara negara sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme dapat berkurang sebagai salah satu tujuan reformasi.
Jangankan melihat praktik korupsi yang menghilang dari tanah air, penegakan etika saja masih kerap dikesampingkan oleh penyelenggara negara, padahal gerakan reformasi akan memasuki tahun ke-20 pada 2018.