Jakarta (ANTARA) - Manchester United mungkin sedang berada di titik terendah dalam sejarah mereka di era Liga Inggris. Namun, di balik keterpurukan itu, ada kisah tentang ketekunan, tekanan batin, dan semangat bertahan dari seorang pelatih muda asal Portugal, Ruben Amorim.
Pelatih berusia 40 tahun itu kini tengah mempersiapkan laga paling krusial dalam kariernya, yaitu final Liga Europa melawan Tottenham Hotspur di Stadion San Mames, Bilbao, Rabu malam waktu setempat. Pertandingan ini bukan sekadar soal trofi. Ini adalah pertaruhan senilai 100 juta poundsterling, tiket menuju Liga Champions, dan mungkin penentu nasib Amorim di Old Trafford.
Ketika Ruben Amorim mengambil alih kendali Manchester United pada November lalu, ia tahu tantangannya tidak mudah. Bahkan ia sendiri tak bisa menduga seberapa dalam jurang yang akan ia hadapi.
Didatangkan dari Sporting CP sebagai pelatih muda penuh talenta yang sempat masuk radar Liverpool untuk menggantikan Jurgen Klopp, Amorim sejatinya ingin menyelesaikan musim terakhirnya di Portugal. Namun United yang terpuruk tak bisa menunggu. Klub meminta Amorim datang lebih cepat, dan ia pun datang dengan membawa metode baru, semangat baru, yang tentu saja dihadapkan oleh tekanan luar biasa dari tahun-tahun kelam Manchester United.
Hasilnya? Dalam 25 pertandingan Liga Inggris, United hanya mampu meraih 10 kemenangan dan menelan 13 kekalahan. Mereka terpuruk di posisi ke-16, dua tingkat di atas zona degradasi. Untuk klub sekelas Manchester United, ini adalah aib.
“Saya benar-benar malu,” kata Amorim ketika ditanya oleh pewarta terkait posisi klub sebesar Manchester United yang kini berada di papan bawah.
Hampir Menyerah
Tekanan itu nyaris membuat Amorim menyerah. Pada Januari, setelah hanya meraih satu kemenangan dalam delapan laga dan dibantai Brighton 1-3 di kandang sendiri, ia disebut-sebut sempat berniat mundur. Beberapa orang terdekatnya bahkan harus membujuknya untuk bertahan.
“Dia tampak beruban dalam waktu dua bulan,” ujar salah satu sumber yang dekat dengan klub, seperti dikutip dari ESPN.
Saat merayakan ulang tahunnya yang ke-40 seusai menang 1-0 atas Fulham, Amorim bergurau, “Hari ini saya 40, tapi rasanya sudah 50 setelah dua bulan di United.”
Namun klub tetap percaya. CEO Omar Berrada dan pemilik klub minoritas Sir Jim Ratcliffe berkali-kali menyatakan dukungan terhadap Amorim, bahkan ketika hasil di lapangan tidak sejalan dengan harapan. “Ruben adalah pelatih muda yang luar biasa, dan saya pikir dia akan bersama United untuk waktu yang lama,” ujar Ratcliffe pada Maret lalu.
Salah satu langkah paling kontroversial Amorim adalah mencoret Marcus Rashford dari skuad utama dan menyetujui peminjamannya ke Aston Villa. Meski Rashford merupakan pemain dengan gaji tertinggi di klub, yaitu 325.000 poundsterling per pekan, Amorim tetap pada pendiriannya.
Di tengah reformasi itu, Amorim juga harus menghadapi tantangan dari internal stafnya. Beberapa asistennya yang datang dari Lisbon disebut mengalami kesulitan beradaptasi di Manchester. Bahkan beberapa pemain senior mengeluhkan kualitas pelatihan yang mereka terima. Namun semua itu ditepis oleh pihak klub sebagai “gangguan dari luar yang tak relevan”.
Tidak hanya itu, kondisi internal klub juga jauh dari ideal. Di tengah krisis finansial, banyak pemangkasan biaya yang dilakukan, termasuk pada fasilitas pelatih. Amorim bahkan harus merogoh kocek pribadi untuk membeli tiket laga final bagi 30 anggota stafnya. Tim juga sepakat patungan untuk menyewa pesawat charter demi mengangkut keluarga pemain ke Bilbao. Berbanding terbalik dengan klub Prancis Paris Saint-Germain secara terbuka membiayai 600 pegawainya untuk menghadiri final Liga Champions di Munich.
Statistik yang Menyayat
Pada musim ini, United menorehkan berbagai rekor buruk United yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yaitu jumlah kemenangan terendah dalam sejarah Premier League (10), kekalahan terbanyak (18), dan jumlah gol paling sedikit (42). Sepanjang musim liga, mereka bahkan gagal meraih kemenangan beruntun satu kali pun.
Situasi ini membuat para pemain pun merasa gamang. Beberapa dari mereka belum mendapatkan kejelasan soal masa depan kontrak mereka. Salah satu pemain senior bahkan yakin jam bermainnya dibatasi agar ia merasa perlu hengkang.
Namun di tengah semua itu, Ruben Amorim tetap membawa United ke final Eropa. Sebuah pencapaian yang terasa ganjil di tengah reruntuhan musim penuh luka di liga domestik.
Laga melawan Tottenham bukan sekadar final. Ini adalah garis penentu nasib. Kemenangan akan membuka pintu Liga Champions, uang besar dari pihak sponsor dengan syarat keuikutsertaan kompetisi teratas Eropa, prestise, dan mungkin memperkuat posisi Amorim sebagai nakhoda utama proyek jangka panjang klub.
Namun kekalahan akan membawa kembali pertanyaan-pertanyaan lama. Apakah Amorim tepat untuk United? Apakah dia akan bertahan? Dan ke mana arah klub selanjutnya?
Di hadapan media, Amorim kerap menampakkan wajah penuh keraguan. “Saya masih jauh dari kata menyerah,” katanya, sebelum menyelipkan kalimat ambigu bahwa pergantian pelatih adalah hal normal dalam sepak bola.
Namun satu hal yang pasti, Amorim telah melewati badai. Dari tim yang disebutnya sebagai “terburuk dalam sejarah United,” berhasil membawa mereka ke ujung sebuah kemungkinan. Mungkin, justru dari kekacauan inilah cerita kebangkitan dimulai.
Dan semua itu akan ditentukan dalam 90 menit di Bilbao.