Pangkalpinang (ANTARA) - Tanggal 28 Oktober bukan sekadar hari bersejarah, tetapi momen untuk menakar sejauh mana semangat Sumpah Pemuda masih hidup di dada generasi muda. Upacara dilaksanakan, pidato disampaikan, dan media sosial dipenuhi ucapan penuh semangat.
Namun di balik euforia itu, muncul pertanyaan yang menggelitik yaitu apakah Sumpah Pemuda masih menjadi “sumpah” yang hidup di hati generasi muda saat ini? Ataukah ia telah menjelma menjadi sekadar teks bersejarah yang dihafal tanpa makna?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sumpah berarti janji yang diucapkan dengan sungguh-sungguh, disertai kesadaran bahwa Tuhan menjadi saksi. Artinya, Sumpah Pemuda bukan sekadar pernyataan politik, melainkan seruan nurani yang meneguhkan tekad para pemuda untuk menempatkan persatuan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan.
Jejak Sumpah di Masa Lalu
Kita perlu menengok kembali konteks sejarahnya. Pada awal abad ke-20, Indonesia belum merdeka. Pemuda dari berbagai daerah masih terpisah oleh sekat kedaerahan. Ada Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, dan banyak lagi. Masing-masing membawa identitas dan kebanggaannya sendiri.
Namun di tengah penderitaan akibat penjajahan Belanda, lahirlah kesadaran baru: bahwa perpecahan hanya akan memperpanjang penderitaan.
Dari semangat baru itulah para pemuda mulai menyatukan langkah. Mereka kemudian menyelenggarakan pertemuan besar yang dikenal sebagai Kongres Pemuda pertama pada 1926, disusul dengan Kongres Pemuda kedua dua tahun kemudian dan menjadi momen penting lahirnya ikrar persatuan bangsa yaitu bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Ikrar itu sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Ia melahirkan satu kesadaran nasional bahwa perjuangan tidak boleh lagi berdasarkan suku atau daerah, melainkan atas nama bangsa.
Para pemuda waktu itu bukan hanya berani melawan penjajahan fisik, tetapi juga penjajahan pikiran yang menanamkan perpecahan. Kini hampir satu abad berlalu. Indonesia sudah merdeka, dan pemuda memiliki akses luas terhadap pendidikan, teknologi, serta kebebasan berpendapat. Tapi di tengah kemudahan itu, muncul ironi: kebebasan yang diperjuangkan para pendahulu justru membuat sebagian pemuda kehilangan arah.
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2023 mencatat lebih dari 312.000 remaja usia 15–25 tahun terpapar narkoba. Angka yang tidak sekadar statistik, tetapi alarm keras bahwa sebagian generasi muda sedang dijajah oleh candu modern.
Bangsa ini memang telah bebas dari belenggu penjajahan, namun sering kali terperangkap oleh keinginan instan dan pola hidup yang menumpulkan semangat juang. Selain itu, media sosial yang seharusnya menjadi sarana ekspresi dan edukasi malah sering berubah menjadi arena perpecahan.
Ujaran kebencian, rasisme, dan penyebaran hoaks merajalela. Banyak yang berlomba mencari perhatian dengan mengorbankan etika dan rasa persatuan. Ironis, karena semangat Sumpah Pemuda justru mengajarkan kita untuk bersatu, bukan saling menjatuhkan.
Menghidupkan Kembali Semangat di Era Digital
Kita sering bangga menyebut diri sebagai “generasi digital”, tetapi apakah kita benar-benar memahami nilai persatuan Indonesia di era digital ini? Ketika seseorang dengan mudah menghina suku atau agama lain di kolom komentar, ketika remaja saling membully hanya karena perbedaan pandangan, bukankah itu tanda bahwa sumpah itu mulai retak? Para pemuda 1928 berjuang di bawah ancaman senjata, tapi kita hari ini berjuang melawan diri sendiri. Penjajahan terbesar masa kini bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri seperti rasa malas, keinginan instan, dan kehilangan arah hidup.
Kita sering berbicara tentang “kemerdekaan berekspresi”, tapi lupa bahwa kebebasan sejati adalah ketika kita mampu mengendalikan diri dan menggunakan kebebasan itu untuk kebaikan.
Inilah bentuk penjajahan baru yang lebih halus, tetapi lebih berbahaya. Ia tidak menumpahkan darah, tetapi mengikis moral. Ia tidak mencambuk tubuh, tetapi melumpuhkan semangat.
Jika dibiarkan, bangsa ini bisa kehilangan generasi penerus yang berkarakter, berintegritas, dan berjiwa persatuan. Oleh sebab itu, semangat Sumpah Pemuda di masa kini tidak cukup diwujudkan lewat upacara atau slogan di dunia maya, tetapi harus tercermin melalui perilaku dan kontribusi nyata dalam keseharian.
Menjaga persatuan dan toleransi dengan menghargai perbedaan di sekolah, lingkungan, dan dunia maya adalah bentuk nyata menepati sumpah itu. Tidak semua orang harus sama dengan kita, tapi semua berhak dihormati. Indonesia kuat karena keberagamannya, bukan karena keseragaman.
Demikian pula dengan bahasa. Menghargai bahasa Indonesia dengan menggunakannya secara baik dan benar di ruang publik maupun media sosial adalah wujud kebanggaan dan cinta tanah air.
Bahasa adalah identitas bangsa artinya kehilangan bahasa berarti kehilangan jati diri. Di sisi lain, bijak menggunakan media sosial menjadi keharusan. Dunia digital seharusnya menjadi ruang untuk menebar gagasan positif, bukan arena saling menjatuhkan.
Pemuda yang tangguh adalah mereka yang berani berkata tidak pada narkoba, menghindari perilaku merusak diri, dan memilih menyalurkan energinya untuk hal-hal bermanfaat seperti belajar, menulis, berorganisasi, serta berkarya bagi masyarakat. Dari sanalah muncul prestasi dan inspirasi yang menggerakkan perubahan.
Sumpah Pemuda tidak seharusnya berhenti sebagai teks sejarah yang dibacakan setiap 28 Oktober. Ia harus menjadi kompas moral bagi generasi muda untuk menavigasi zaman yang penuh kebebasan dan godaan.
Menjadi pemuda Indonesia hari ini bukan berarti hanya bangga pada simbol perjuangan, tetapi menerjemahkan semangat itu ke dalam tindakan nyata dengan belajar sungguh-sungguh, menebar toleransi, menolak narkoba, serta menjaga persatuan dalam keberagaman.
Setiap kali kita menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga, menghormati perbedaan, dan menolak segala bentuk perpecahan, sesungguhnya kita sedang menepati sumpah itu. Karena Sumpah Pemuda bukan hanya milik masa lalu, melainkan warisan yang harus dijaga dengan hati, pikiran, dan tindakan.
Sumpah Pemuda akan tetap hidup selama generasi muda seperti kita mau menjaga maknanya. Selama masih ada remaja yang peduli, berani menyuarakan kebenaran, menolak perpecahan, dan berjuang melalui karya, semangat itu tidak akan padam. Tetapi jika kepedulian, persatuan, dan semangat juang mulai luntur, maka Sumpah Pemuda hanya akan menjadi kenangan tanpa ruh, sekadar catatan dalam sejarah.
Penulis: Said Azkhan Nasabil Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Pangkalpinang
