Warga Tanjungular, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih melestarikan Cheng Beng sebagai tradisi mendoakan dan mengenang jasa leluhur yang sudah meninggal dunia.
"Meskipun tidak seramai perayaan Ceng Beng di Pangkalpinang, namun warga Kampung Tanjungular masih tetap memegang tradisi luhur tersebut," kata warga Tanjungular, A Li, di Muntok, Babel, Jumat.
Menurut dia, tradisi Ceng Beng memiliki nilai luhur yang wajib dilestarikan. Melalui tradisi itu warga setempat juga bisa berkumpul bersama saudara, kerabat, dan anak-anaknya, baik yang berada di daerah maupun mereka yang merantau.
Kampung Tanjungular salah satu kampung nelayan di ujung barat daya Pulau Bangka yang penduduknya mayoritas warga keturunan Tionghoa. Mereka sudah cukup lama tinggal di daerah itu.
"Rangkaian peringatan tradisi Ceng Beng biasanya sekitar dua minggu, memang puncaknya pada 5 April setiap tahunnya, jadi para warga secara bertahap membersihkan makam leluhur masing-masing," katanya.
Hal serupa juga terjadi di kompleks permakaman warga keturunan Tionghoa di Muntok di Kampung Menjelang.
Di kompleks permakaman itu, warga tidak berkumpul secara bersamaan saat puncak peringatan pada 5 April, namun secara bergiliran mereka melakukan pembersihan makam dan memanjatkan doa untuk leluhur.
Di kompleks makam Kampung Menjelang atau yang biasa disebut Sin Ngi Chiung tersebut, juga terdapat makam Li Guan Wu dan istrinya yang dimakamkan pada 1940. Mereka adalah orang tua dari Li Jong Bak, salah satu orang penting di Muntok pada masa lalu.
Menurut pemerhati sejarah dan budaya Tionghoa Bangka, Suwito Wu, makam Li Guan Wu merupakan makam pertama di kompleks pemakaman Shi Ngi Chiung yang luasnya sekitar dua hektare tersebut.
"Dahulu makam warga keturunan Tionghoa Muntok ada di Kampung Sawah, Tanjung atau biasa disebut Lo Ngi Chiung, namun sekarang sudah terpadu di Menjelang yang biasa disebut Sin Ngi Chiung," ujarnya.
Lahan yang digunakan sebagai kompleks pemakaman itu merupakan kebun milik Li Jong Bak yang didermakan kepada warga untuk kompleks pemakaman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019
"Meskipun tidak seramai perayaan Ceng Beng di Pangkalpinang, namun warga Kampung Tanjungular masih tetap memegang tradisi luhur tersebut," kata warga Tanjungular, A Li, di Muntok, Babel, Jumat.
Menurut dia, tradisi Ceng Beng memiliki nilai luhur yang wajib dilestarikan. Melalui tradisi itu warga setempat juga bisa berkumpul bersama saudara, kerabat, dan anak-anaknya, baik yang berada di daerah maupun mereka yang merantau.
Kampung Tanjungular salah satu kampung nelayan di ujung barat daya Pulau Bangka yang penduduknya mayoritas warga keturunan Tionghoa. Mereka sudah cukup lama tinggal di daerah itu.
"Rangkaian peringatan tradisi Ceng Beng biasanya sekitar dua minggu, memang puncaknya pada 5 April setiap tahunnya, jadi para warga secara bertahap membersihkan makam leluhur masing-masing," katanya.
Hal serupa juga terjadi di kompleks permakaman warga keturunan Tionghoa di Muntok di Kampung Menjelang.
Di kompleks permakaman itu, warga tidak berkumpul secara bersamaan saat puncak peringatan pada 5 April, namun secara bergiliran mereka melakukan pembersihan makam dan memanjatkan doa untuk leluhur.
Di kompleks makam Kampung Menjelang atau yang biasa disebut Sin Ngi Chiung tersebut, juga terdapat makam Li Guan Wu dan istrinya yang dimakamkan pada 1940. Mereka adalah orang tua dari Li Jong Bak, salah satu orang penting di Muntok pada masa lalu.
Menurut pemerhati sejarah dan budaya Tionghoa Bangka, Suwito Wu, makam Li Guan Wu merupakan makam pertama di kompleks pemakaman Shi Ngi Chiung yang luasnya sekitar dua hektare tersebut.
"Dahulu makam warga keturunan Tionghoa Muntok ada di Kampung Sawah, Tanjung atau biasa disebut Lo Ngi Chiung, namun sekarang sudah terpadu di Menjelang yang biasa disebut Sin Ngi Chiung," ujarnya.
Lahan yang digunakan sebagai kompleks pemakaman itu merupakan kebun milik Li Jong Bak yang didermakan kepada warga untuk kompleks pemakaman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019