Bandung (Antara Babel) - Bank Indonesia (BI) mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi risiko terkait utang luar negeri yang terlihat dari peningkatan debt service ratio (DSR).
"Beberapa waktu sebelumnya DSR kita hanya 25 persen, tetapi sekarang mencapai 50 persen," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung di Bandung, Sabtu.
DSR merupakan angka yang diperoleh dari jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Jika DSR semakin besar maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius.
Menurut Juda, kenaikan DSR terutama disumbang oleh kenaikan utang luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri.
Ia menyebutkan fenomena peningkatan DSR sebenarnya tidak hanya dihadapi Indonesia tetapi juga oleh negara-negara sedang berkembang.
"Ini sebagai akibat dari berlebihnya likuiditas dan biaya yang rendah serta ketersediaan dana," katanya.
Peningkatan utang luar negeri diperlukan untuk mendukung kegiatan investasi seperti pengembangan pembangkit listrik, industri manufaktur dan lainnya.
Menurut dia, yang berbahaya adalah jika utang luar negeri digunakan untuk membeli produk sektor properti di dalam negeri.
Juda menyebutkan peningkatan utang luar negeri akan diikuti dengan peningkatan risiko perekonomian suatu negara termasuk risiko nilai tukar dan risiko over leverage (utang lebih besar daripada pendapatan).
Terkait risiko nilai tukar, Juda menyebutkan saat ini dari 100 perusahaan pengutang terbesar, hanya 12 perusahaan yang melakukan lindung nilai.
"Kalau ada gejolak akan berdampak negatif kepada mereka apalagi yang tidak melakukan lindung nilai," katanya.
Mengenai upaya penanganan masalah itu, Juda menyebutkan ada tiga pendekatan yaitu liberal, dikontrol dan prudential measures.
Ia menyebutkan pendekatan liberal digunakan oleh negara-negara maju yang pasar keuangannya sudah maju.
"Kita mengarah kepada aturan agar perusahaan berhati-hati dalam melakukan utang luar negeri," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014
"Beberapa waktu sebelumnya DSR kita hanya 25 persen, tetapi sekarang mencapai 50 persen," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung di Bandung, Sabtu.
DSR merupakan angka yang diperoleh dari jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Jika DSR semakin besar maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius.
Menurut Juda, kenaikan DSR terutama disumbang oleh kenaikan utang luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri.
Ia menyebutkan fenomena peningkatan DSR sebenarnya tidak hanya dihadapi Indonesia tetapi juga oleh negara-negara sedang berkembang.
"Ini sebagai akibat dari berlebihnya likuiditas dan biaya yang rendah serta ketersediaan dana," katanya.
Peningkatan utang luar negeri diperlukan untuk mendukung kegiatan investasi seperti pengembangan pembangkit listrik, industri manufaktur dan lainnya.
Menurut dia, yang berbahaya adalah jika utang luar negeri digunakan untuk membeli produk sektor properti di dalam negeri.
Juda menyebutkan peningkatan utang luar negeri akan diikuti dengan peningkatan risiko perekonomian suatu negara termasuk risiko nilai tukar dan risiko over leverage (utang lebih besar daripada pendapatan).
Terkait risiko nilai tukar, Juda menyebutkan saat ini dari 100 perusahaan pengutang terbesar, hanya 12 perusahaan yang melakukan lindung nilai.
"Kalau ada gejolak akan berdampak negatif kepada mereka apalagi yang tidak melakukan lindung nilai," katanya.
Mengenai upaya penanganan masalah itu, Juda menyebutkan ada tiga pendekatan yaitu liberal, dikontrol dan prudential measures.
Ia menyebutkan pendekatan liberal digunakan oleh negara-negara maju yang pasar keuangannya sudah maju.
"Kita mengarah kepada aturan agar perusahaan berhati-hati dalam melakukan utang luar negeri," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014