Kupang (Antara Babel) - Salah satu ciri negara demokratis adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia dan jurdil sebagai wahana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam memilih wakil-wakilnya yang duduk di parlemen, maupun pemegang kekuasaan eksekutif.

Dalam perjalanan sejarah, sejak pertama kali Indonesia melaksanakan pemilihan umum pada 1955 sampai pemilu presiden yang baru dilalui pada 9 Juli 2014, sering dilukiskan sebagai "political market" atau pasar politik antara partai politik dengan rakyat guna melakukan kontrak sosial, yang diawali dengan kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa, spanduk, pamflet dan janji-janji politik lainnya.

Aktivitas politik yang dilakukan partai-partai politik tersebut guna meyakinkan pemilih agar tidak salah arah dalam menentukan pilihan politiknya pada hari pencoblosan.

Politik pemilu di Indonesia, agaknya menggunakan sistem yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan demokrasi dan pemahaman rakyat terhadap demokrasi itu sendiri.

Pada pemilu pertama 1955, misalnya, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak murni. Pada pemilu kedua tahun 1971, Indonesia menggunakan sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar, sedang pada Pemilu 1977 sampai pemilu ke delapan 1997, Indonesia menggunakan sistem proporsional.

Pada Pemilu 1999, Indonesia menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar, Pemilu 2004 menggunakan sistem perwakilan proporsional, sedang pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004, Indonesia menggunakan sistem distrik berwakil banyak.

Modifikasi sistem proporsional pemilu di Indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semidaftar terbuka yang dimulai dari Pemilu 2009 hingga Pemilu Parlemen dan Pemilu Presiden 2014 diberlakukan pascatumbangnya rezim Orde Baru dibawa kekuasaan Presiden Soeharto.

Demokrasi yang pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles ini sebagai suatu bentuk pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi sauatu tatanan yang diterima dan digunakan oleh hampir seluruh negara di dunia.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip "Trias Politica" yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatf, dan legislatif) untuk mewujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lainnya.

Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip "check and balance".

Dalam sistem demokrasi, pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi, sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presidennya hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.

Walaupun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki sebagai pesta demokrasi rakyat, karena cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idolanya sebagai tokoh impian ratu adil, bukan pada sistem pemerintahan yang bagus.

Sebab, sebaik apapun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek dari pada masa hidup suatu sistem yang sudah mampu membangun negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan dalam suatu negara, namun kekuasaan tersebut harus digunakan pula untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Demokrasi yang menjamin semua orang untuk berekspresi, mengeluarkan pikiran dan pendapat secara bebas, sering menimbulkan kekacauan ketika proses demokrasi itu sudah mencapai pada titik panen.

Pada saat dilakukan panen perdana di kebun rakyat yang bernama tempat pemungutan suara (TPS), seseorang bisa menggapai hasil panen (suara rakyat) yang banyak.

Namun, ketika hasil panen itu sudah mulai dimasukkan ke lumbung pangan yang bernama panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengolah kembali hasil panen tersebut, hasil yang dicapai itu bisa menyusut ke titik yang terendah.

Demikian pun sebaliknya dengan mereka yang hanya mendapat hasil sedikit saat panen perdana di TPS. Hasil olahan mereka bisa naik secara signifikan, yang tidak diketahui secara jelas dari mana asal usulnya.

Namun, dalam panggung politik, perolehan hasil yang tidak jelas seperti itu, dipandang sebabagi sesuatu hal yang lumrah dan biasa-biasa saja.

Guna mencegah terjadinya kecurangan dalam membagi hasil saat panen perdana di TPS dengan pengolahan hasil akhir di KPU, banyak pihak menghendaki agar mata rantai penghitungan surat suara dalam sebuah proses demokrasi, entah itu pemilu kepala daerah, pemilu legislatif maupun pemilu presiden, harus dipangkas.

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi berpendapat, berbagai kecurangan yang terjadi dalam sebuah pesta demokrasi, seperti dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 9 Juli lalu, karena mata rantai penghitungan surat suara itu terlalu panjang dan melelahkan.

"Perlu adanya model penyederhanaan penghitungan surat suara, yakni hanya di TPS dan hasilnya langsung dilaporkan ke KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara pemilu. Dengan demikian, upaya untuk melakukan kecurangan dengan menambah atau mengurangi jumlah surat suara bisa dicegah," ucapnya.

Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Kupang itu menambahkan, ada juga model penghitungan surat suara yang lebih sederhana lagi, yakni hanya berpusat di KPU sebagai lumbung terakhir pengolah hasil panen, sedang TPS hanya semata-mata sebagai tempat rakyat menyalurkan aspirasi politiknya.

Dalam pengamatannya, mata rantai penghitungan surat suara yang panjang dan melelahkan itu sebenarnya tidak ada masalah, namun sistem pemilu yang dibangun saat ini membuat para tim sukses lebih berani melakukan negosiasi dari tingkat TPS, PPS, PPK sampai ke KPU untuk merubah hasil panenan.

Hal ini diperparah lagi dengan tingkat integritas petugas yang lemah, sehingga membuat mereka tidak lagi independen dalam melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu.

"Jika saja mata rantai perhitungan surat suara itu masih tetap dipertahankan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu maka mekanisme rekrutmen petugas pelaksana pemilu di tingkat TPS, PPS, dan PPK harus diseleksi secara ketat seperti rekruitmen anggota KPU yang bersifat permanen selama lima tahun," tutur Atang.

Kualitas demokrasi di Indonesia dalam pemilu presiden kali ini menjadi taruhan untuk mengukur sejauh mana semua mata rantai penghitungan oleh KPU mampu menjamin akurasi jumlah suara sama seperti di TPS.

Komplikasi atas klaim-klaim kemenangan capres-cawapres yang didasarkan pada hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei, mengembang ke arah kecurigaan adanya kecurangan di sejumlah mata rantai.

Maka permintaan agar pengawalan penghitungan suara itu dilakukan secara cermat, argumentatif, dan riil merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, serta perlu adanya hukum yang tegas terhadap setiap upaya untuk mengotak-atik laporan penghitungan suara.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin hanya sekadar mengingatkan bahwa adanya dimensi spiritual yang harus diperhartikan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yakni jalan takdir yang menentukan siapa menjadi pemimpin Indonesia lima tahun yang akan datang.

Memang benar ada dimensi spiritual dalam setiap perhelatan demokrasi, namun mata rantai serta birokrasi dalam penghitungan suara perlu dipangkas.

Pasalnya, di tempat-tempat persinggahan itulah banyak "tuyul" yang bergentayangan untuk melenyapkan dan memperbanyak suara, sehingga membuat dimensi spritual itu seakan hanya menjadi sebuah bahasa simbol belaka.

Pewarta: Oleh Laurensius Molan

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014