Jakarta (Antara Babel) - Hasil penghitungan suara pemilihan presiden 2014 akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014.

Pengumuman ini menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia dalam menentukan pemimpinnya secara demokratis.

Dua calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta pajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berkompetisi akan ditentukan pemenangnya.

Bagi Prabowo Subianto, ini merupakan pertama kalinya berkompetisi dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden.

Sebelumnya, Prabowo Subianto pernah menjadi calon wakil presiden sebagai pasangan dari calon presiden Megawati Soekarnoputri pada pemilihan 2009 lalu.

Dan untuk pertama kalinya pula, berkompetisi dengan capres yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pada 2009 merupakan partai koalisi.

Prabowo Subianto menggandeng lima partai Politik selain Gerindra untuk mengusung dirinya bersama pasangan calon wakil presiden Hatta Rajasa.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar dan Partai Demokrat masuk dalam koalisi merah putih, sebutan partai pengusung Prabowo Subianto -Hatta Rajasa.

Sementara itu, bagi calon presiden, Joko Widodo (Jokowi), ini merupakan lompatan karir politiknya di eksekutif.

Setelah sebelumnya pernah menjabat Walikota Solo hampir dua periode dan gubernur DKI Jakarta sekitar dua tahun.

Jokowi yang diusung oleh PDIP tersebut menggaet politisi senior Jusuf Kalla (JK) untuk menjadi calon wakil presidennya.

JK merupakan politisi senior Partai Golkar dan mantan wakil presiden di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama 2004-2009.

    
                                                                        Kebutuhan koalisi
Koalisi dalam realitas politik Indonesia dibutuhkan. Sistem pemerintahan presidensial yang dibentuk beriringan dengan sistem multipartai.

Dalam empat kali pemilu pasca reformasi, jumlah partai politik yang berhasil masuk di parlemen masih cukup besar.

Perolehan kursi di parlemen pun tersebar. Meski terdapat partai pemenang pemilu, tidak ada yang mampu menjadi mayoritas. Alhasil koalisi dibutuhkan agar dapat meraih mayoritas di DPR.

Koalisi di parlemen dibutuhkan sebagai tulang punggung bagi pemerintahan, terutama untuk meloloskan sejumlah undang-undang seperti APBN.

Tanpa kepemilikan suara mayoritas di parlemen, sejumlah agenda pemerintah dapat terganjal.

Dalam empat kali pemilu, suara pemenang pemilu terus menurun. Bila pada 1999, pemenang pemilu PDIP berhasil memperoleh 33,7 persen suara.

Pada 2004, Partai Golkar memenangi pemilu dengan 21,58 persen suara, pada 2009 giliran Partai Demokrat dengan 20,85 persen dan pada 2014 PDIP kembali memenangkan pemilu dengan 18,95 persen.  
   
Melihat  realitas politik tersebut, menjadi salah satu alasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggandeng banyak partai politik dalam dua kali masa pemerintahannya.

Terakhir pada 2009-2014, koalisi yang dikenal Sekretariat Gabungan (Setgab) beranggotakan enam partai politik.

Selain Demokrat, koalisi Setgab terdiri atas Golkar, PAN, PPP, PKS dan PKB. Koalisi ini memiliki 423 kursi dari 560 kursi di Parlemen atau 75,5 persen.

Namun sayangnya, efektifitas koalisi tersebut dapat dipertanyakan, mengingat anggota koalisi tidak seiya sekata dalam sejumlah isu misalnya terkait century.

        
                                                                   Koalisi Prabowo - Hatta
Koalisi Merah Putih merupakan gabungan partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Koalisi ini terdiri atas Gerindra 73 kursi, 11,81 persen suara, Golkar 91 kursi, 14,75 persen suara, Demokrat 61 kursi 10,19 persen suara, Partai Amanat Nasional 49 kursi dari 7,59 persen suara.

Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi atau mendapatkan 6,79 persen suara dan Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi atau mendapatkan 6,53 persen suara.

Total kursi yang diperoleh koalisi ini 353 dari 560 kursi yang ada di DPR atau 63 persen.

Bila memenangkan pemilihan presiden, maka koalisi merah putih mampu memenuhi mayoritas suara di DPR.

Namun demikian ada tantangan dalam mengawal koalisi agar tidak menjadi sandera bagi pemerintahan.

Bila melihat konstelasi koalisi tersebut, Partai Golkar menjadi partai yang paling diuntungkan.

Dengan jumlah 91 kursi, Partai Golkar secara matematis mampu memainkan peran untuk 'memaksa' pemerintahan.

Karena tanpa Partai Golkar, maka tidak akan mampu memenuhi kuota mayoritas suara parlemen sebesar 280 kursi.

Kondisi ini, bisa menjadi bumerang bila koalisi tidak dikelola dengan baik, terutama kecemburuan dari para partai politik pengusung.

Alih-alih ingin mewujudkan agenda pemerintahan, malah justru terjadi kegaduhan politik yang bisa menyandera pemerintahan.

    
                                                                        Koalisi Jokowi - JK
Sementara bagi Jokowi-JK, bila melihat partai politik pengusung saat ini, PDIP, Partai NasDem, PKB dan Partai Hanura, belum mencukupi mayoritas partai politik.

PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu meraih 109 kursi (18,95 persen suara). Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi (9,04 persen suara), Partai NasDem 35 kursi (6,72 persen suara) dan Hanura 16 kursi (5,26 persen suara).

Bila total kursi empat partai digabungkan hanya meraih 207 kursi dari 560 kursi di Parlemen, atau hanya 36 persen.

Tentu saja, hal ini tidak mencukupi suara mayoritas di Parlemen. Bila hal ini tak berubah tentu justru akan menyulitkan bagi pemerintahan Jokowi-JK bila memenangkan pemilihan presiden 2014.

Bila melihat politisi senior Golkar, Jusuf Kalla sebagai pasangan calon wakil presiden Jokowi, maka bayangan skenario pemilu 2004 kembali terbayang.

Pada 2004, JK tidak diusung oleh Partai Golkar sebagai calon wakil presiden bagi capres Susilo Bambang Yudhoyono.

Waktu itu, sesuai dengan hasil konvensi partai berlambang pohon beringin tersebut secara resmi mengusung Wiranto sebagai calon presiden.

Partai Golkar yang sebelumnya tidak mengusung JK, berbalik arah. JK kemudian mengambil alih tampuk kekuasaan dan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Skenario ini tampaknya juga akan berlaku, mungkin dengan sejumlah modifikasi bila Jokowi - JK memenangkan pemilihan presiden.

Bila benar hal terjadi, maka koalisi di tubuh Jokowi bisa meraih 298 kursi, atau mayoritas di parlemen dengan tambahan 91 kursi dari Partai Golkar.

Namun koalisi tersebut juga cukup rentan terhadap penarikan suara dari salah satu koalisi. Partai Golkar, NasDem dan PKB memiliki kans untuk berperan penting dalam koalisi tersebut.

Kondisi ini hampir mirip dengan koalisi merah putih. Bila tidak mampu mengelola dengan baik, kegaduhan politik akan menyulitkan pemerintahan bahkan tersandera.

Pewarta: Oleh Muhammad Arief Iskandar

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014