Indro Warkop memiliki sepotong kenangan menegangkan saat Gerakan 30 September (G30S) pada 1965 meletus di Jakarta.

Dia saat itu baru berusia tujuh tahun, dan masih tinggal di Prambors ( Jalanan Prambanan, Mendut dan Borobudur), Jakarta, yang menjadi kawasan tinggal salah satu korban, Letnan Jenderal Angkatan Darat, M.T. Haryono.

"Kami dengar karena subuh-subuh suara tembakannya," ujar dia ujar saat berkunjung ke Kantor ANTARA di Jakarta, belum lama ini.

Ayah Indro, Inspektur Jenderal Moehammad Oemargatab, saat itu menjabat sebagai Kepala DPKN (Dinas Pengawasan Keamanan Negara yang kini menjadi Intelkam Polri).
Tak lama setelah menerima kabar mengenai G30S terjadi, penjagaan di kawasan tinggal Indro diperketat.

Selain M.T. Haryono, wilayah itu juga dihuni sejumlah petinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, polisi dan duta besar negara asing.

"Pasukan ada di rumah saya, panser saja ada tiga. Rata-rata di kompleks Prambors itu ada empat Jenderal Angkatan Darat, ada empat Jenderal Polisi, empat Jenderal Angkatan Udara, Angkatan Laut. Kebetulan semua empat. Empat duta besar," kata Indro.

Dia mengatakan, bahkan ikut masuk ke dalam mobil Jeep untuk alasan keamanan.

"Saya lihat tukar-tukar sandi, jam malam. jam 6 enggak boleh keluar. Saya ikut ke dalam Jeep. Pejabat ada di panser kecil. Menegangkan," sambung dia.

Para pejabat saat itu dilarang mengenakan pakaian dinas masing-masing. Hanya sebuah pita yang perlu mereka pasang di pakaian sebagai penanda.

Terlepas dari siapa dalang kejadian G30S dan tujuannya, Indro menilai gerakan itu kudeta dan dia sama sekali tidak ingin memperingatinya.

"30 September, peristiwa itu ada. Saya tidak ingin memperingati itu. Kalau buat saya ya kudeta. Lepas dari siapa yang digunakan, PKI kah atau siapakah," kata dia.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019