Jakarta (Antara Babel) - Persoalan kesenjangan ekonomi di Tanah Air yang muncul sejak dasawarsa 60 hingga kini ibarat pekerjaan rumah abadi bagi setiap pemerintahan baru yang lahir setelah pemilihan umum digelar.

Rakyat yang memberikan suara kepada sang pemenang pemilu berharap mengalami perbaikan taraf hidup. Tentu bukan cuma rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ingin mengalami peningkatan taraf hidup. Juga mereka yang sudah di posisi kelas menengah. Bahkan tak aneh jika orang yang sudah hidup mapan juga ingin hidup lebih mapan lagi.

Orang-orang yang baru berkeluarga  yang  masih tinggal numpang di rumah orang tua atau saudara karena belum mampu membayar biaya mengontrak rumah berharap punya kemampuan untuk mengontrak rumah setelah presiden baru terpilih. Bagi yang sudah bertahun-tahun hidup berkeluarga dalam kontrakan rumah, setelah presiden pilihannya menang, berharap mampu mengambil kredit rumah.

Bagi yang sudah punya rumah tipe 21 meter persegi melampungkan harapannya untuk bisa pindah di rumah tipe 36 meter persegi. Dan Mereka yang sudah mempunyai mobil keluaran tahun  2000 ingin memperbaruhi mobilnya. Bahkan, bagi yang sudah punya pabrik, ingin bisa mengembangkan pabriknya supaya lebih banyak lagi.

Dalam situasi demikian, peluang mereka yang berada di bawah garis kemikinan tentu begitu kecil karena kompetisi untuk meraih harapan hidup yang lebih dan lebih baik lagi berlangsung terus-menerus antara yang paling lemah, yang lemah, yang setengah kuat, yang kuat dan yang paling kuat.

Bisa ditebak, jika kebijakan ekonomi yang liberal yang diterapkan pemerintahan baru, hasilnya akan menguntungkan dan memenangkan kelompok masyarakat yang sudah mapan.

Mahbub Ul Haq, ekonom terkemuka asal Pakistan, telah memikirkan masalah ini dan sempat merasa berdosa karena menjalankan asumsi-asumsi pembangunan yang dipelajarinya dari Barat untuk diterapkan di negerinya di era 60-an.

Hasil dari penerapan kebijakan ekonomi itu nyata hanya menghasilkan kesenjangan luar biasa dan membuat kekayaan Pakistan menumpuk di 22 keluarga. Kurang lebih kenyataan kesenjangan ekonomi yang dialami Pakistan itu juga pernah terjadi di Indonesia, meski tidak ada catatan spektakuler berapa keluarga yang menguasa ekonomi di Indonesia itu.

Kini, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014 dan presiden baru terpilih -tentu saja dengan mempertimbangan proses gugat-menggugat di Mahkamah Konstitusi- masalah kesenjangan ekonomi itu perlu dijadikan perhatian ekstra bagi kabinet baru mendatang.

Perkembangan kesenjangan ekonomi itu bisa dilihat dari angka-angka yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperlihat indikator masalah itu.  
    
Berdasarkan data  tahun 2013, indikator untuk mengukur kesenjangan ekonomi antara si miskin dan si kaya menunjukan angka 0, 413 yang artinya hampir mencapai ambang batas maksimal yang disyaratkan yaitu 0,5 dan tidak berubah sepanjang tiga  tahun yakni tahun 2011, 2012 dan 2013.

Rupanya selama ini perbaikan ekonomi untuk mempersempit kesenjangan itu kurang dilakukan secara serius. Akibatnya, pemerintah mendatang perlu lebih bekerja keras lagi untuk menuntaskan masalah kesenjangan itu.

Memang agak memprihatinkan  mengamati masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia ini. Persoalannya cukup kompleks karena kesenjangan itu bukan saja pada tataran orang miskin dan kelompok orang kaya yang tak kunjung menyempit.

Kesenjangan ekonomi secara geografis juga belum teratasi secara signifikan. Bahkan untuk kawasan-kawasan yang berbatasan dengan negara lain, seperti di wilayah Kalimatan yang berbatasan dengan negara Malaysia, kesenjangan dengan pusat kekuasaan terasa sangat mononjol.

Pertanyaan esensial untuk kabinet mendatang tentu berpusat pada kesenjangan yang pertama: yakni klompok orang kaya dan miskin.  Persoalan apakah akan ada program-program khusus untuk mengangkat derajat ekonomi orang miskin di Indonesia, mungkin tak bisa ditentukan dalam waktu dekat.

Belum lagi perlunya mengoreksi kebijakan masa lalu yang tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh, peningkatan dana anggaran pendidikan yang meningkat tajam ternyata tak mencapai sasaran. Fakta bahwa untuk mendapatkan pendidikan gratis di sekolah-sekolah negeri, perlu nilai tinggi sementara anak-anak orang miskin sering tersingkir dalam kompetisi ini.

Akibatnya,  malah banyak anak-anak orang kelas menengah yang mampu secara ekonomi justru yang menikmati pendidikan gratis di jenjang pendidikan menengah dan atas. Sementara anak dari keluarga miskin yang kecerdasannya pas-pasan harus mengeluarkan biaya karena harus mengambil pendidikan di sekolah swasta yang kualitasnya juga memprihatinkan.

Pertanyaan lain yang perlu mendapat jawaban adalah soal perlunya dana besar untuk program-program khusus bagi upaya mempersempit kesenjangan ekonomi antara kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin.

Penyediaan dana yang cukup signifikan bagi program-program itu tampaknya tak mudah karena struktur pendanaan yang terjelma dalam anggaran pendapatan dan belanja negara demikian sulit diubah secara dramatis. Biaya belanja untuk gaji pegawai dan pensiunan, pembangunan infrastruktur dan subsidi untuk energi sudah demikian besar.

Apa yang diperjuangkan elit parpol untuk mengangkat derajat ekonomi rakyat miskin juga akan terbentur oleh kaum birokrat yang konservatif dalam merancang pembangunan. Kalangan birokrat ekonomi yang berkuasa di lembaga perencanaan ekonomi nasional tak memberi banyak pilihan untuk belanja kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan oleh kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.  Biasanya politisi parpol sering kalah dalam beradu kekuatan untuk meloloskan kebijakan ekonomi yang sempat dijanjikan di masa kampanye politik sebelumnya.

Namun, pemerintahan mendatang masih punya pilihan-pilihan etis untuk mengangkat derat ekonomi masyarakat golongan ekonomi lemah. Perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi harus jadi bagian dari upaya mempersempit jurang kesenjangan orang kaya dan miskin.

Upaya lain yang perlu dilakukan adalah menjalankan sistem pajak progresif yang dapat meningkatkan pendapatan negara yang akhirnya dialokasikan untuk program-program padat karya.

Pembangunan jalan-jalan di pedesaan yang masih belum memiliki sarana dan prasarana atau infrastruktur yang memadai perlu terus dilakukan. Pemerintah di masa lalu melaksanakan program padat karya ini masih secara sporadis dan tidak berkesinambungan.

Padahal orang miskin harus memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkesinambungan dan tak mungkin dilakukan secara sporadis.

Gagasan dalam bentuk paya penerapan mengenai pengenaan tarif bagi kendaraan yang melewati jalan utama di Ibu Kota Jakarta agaknya merupakan ide kreatif untuk menarik sebagian pendapatan orang kaya dan pemerintah bisa mengalihkan hasilnya untuk program-program peningatan pendapatan bagi orang miskin.

Tentu sebagai negara kesatuan, pemerintah baru mendatang perlu juga memperhatikan kesenjangan geografis yang belum teratasi dan memerlukan perhatian ekstra.

Kesenjangan pembangunan dan perekonomian antara Indonesia barat dan timur menjadi pekerjaan rumah bagi presiden terpilih.

    
                        Tugas berat
Apa yang dikemukakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman belum lama ini perlu jadi cacatan pemerintahan mendatang.  Menurut Irman,  meski Indonesia berada pada peringkat 15 dunia dengan dengan  produk domestik bruto (GDP) sebesar Rp1.300 triliun, kesenjangan pembangunan ekonomi masih menjadi tugas  yang sangat berat.

Menurut data mutakhir,   pendapatan per kapita penduduk Indonesia sebesar 4.900 dollar AS, menempati peringkat ke-126 di dunia. Lalu, angka kemiskinan Indonesia saat ini masih sebesar 11,4 persen dengan 28,55 juta penduduk atau masuk dalam kategori miskin.

Dari jumlah penduduk miskin tersebut, 63 persen di antaranya ada di pedesaan, yang mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Kesenjangan pun,  tergambar nyata antara wilayah barat, terutama Jawa dengan daerah lain.

Sebanyak 80 persen ekonomi nasional berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera. Kawasan timur tertinggal dari semua aspek, mulai dari infrastruktur hingga layanan dasar. Ironisnya lagi sebanyak  80 persen dari 183 daerah tertinggal ada di kawasan timur.

Data dasar itu tentu sudah dipegang oleh mereka yang akan menduduki kursi kementerian di kabinet mendatang. Persoalannya, apakah data itu akan dijadikan landasan untuk merumuskan kebijakan atau hanya untuk dibiarkan sebagai data semata, waktulah yang akan membuktikan. Yang jelas,  itulah salah satu pekerjaan yang sedang menanti kabinet mendatang pasca-Pilpres 2014.

Pewarta: Oleh M Sunyoto

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014