Bogor (Antara Babel) - Jika berbagai dinamika "politik pengkhianatan dan penghujatan" yang kita lakukan selama ini direnungkan dan difikirkan masak-masak, maka barangkali kita bisa menyimpulkan adanya 3 (tiga) pola dinamika yang berbeda, yaitu  berupa "eforia kemerdekaan"
pada zaman Orde Lama, "eforia keminter" pada masa Orde Baru serta berupa "eforia lupa diri" pada era Reformasi.

    
                        Eforia Kemerdekaan
Dalam "eforia kemerdekaan", rakyat memiliki energi kegembiraan serta motivasi berpartisipasi yang sangat tinggi untuk terlibat dalam pembangunan, namun saat itu energi pembangunan yang ada belum didukung oleh tingkat pendidikan yang memadai.

Pemikiran-pemikiran jenius dan sangat visioner dari Bung Karno bukan hanya tidak tercerna oleh rakyat melainkan juga dilindas habis oleh hawa nafsu yang timbul dari perut rakyat yang sudah tidak terbiasa lagi untuk menahan lapar seperti dalam masa perjuangan kemerdekaan.

Tanpa berfikir lebih panjang kita telah masuk dalam perangkap adu domba "politik kanan" dan "politik kiri",  yang berujung pada membaranya nafsu "sara" maupun nafsu amarah untuk mengganti rezim.

Langkah-langkah taktis Bung Karno untuk sedikit "menghindar" ke sisi kiri di saat mendapat tekanan dan terjangan "badai" dari sisi barat telah kita terjemahkan sebagai "kekiri-kirian"-nya Bung Karno.

Sedangkan di  kemudian hari pada masa Orde baru, langkah taktis Pak Harto untuk sedikit menggeser kembali gerakan pembangunanke arah kanan dalam mengembalikan posisi "kapal" negeri ini ke titik tengah ternyata telah pula kita salah terjemahkan sebagai sesuatu yang "kekanan-kanak-an" yang berujung pada meletusnya peristiwa  Malari (Malapetakan 15 Januari) 1974.

    
                      Eforia Keminter
Dalam masa Orde Baru, rakyat tidak lagi buta huruf dan bahkan sudah banyak yang bergelar sarjana, bahkan sudah ada pula yang bergelar master dan doktor dari manca negara. Perut rakyat tidak lagi lapar dan energi partispasi pun tidak usah diragukan.

Pembangunan melesat maju dan Pak Harto pun telah memimpin bangsa ini untuk menjadi kuat serta disegani secara absolut pada tingkat regional.

Namun nampaknya langkah-langkah pembangunan Pak Harto yang mengandung strategi politik berbangsa dan bernegara untuk memenangkan percaturan politik regional dan percaturan politik internasional tidak seutuhnya bisa dipahami oleh perilaku kita yang "keminter".

Rakyat yang telah pandai membaca dan menulis ternyata lebih suka berperilaku "keminter" yang parahnya diartikulasikan  pula dengan pola-pola agresif dan agitatif "the frankly minority" yang diintroduksikan para LSM.

Berbagai "development communication noisy" (gangguan komunikasi pembangunan) yang terjadi tidak pula mampu diluruskan oleh para akademisi yang kebanyakan (termasuk hingga sekarang) tidak mampu untuk menerapkan pola berfikir "the seven degrees of reciprocal loops" (tujuh tingkat hubungan sebab-akibat).

Sebagai contoh, barangkali kita semua masih ingat tentang  kusut-masai  dan terhambatnya pelaksanaan program transmigrasi yang kita tentang dan kita hujat dengan isu "jawanisasi".

Terlepas dari segala "kenakalan"  para oknum pelaksana program transmigrasi saat itu, tidak kah sampai di fikiran kita bahwa sesungguhnya program "transmigrasi" tersebut dapat kita simpulkan sebagai cara cerdas Pak Harto untuk mengimplemtasikan kebutuhan "land reform" yang telah dicuatkan oleh Bung Karno?
Begitu juga pemikiran dan langkah strategis  Pak Harto dalam mengantisipasi mengguritanya makelar dan mafia perdagangan internasional melalui pembentukan lembaga Dolog/Bulog ataupun Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC).  
Begitu juga dengan langkah Pak Harto yang sangat-sangat strategis dalam membentuk program PIR (Perkebunan Inti Rakyat).

Dengan "keminter" semua telah kita ingkari kebaikannya dan kita hancurkan.

Tidak kita pungkiri bahwa saat itu ada dan bahkan banyak oknum  yang nakal dalam pelaksanaanya, namun demikian ibarat "muka" kita yang buruk mengapa pula cermin yang harus kita belah.

Adalah benar bahwa teriakan-teriakan rakyat memang tidak lagi bisa dikatakan bersifat "tong kosong nyaring bunyinya" semata, namun saat ini barangkali perlu kita akui dengan jujur bahwa pemikiran yang kita miliki tidak cukup memadai untuk bisa mengerti langkah-langkah sangat strategis dan taktis yang dilahirkan Pak Harto dalam
menjaga kepetingan bangsa dan negara dalam percaturan politik dunia yang semakin menggila dan siap melindas bangsa kita.  
   
Lebih jauh, berbagai pola bahasa politik Pak Harto  yang beliau sampaikan secara bertahap -- seperti sindiran "ngono yo ngono tapi ojo ngono", sindiran "ojo dumeh", sindiran "apa sudah siap", sindiran "siapkanlah", sindiran "mikul nduwur mendem jero" dan  sindiran "ora pathek-an" hingga langkah mundur dari jabatan presiden" --semuanya hanya dianggap sebagai retorika kelemahan dan kekalahan posisi politik oleh banyak orang, baik oleh masyarakat umum, politikus karir maupun politikus terdidik serta akademisi.  
   
Tanpa berfikir panjang, kita  "menumbangkan" Pak Harto dengan penuh nafsu dan bahkan kita semua telah menghancurkan berbagai jasa serta hal-hal positif yang telah dilakukan Pak Harto untuk bangsa dan negara ini.  

                        Eforia Lupa Diri
Di antara sekian banyak dinamika eforia lupa diri yang terjadi selama era reformasi, maka salah satu dinamika yang sangat perlu untuk kita renungkan adalah apa yang terjadi di sektor pendidikan.  
    
Kita perlu sadari bahwa baik  dan buruknya institusi pendidikan di negeri kita adalah akan sangat berpengaruh pada kualitas SDM bangsa kita dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Teriakan "kemenangan" gerakan reformasi kita gemakan dimana-mana, kemudian "nyanyian reformasi"pun dikumandangkan tanpa henti hingga sekarang.

Dalam konteks perilaku peserta didik, atas nama "pejuang reformasi", saat ini dengan mudah bisa kita lihat
betapa di berbagai kampus mahasiswa tidak ada takutnya sedikitpun untuk beramai-ramai berambut gondrong serta memakai sendal  jepit dan berjalan seperti jagoan ke dalam kelas.

Sedangkan di sisi lain para dosen  sangat gamang  (bahkan banyak yang takut) untuk memainkan peran antagonis dalam melakukan pengendalian.

Dalam konteks hakikat pendidikan, jargon-jargon manajemen pendidikan telah dipakai untuk menebas habis hakikat pendidikan. Pepatah pendidikan yang berbunyi "timba lah yang harus mencari sumur" (murid lah yang harus mendatangi guru untuk menuntut ilmu) dijungkirbalikan dengan berbagai aturan yang memasung kreatifitas guru/dosen dalam mengajar dan mendidik.

Bahkan,  guru dan dosen pun (juga berbagai tenaga fungsional lain di luar sektor pendidikan) diperlakukan sebagai buruh melalui sistem absensi rekam sidik jari dan ancaman pemberhentian uang makan.  
     
Atas nama IT (teknologi informasi), kita telah melupakan hakikat guru/dosen dan juga hakikat tenaga fungsional dalam proses pembangunan, serta juga telah mendegradasi potensi kinerja yang sesungguhnya.  
    
Di tingkat dasar hingga menengah, misi peningkatan mutu pendidikan jangka panjang yang diwujudkan dalam bentuk  penerapan ujian nasional (UN) di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas kita kebiri habis-habisan.  

Sedangkan di tingkat pendidikan tinggi,  visi dan misi perguruan tinggi untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang mempunyai "ilmu-pengetahuan" yang luhur  dihancurkan dengan isu WCU (world class university) yang tidak hanya menghabiskan energi segenap anggota sistem pendidikan tinggi untuk mencontoh dan memakai berbagai standar administrasi universitas di manca negara, tapi juga telah menghancurkan berbagai kelebihan  sistem pendidikan nasional yang sudah ada selama ini.  
    
Kreatifitas metoda pedagogik untuk menumbuhkan dan mengoptimalkan kapasitas "ilmu"pada para mahasiswa di perguruan tinggi telah dipasung dan dipancung serta diokulasi dengan jargon-jargon manajemen pendidikan.                

Secara sistematis fungsi perguruan tinggi untuk melakukan proses pematangan kapasitas ilmu dan kepribadian anak bangsa telah dirobohkan dengan lebih mementingkan aspek "pengajaran" ketimbang aspek "pendidikan".

Dalam konteks penghacuran lembaga pendidikan tinggi, maka dalam 1-2 tahun terakhir telah pula dicuatkan isu tentang perlunya menyatukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Ristek.

Naifnya, isu tersebut adalah diluncurkan oleh beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah mengalami kegagalan penerapan sistem badan hukum milik negara (BHMN) --yang sudah diganti dengan opsi
badan layanan umum (BLU) -- yang ternyata hingga saat ini sistem  BHMN/BLU tersebut baru cenderung hanya berujung pada struktur manajemen pendidikan yang bertambah tambun dan lahirnya "raja-raja kecil" yang haus akan kekuasan birokrasi di dalam institusi pendidikan.  

                         Sikap Pengecut
Sikap "lupa diri" yang kita miliki nampaknya juga telah bersahabat erat dengan sikap pengecut. Tidak terasa kita telah menjalani era reformasi lebih dari 15 tahun dan masih saja membiarkan --serta malah  ikut serta terus melakukan -- banyak kekhilafan sikap dan tindakan serta langkah pembangunan dalam eforia-reformasi.

Hingga saat ini dapat kita katakan tidak ada satu institusi atau individu pun yang berani mengambil inisiatif ataupun posisi untuk (katakanlah) "mengoreksi" serta meluruskan reformasi secara objektif, terbuka, baik dan benar serta elegan.

Semua  hanyut dan tenggelam dalam gelombang kekacauan yang dihasilkan oleh sikap dan perilaku kita bersama yang selalu "mengingkari" dan "mengabaikan" kesalahan yang pernah kita perbuat dalam  berbangsa dan bernegara.

    
                          Belalang  Jadi Raja
Mari kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika semua kekhilafan tersebut di atas terus kita lakukan bersama.      
   
Kepala "orang-tua" (pemimpin  bangsa) ibarat telah habis
kita pancung, sedangkan dengan kawan sebaya pun kita  terus saja saling "mem-paido" (zero sum game).

Adapun generasi penerus  kita biarkan saja  terus dilumpuhkan fikiran, jiwa dan raganya oleh berbagai jargon modernisasi yang sangat masif dan sistematis (baik dalam ruang pendidikan formal maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari).

Meskipun istilah "generasi instan" telah kita suarakan dalam 4-5 tahun terakhir, tapi itu hanya cenderung sebagai gurauan semata daripada sebagai suatu kesadaran untuk menata dan membina generasi muda kita secara lebih sungguh-sungguh.

Untuk menghindari kehancuran negeri kita yang lebih parah  di masa depan, barangkali ada perlunya kita  meresapi pepatah dari  Aceh yang berbunyi "meunyo hana siwah di blang, dareut canggang jeut keuraja" (Jika tidak ada burung yang perkasa di sawah maka belalang lah yang akan jadi raja).

Jika kita terus berbuat bodoh, maka esok lusa orang bodohlah yang akan memimpin kita, sehingga akan semakin mudah untuk bangsa asing menguasai bangsa dan negara kita.

Jika bangsa asing yang menguasai bangsa dan negara kita, maka pepatah Aceh mengatakan "kebeu nyang meu'u blang, mie nyang pajeoh bu" (kerbau yang membajak sawah, kucinglah yang akan  memakan nasi).  

*Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB.

Pewarta: Oleh Dr Ir Ricky Avenzora M.Sc.*

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014