Jakarta (Antara Babel) - Demokrasi tampaknya bukan sekadar melahirkan pemimpin politik yang berorientasi pada rakyat sang pemilih, tapi juga pemimpin politik yang kreatif dan inovatif.

Simaklah apa yang dilakukan sejumlah pemimpin hasil pilihan rakyat secara langsung seperti Abdullah Azwar Anas, Ridwal Kamil, Tri Rismaharini, dan Nurdin Abdullah.

Mereka berhasil memajukan warga dan daerah yang mereka pimpin  dengan berbagai aksi nyata, yang signifikan dan tentu saja penuh kreasi dan inovasi.

Tak sulit untuk menjelaskan mengapa demokrasi melahirkan pemimpin seperti mereka dan mereka berpeluang besar untuk menang dalam pemilihan kepala daerah untuk termin kedua, termin terakhir yang dimungkinkan oleh sistem politik Indonesia mutakhir.

Demokrasi memaksa pemimpin bekerja sesuai dengan kemauan rakyat. Dengan demikian demokrasi memaksa pemimpin mendengar suara rakyat. Tentu tak sekadar mendengar, tapi mendengar dan memilih alternatif paling baik dan paling mungkin diimplementasikan.

Pemimpin politik di alam demokrasi mengharuskan dirinya sanggup memilah dan memilih dari suara-suara yang bersliweran yang sepintas merupakan gugusan ide-ide yang simpang-siur. Demokrasi memang semacam proses berlangsungnya ide-ide bertarung, berdialektika untuk sampai pada titik yang paling teruji.

Untuk menjadi pemimpin politik yang kreatif dan inovatif tampaknya pertama-tama yang besangkutan  harus memiliki sebongkah¿betapapun kecilnya¿fantasi atau imajinasi. Selebihnya adalah mengosongkan diri dari hasrat privat yang penuh pamrih untuk mereguk keuntungan pribadi dari kekuasaan yang disandangnya.

Atau bisa juga dibalik urutannya: pemimpin politik yang kreatif dan inovatif pertama-tama perlu mengosongkan diri dari pamrih pribadi untuk mereguk manisnya  kekuasaan yang sedang di pangkuannya, baru kemudian diperlukan bakat pribadi dalam bentuk fantasi dan imajinasi sekecil apapun.

Pemimpin politik yang kreatif-inovatif selalu berusaha menggali potensi daerahnya dari berbagai sisi sumber daya yang dimilikinya. Pemimpin semacam ini tak henti-hentinya melakukan kreasi kultural untuk kepentingan komersial maupun untuk memantapkan jati diri masyarakatnya.

Tentu sebelum melangkah untuk menjadi pemimpin yang kreatif dan inovatif, pemimpin politik perlu terlebih dahulu mengefisienkan dan mengefektifkan sistem kerja birokrasi mereka dan memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan di lingkaran kekuasaan itu.

Transparansi menjadi sangat penting dalam proses menuju efisiensi dan efektivitas ini. Dengan kreasi dan inovasi itu pulalah, Abdullah Azwar Anas melampaui adab politik yang biasa-biasa. Dia bukan cuma mempertanggungjawabkan kinerja dan laporan keuangannya pada lembaga politik resmi sebagaimana diwajibkan uandang-undang. Tapi dia juga mempertanggungjawabkannya pada khalayak yang menjadi warga Banyuwangi yang dia pimpin.

Alangkah ruginya bangsa Indonesia jika kelebihan-kelebihan yang terintegrasi dalam pemimpin politik kreatif inovatif ini, yang lahir lewat pemilihan secara langsung oleh rakyat, didegradasikan kembali ke sistem pemilihan yang pernah digandrungi oleh orde politik otoritarian yang pernah menggurita selama lebih dari tiga dekade di Tanah Air itu.

Pemilihan pemimpin politik oleh elite legislator memang pas untuk memanjakan syahwat kekuasaan sejumput elite politik yang bisa merekayasa, mengolah sumber kekuasaan untuk kepentingan oligarkis, dengan terus meninabobo rakyat melalui penciptaan mitos-mitos yang tak jarang membodohkan rakyat.

Dulu mitos itu pernah termanifestasi oleh asumsi bahwa pemilihan langsung hanya menghidupkan primordialisme dan menggerogoti tali kesatuan dan persatuan bangsa. Mitos putra daerah yang menutup peluang putra luar daerah untuk menjadi pemimpin lokal boleh jadi benar. Namun tak ada yang salah dan membahayakan dengan putra daerah yang memenangi kontestasi politik di daerah mereka sendiri.

Pada akhirnya, putra daerah harus bersaing melawan putra daerah dalam konteks demokrasi yang menguntungkan rakyat karena sang kontestan akan berlomba-lomba untuk melayani mayoritas rakyat dan bukan sejumput elite legislator.

Tentang politik uang dalam pemilihan langsung yang  selalu dikhawatirkan dan mahalnya biaya politik yang  jadi konsekwensi, para pakar politik dan hukum mengajukan argumen bahwa pemilihan oleh legislator juga sarat politik uang dan mekanisme pemilu secara digital sesuai dengan perkembangan teknologi inormasi dan komunikasi memungkinkan memurahkan biaya pemilihan langsung.

Saat ini anak bangsa semacam Ainun Najib dan kawan-kawan  yang berjasa membuat situs Kawal Pemilu pada Pilpres 2014 pastilah bisa menyumbang pemikiran dan kepakaran mereka untuk membuat sistem pemilu langsung secara digital.

Pengerjaan sistem pemilu langsung secara digital bukan sesuatu yang mustahil karena hal semacam itu sudah diterapkan di India, yang tak semua warganya tentu melek teknologi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa melakukan studi banding ke negara-negara yang berhasil menjalankan sistem pemilihan umum secara digital.

Studi banding oleh KPU untuk mengaplikasikan pemilu secara digital juh lebih bermakna daripada yang pernah dilakukan kalangan legislator dalam studi banding mereka hanya untuk membuat sebuah rancangan undang-undang mengenai masalah tertentu. Sebab hal-hal yang verbal dapat dipelajari melalui teks.

Memang salah satu kendala penyelenggaraan pemilu secara digital adalah saat menyangkut pemilih yang belum melek teknologi terutama untuk kaum lanjut usia dan penyandang disabilitas. Namun, dengan kemauan politik, masalah ini bukan perkara besar, karena untuk kalangan khusus ini, sistem juga disesuaikan dengan kekhususan mereka.

Karena kaum legislator juga insan-insan politik yang rasional dan terbekali oleh naluri demokratis, tentulah ada optimisme bahwa pada akhirnya sistem pemilu digital, cepat atau lambat, akan terselenggara juga di Tanah Air. Dengan demikian, pemilu langsung oleh rakyat akhirnya jadi murah, dan dari sanalah akan terus lahir pemimpin politik yang kreatif dan inovatif demi kemajuan bersama.

Pewarta: Oleh M Sunyoto

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014