Jakarta (Antara Babel) - Suksesi kepemimpinan nasional dari Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono ke Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjalan mulus.

Di tengah tensi politik domestik yang sudah cenderung mencair berkat sikap kenegarawanan Presiden Jokowi dan Prabowo, rivalnya dalam Pemilu Presiden, 9 Juli lalu, pemerintahan baru ini resmi bekerja sejak 20 Oktober.

Tidak sedikit tantangan yang langsung menghadang jalannya roda pemerintahan presiden ketujuh Republik Indonesia yang akrab disapa Jokowi ini.

Di  bidang ekonomi, misalnya, beberapa tantangan yang menuntut respons segera pemerintahan baru Jokowi-JK ini adalah bagaimana mengatasi beban subsidi bahan bakar minyak yang terus memberatkan APBN, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan ketidakpastian rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika, The Federal Reserve (The Fed), yang diyakini sejumlah ekonom berpotensi mengancam ekonomi nasional.

Tantangan lain juga tidak kalah berat. Bak sejarah yang berulang tatkala pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla harus menghadapi bencana dahsyat tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang pada tanggal 26 Desember 2004 atau sekitar dua bulan setelah resmi memimpin Indonesia, kini sejumlah bencana yang dampaknya tidak bisa dianggap enteng pun menjadi warisan masalah yang harus dihadapi pemerintahan baru ini.

Di antara deretan bencana yang menyertai suksesi nasional dan hingga kini masih mendera kehidupan sebagian rakyat negeri ini adalah erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo (Sumatera Utara), gangguan kabut asap akibat kebakaran hutan dan pembakaran lahan di sejumlah daerah di Tanah Air, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah, serta kemarau yang menyebabkan kekeringan di sejumlah daerah di Pulau Jawa dan luar Jawa.

Semua masalah itu menuntut solusi konkret pemerintah karena berbagai bencana yang melanda negeri ini tidak hanya telah membawa kerugian sosial dan ekonomi yang tidak sedikit, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata rakyat negeri jiran.

Bahkan, dalam kasus kabut asap yang diperkirakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menimbulkan kerugian puluhan triliun rupiah bagi negara, misalnya, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan sempat meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia pada tanggal 24 Juni 2013.

Permintaan maaf itu disampaikan Kepala Negara kepada kedua negeri jiran itu 11 tahun setelah Indonesia bersama negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang lain menandatangani nota kerja sama mitigasi bencana asap yang tertuang dalam Kesepakatan ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas.

Kesepakatan yang ditandatangani para wakil negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2002 itu pun disetujui DPR dan Presiden RI dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 16 September 2014.

Sepanjang 10 tahun masa pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bencana demi bencana memang silih berganti melanda berbagai tempat di Tanah Air. Beberapa di antaranya adalah gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias (2004), gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), dan gempa Sumatera Barat (2009).

Dalam menghadapi serangkaian bencana tersebut, pemerintah dan rakyat negeri ini terlihat tegar dan mampu melewatinya, termasuk gempa bumi yang diikuti tsunami dahsyat yang menghantam wilayah Aceh dan sekitarnya pada tanggal 26 Desember 2004.

Pemerintahan SBY-JK ketika itu memberikan status "bencana nasional" kepada katastrofi yang terjadi di Aceh dan sekitarnya yang menelan korban 173.741 jiwa dan menimbulkan kerugian senilai Rp41,4 triliun itu.

Dihadapkan pada bencana dengan magnitude yang sedemikian dahsyat di Aceh dan sekitarnya itu, pemerintahan Presiden Yudhoyono kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).

Menurut situs resmi BNPB, Bakornas PB yang "memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulangan bencana" itu kemudian berubah menjadi BNPB.

Perubahan itu dilakukan seiring dengan keseriusan pemerintah "membangun legalisasi, lembaga, maupun 'budgeting' (penganggaran)" setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB.

Cikal bakal badan yang sejak dibentuk pada tahun 2008 kerap menghiasi pemberitaan media nasional tentang bencana dan mitigasi kebencanaan ini adalah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang dibentuk pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 20 Agustus 1945.

Kini, di tangan Jokowi-JK, nasib BNPB yang merupakan warisan pemerintahan SBY ini berada. Kepiawaian dwitunggal yang akan menakhodai Indonesia hingga 2019 ini diuji dalam menangani berbagai bencana itu.

Dalam kasus Gunung Sinabung yang kembali meletus pada tanggal 24 September dan letusannya diperkirakan BNPB masih terus berpotensi terjadi ini, misalnya, masyarakat Karo yang berada di zona bencana telah pun merasakan dampaknya.

Menurut Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara H.M. Roem, sedikitnya 2.959 hektare lahan pertanian di Tanah Karo mengalami kerusakan atau terancam puso akibat tertutup abu vulkanis letusan gunung setinggi 2.460 meter itu.

Merujuk pada dampak erupsi gunung setinggi 2.460 meter yang terjadi sebelumnya, Kementerian Pertanian RI memperkirakan kerugian yang dialami sektor pertanian mencapai Rp1,3 triliun hingga Rp1,5 triliun.

Para korban erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara itu menitipkan harapan akan pemulihan kehidupan keluarga mereka pada Jokowi-JK.

Di tengah pekerjaan rumah yang tidak sedikit itu, tidak ada pilihan bagi pemerintahan mereka, kecuali bekerja keras demi kesejahteraan dan harga diri bangsa.

Pewarta: Oleh Rahmad Nasution

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014