Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta agar Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menjelaskan alasan pemberhentian Jenderal Pol Sutarman sebagai Kapolri.

"Saya menjadi Kompolnas selama enam tahun, dan saat ini perlu ada yang diklarifikasi. Kita perlu tahu apa pertimbangan Kompolnas (mengapa) memberhentikan Kapolri sekarang. Ini perlu penjelasan, ini jadi penting, jangan sampai jadi preseden buruk," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Pernyataan itu diungkapkan Adnan, saat menerima Relawan "Salam 2 Jari" yang datang ke KPK untuk memberikan dukungan sekaligus meminta agar Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Kapolri Jenderal Pol Sutarman baru akan memasuki masa pensiun pada Oktober 2015, namun Presiden Joko Widodo mengajukan nama Komjen Pol Budi Gunawan Kepala Lembaga Pendidikan Polri tersebut kepada DPR pada Jumat (9/1), tanpa meminta penelusuran rekam jejak kepada KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

"KPK sering kali dijadikan bahan kampanye calon presiden, semua capres mengatakan mendukung KPK. KPK hebat yang harus didukung bersama dan Jokowi menandatangani komitmen," ungkap Adnan.

Komitmen Antikorupsi yang dimaksud Adnan adalah Buku Putih 8 Agenda Pemberantasan Korupsi sebagai komitmen yang ditandangani Jokowi dan Jusuf Kalla serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa saat datang ke KPK saat masa kampanye pemilihan presiden.

Di dalam komitemen Antikorupsi itu menurut Adnan setidaknya memuat (1) Menolak dan melaporkan segala gratifikasi, (2) Menolak upaya pelemahan KPK, (3) Mematuhi konvensi Unit Gratifikasi, (4) Melakukan Tes Integritas Komitmen, (5) Tidak memberi ruang keluarga akses dana, (6) Tidak melakukan nepotisme dan kolusi.

"Ini tandatangan berarti terikat. Apa persepsi mengenai tanda tangan? Kalau dilanggar bisa lihat akan bagaimana pemerintahan ini," tambah Adnan.

Sedangkan komisioner KPK lain, Zulkarnaen menyatakan bahwa penangnaan kasus Budi Gunawan tersebut merupakan bentuk praktek suap dan penerimaan gratifikasi di kalangan pejabat negara.

"Rekening gendut menjadi kasus perkara suap-menyuap dan gratifikasi. Ini harus kita selesaikan dengan baik tapi membutuhkan dukungan," ungkap Zulkarnaen.

KPK, menurut Zulkarnaen sedang menyatukan berbagai dokumen, surat, surat elektronik maupun keterangan ahli menjadi bukti yang kuat dan meyakinkan.

"Ini yang butuh waktu panjang. Ini tantangan cukup besar, kami perlukan untuk selesaikan kasus-kasus ini," tambah Zulkarnaen.

Rapat paripurna DPR pada hari menyetujui Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman, setelah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi, sehingga tinggal menunggu pelantikan Budi Gunawan oleh Presiden.

Padahal pada KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait transaksi yang mencurigakan.

Dugaan penerimaan hadiah itu dilakukan sejak Budi menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015