Dokter spesialis anak dari RSUI, Cynthia Centauri mengatakan, mendeteksi tuberkulosis pada anak lebih sulit dari orang dewasa karena kalangan tersebut jarang menunjukkan gejala TBC, misalnya batuk atau masalah lain pada saluran pernapasan.
"Pada anak yang menderita TB jarang sekali yang mengalami batuk. Gejala yang sering terjadi yaitu pada berat badan anak yang tak kunjung naik naik dan demam terus menerus," kata dia dalam siaran pers RSUI, dikutip Jumat.
Lebih lanjut, saat dokter sudah mendiagnosis anak terkena TB, maka pengobatan yang akan diberikan setidaknya berpegang pada empat prinsip yakni minum obat TB (OAT) secara teratur sampai dengan tuntas atau sembuh serta rutin untuk berobat dan kontrol ke dokter.
Menurut Cynthia, penetapan penghentian pengobatan ini harus diputuskan oleh dokter bukannya perkiraan keluarga pasien.
Selanjutnya, mencegah penularan lebih lanjut, memenuhi gizi yang adekuat sesuai kebutuhan pasien dan menjalani pola hidup bersih dan sehat; serta mencari dan tatalaksana penyakit penyerta.
Dokter spesialis paru dari RSUI, RR. Diah Handayani menyoroti kenyataan pandemi COVID-19 yang sedikit menggeser program TB, karena fokus dari tenaga kesehatan dan masyarakat saat ini lebih kepada COVID-19.
"Upaya pencegahan TB seharusnya bisa lebih digalakan seperti pada kasus COVID-19. Upaya ini memerlukan kerjasama dan kolaborasi dari banyak pihak seperti kader, fasilitas layanan kesehatan, praktik sejawat, pemerintah, serta masyarakat," kata dia.
Dia mengingatkan, beberapa terapi pencegahan TB yang perlu kembali digalakkan meliputi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), skrining, active case finding, TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis), pencegahan serta terapi HIV dan komorbid lain, akses ke layanan kesehatan dan dukungan sosial serta pengentasan kemiskinan.
Upaya eliminasi TB ini dilakukan mulai dari pencegahan TB laten dan infeksi TB sebelum sakit.
Menurut Diah, upaya penanganan TB bisa dipelajari dari upaya penanganan COVID-19 seperti pelacakan kontak, identifikasi terapi, serta pencegahan dilakukan dengan agresif oleh banyak pihak.
"Sehingga, upaya pencegahan TB juga harus radikal," kata dia.
Ketua Perhimpunan Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) cabang Kota Depok, dr. Rulliana Agustin mengingatkan, para kader TB berperan memberikan pendampingan dan edukasi terbaik kepada masyarakat terhadap kewaspadaan TB dan pengobatannya.
Dia tak menampik, beberapa tantangan yang dihadapi para kader, seperti risiko tertular, cara memotivasi pasien, dan sebagainya.
"Tentunya kerja sama dengan berbagai pihak perlu terus dijalin karena TB adalah masalah kita bersama yang cukup besar; salah satu yang diharapkan misalnya penyediaan APD yang terjamin (minimal masker) bagi para kader," kata Rilliana.
Dia berharap, semua pihak dapat bersemangat dan berkolaborasi menemukan dan mengatasi secara tuntas penyakit tuberkulosis sesuai dengan protokol kesehatan di era Pandemi COVID-19. Selain itu diharapkan pula layanan pengobatan dan laboratorium TB dapat dipertahankan berdampingan dengan layanan COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021
"Pada anak yang menderita TB jarang sekali yang mengalami batuk. Gejala yang sering terjadi yaitu pada berat badan anak yang tak kunjung naik naik dan demam terus menerus," kata dia dalam siaran pers RSUI, dikutip Jumat.
Lebih lanjut, saat dokter sudah mendiagnosis anak terkena TB, maka pengobatan yang akan diberikan setidaknya berpegang pada empat prinsip yakni minum obat TB (OAT) secara teratur sampai dengan tuntas atau sembuh serta rutin untuk berobat dan kontrol ke dokter.
Menurut Cynthia, penetapan penghentian pengobatan ini harus diputuskan oleh dokter bukannya perkiraan keluarga pasien.
Selanjutnya, mencegah penularan lebih lanjut, memenuhi gizi yang adekuat sesuai kebutuhan pasien dan menjalani pola hidup bersih dan sehat; serta mencari dan tatalaksana penyakit penyerta.
Dokter spesialis paru dari RSUI, RR. Diah Handayani menyoroti kenyataan pandemi COVID-19 yang sedikit menggeser program TB, karena fokus dari tenaga kesehatan dan masyarakat saat ini lebih kepada COVID-19.
"Upaya pencegahan TB seharusnya bisa lebih digalakan seperti pada kasus COVID-19. Upaya ini memerlukan kerjasama dan kolaborasi dari banyak pihak seperti kader, fasilitas layanan kesehatan, praktik sejawat, pemerintah, serta masyarakat," kata dia.
Dia mengingatkan, beberapa terapi pencegahan TB yang perlu kembali digalakkan meliputi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), skrining, active case finding, TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis), pencegahan serta terapi HIV dan komorbid lain, akses ke layanan kesehatan dan dukungan sosial serta pengentasan kemiskinan.
Upaya eliminasi TB ini dilakukan mulai dari pencegahan TB laten dan infeksi TB sebelum sakit.
Menurut Diah, upaya penanganan TB bisa dipelajari dari upaya penanganan COVID-19 seperti pelacakan kontak, identifikasi terapi, serta pencegahan dilakukan dengan agresif oleh banyak pihak.
"Sehingga, upaya pencegahan TB juga harus radikal," kata dia.
Ketua Perhimpunan Perkumpulan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) cabang Kota Depok, dr. Rulliana Agustin mengingatkan, para kader TB berperan memberikan pendampingan dan edukasi terbaik kepada masyarakat terhadap kewaspadaan TB dan pengobatannya.
Dia tak menampik, beberapa tantangan yang dihadapi para kader, seperti risiko tertular, cara memotivasi pasien, dan sebagainya.
"Tentunya kerja sama dengan berbagai pihak perlu terus dijalin karena TB adalah masalah kita bersama yang cukup besar; salah satu yang diharapkan misalnya penyediaan APD yang terjamin (minimal masker) bagi para kader," kata Rilliana.
Dia berharap, semua pihak dapat bersemangat dan berkolaborasi menemukan dan mengatasi secara tuntas penyakit tuberkulosis sesuai dengan protokol kesehatan di era Pandemi COVID-19. Selain itu diharapkan pula layanan pengobatan dan laboratorium TB dapat dipertahankan berdampingan dengan layanan COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021