Jakarta (Antara Babel) - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam konstitusi UUD 1945 setelah lebih setahun diajukan gugatan ke lembaga tersebut.
Keputusan itu mengejutkan karena MK dinilai berani di tengah makin menguatnya peran swasta dalam pengusahaan air menjadi barang dagangan atau bisnis. Padahal, dalam konstitusi sudah secara tegas dan jelas terang benderang bahwa air dikuasai oleh Negara.
Di sisi lain, keputusan ini juga membukakan mata pemahaman publik bahwa di tengah sorotan pada MK terkait dengan sepak terjang pimpinannya terdahulu, lembaga tersebut terjerembap pada citra yang agak buruk. Keputusan ini mendongkrak kembali kepercayaan publik pada MK.
Namun, di samping hal-hal yang positif dari keputusan itu, ada juga keprihatinan karena gugatan ini baru diajukan dan baru diputuskan, padahal UU Nomor 7/2004 sudah berlaku 10 tahun. Meski demikian, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Keputusan ini juga perlu menjadi bahan koreksi, evaluasi, dan introspeksi DPR RI dan pemerintah yang membahas dan menyetujui pemberlakuan UU tersebut. Dengan membatalkan seluruh isi UU, hal itu berarti bahwa seluruh pasalnya merugikan masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi.
Pertanyaaannya mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana logika berpikir anggota parlemen yang membahas rancangan UU ini bersama pemerintah waktu itu? Bukankah seluruh aturan hukum yang disusun dan diberlakukan harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945?
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah tampaknya perlu menjadikan keputusan MK ini sebagai pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Banyak kalangan yakin DPR dan pemerintah tidak mau dipermalukan lagi secara telanjang di hadapan MK sehingga akan sangat berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan kalimat pada pasal demi pasal di RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
Komersialisasi
Gugatan atas UU Nomor 7/2004 diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan. Ketum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin memimpin delegasi ke MK pada tanggal 24 September 2013 pukul 13.00.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa lembaga serta perseorangan mengajukan gugatan terhadap UU tersebut karena dinilai telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi air. Beberapa ketentuan dalam UU ini juga dikhawatirkan menimbulkan konflik masyarakat dengan pelaku bisnis.
Menurut Muhammadiyah, air yang merupakan "basic need" dan "public good" seyogianya tidak boleh diprivatisasi dan dikomersialisasi yang akhirnya berdampak pada harga tinggi dan merugikan rakyat. Pertimbangan itu kemudian disepadankan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Pasal 3 berbunyi "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya secara tegas menyatakan bahwa UU Sumber Daya Air (SDA) tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada hari Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
"Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945," kata Arief.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
"Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air," katanya.
Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad) dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad)," katanya Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air menjadi syarat yang tidak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.
Harga Ekonomi
Kemudian, konsep hak dalam hak guna air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep "res commune" yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi.
Selain itu, konsep hak guna pakai air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, pemanfaatan air di luar hak guna pakai air dalam hal ini hak guna usaha air harus melalui permohonan izin kepada pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.
Itulah sebabnya, hak guna usaha air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak guna usaha air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan.
"Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh Negara secara ketat," kata Hakim Konstitusi Aswanto.
Harga Air
Hal lain yang dipertimbangkan MK terkait dengan prinsip "penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan" harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.
Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.
"Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air," kata Aswanto.
Prinsip kelima, terkait dengan hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui sesuai dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui peraturan daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif, tetapi bersifat deklaratif.
Terakhir, kata Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.
Kebutuhan dimaksud, antara lain kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain.
"Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh Negara atas air adalah 'ruh' atau 'jantung' dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945," katanya.
Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA. Dalam hal ini peraturan pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah. Hal itu menunjukkan bahwa undang-undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Meskipun pemerintah telah menetapkan enam peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, menurut Mahkamah, keenam PP tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Karena permohonan para pemohon berkaitan dengan UU SDA, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005 perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Penyelewengan norma tersebut berdampak pada pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP Nomor 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) makin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air.
Padahal, UU SDA menegaskan bahwa pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak guna pakai air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan.
Untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan mengenai pemanfaatan sumber daya air, MK juga memerintahkan agar UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali.
Dengan keputusan MK tersebut, keinginan PP Muhammadiyah dan sejumlah elemen masyarakat mencegah menguatnya peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di dalam negeri dengan menggugat UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air ke MK berhasil.
Din Syamsuddin mengucap syukur atas pembatalan UU tersebut. "Terima kasih atas dukungan semua pihak. Jihad konstitusi tidak boleh berhenti," katanya.
Kuasa hukum PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara mengemukakan, "Dengan putusan MK, seluruh norma yang terkandung dalam UU SDA harus kembali menggunakan UU Pengairan tahun 1974."
Putusan MK juga telah memberi batasan tegas terhadap pengusahaan air. Misalnya, terkait pengusahaan air yang tidak boleh mengganggu hak rakyat atas air. "Dengan rumusan batasan ini kami harap ke depan aturan pengusahaan air bisa diperketat," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Keputusan itu mengejutkan karena MK dinilai berani di tengah makin menguatnya peran swasta dalam pengusahaan air menjadi barang dagangan atau bisnis. Padahal, dalam konstitusi sudah secara tegas dan jelas terang benderang bahwa air dikuasai oleh Negara.
Di sisi lain, keputusan ini juga membukakan mata pemahaman publik bahwa di tengah sorotan pada MK terkait dengan sepak terjang pimpinannya terdahulu, lembaga tersebut terjerembap pada citra yang agak buruk. Keputusan ini mendongkrak kembali kepercayaan publik pada MK.
Namun, di samping hal-hal yang positif dari keputusan itu, ada juga keprihatinan karena gugatan ini baru diajukan dan baru diputuskan, padahal UU Nomor 7/2004 sudah berlaku 10 tahun. Meski demikian, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Keputusan ini juga perlu menjadi bahan koreksi, evaluasi, dan introspeksi DPR RI dan pemerintah yang membahas dan menyetujui pemberlakuan UU tersebut. Dengan membatalkan seluruh isi UU, hal itu berarti bahwa seluruh pasalnya merugikan masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi.
Pertanyaaannya mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana logika berpikir anggota parlemen yang membahas rancangan UU ini bersama pemerintah waktu itu? Bukankah seluruh aturan hukum yang disusun dan diberlakukan harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945?
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah tampaknya perlu menjadikan keputusan MK ini sebagai pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Banyak kalangan yakin DPR dan pemerintah tidak mau dipermalukan lagi secara telanjang di hadapan MK sehingga akan sangat berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan kalimat pada pasal demi pasal di RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
Komersialisasi
Gugatan atas UU Nomor 7/2004 diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan. Ketum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin memimpin delegasi ke MK pada tanggal 24 September 2013 pukul 13.00.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa lembaga serta perseorangan mengajukan gugatan terhadap UU tersebut karena dinilai telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi air. Beberapa ketentuan dalam UU ini juga dikhawatirkan menimbulkan konflik masyarakat dengan pelaku bisnis.
Menurut Muhammadiyah, air yang merupakan "basic need" dan "public good" seyogianya tidak boleh diprivatisasi dan dikomersialisasi yang akhirnya berdampak pada harga tinggi dan merugikan rakyat. Pertimbangan itu kemudian disepadankan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Pasal 3 berbunyi "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya secara tegas menyatakan bahwa UU Sumber Daya Air (SDA) tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada hari Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
"Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945," kata Arief.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
"Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air," katanya.
Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad) dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad)," katanya Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air menjadi syarat yang tidak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.
Harga Ekonomi
Kemudian, konsep hak dalam hak guna air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep "res commune" yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi.
Selain itu, konsep hak guna pakai air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, pemanfaatan air di luar hak guna pakai air dalam hal ini hak guna usaha air harus melalui permohonan izin kepada pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.
Itulah sebabnya, hak guna usaha air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak guna usaha air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan.
"Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh Negara secara ketat," kata Hakim Konstitusi Aswanto.
Harga Air
Hal lain yang dipertimbangkan MK terkait dengan prinsip "penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan" harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.
Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.
"Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air," kata Aswanto.
Prinsip kelima, terkait dengan hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui sesuai dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui peraturan daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif, tetapi bersifat deklaratif.
Terakhir, kata Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.
Kebutuhan dimaksud, antara lain kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain.
"Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh Negara atas air adalah 'ruh' atau 'jantung' dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945," katanya.
Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA. Dalam hal ini peraturan pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah. Hal itu menunjukkan bahwa undang-undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Meskipun pemerintah telah menetapkan enam peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, menurut Mahkamah, keenam PP tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Karena permohonan para pemohon berkaitan dengan UU SDA, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005 perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Penyelewengan norma tersebut berdampak pada pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP Nomor 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) makin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air.
Padahal, UU SDA menegaskan bahwa pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak guna pakai air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan.
Untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan mengenai pemanfaatan sumber daya air, MK juga memerintahkan agar UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali.
Dengan keputusan MK tersebut, keinginan PP Muhammadiyah dan sejumlah elemen masyarakat mencegah menguatnya peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di dalam negeri dengan menggugat UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air ke MK berhasil.
Din Syamsuddin mengucap syukur atas pembatalan UU tersebut. "Terima kasih atas dukungan semua pihak. Jihad konstitusi tidak boleh berhenti," katanya.
Kuasa hukum PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara mengemukakan, "Dengan putusan MK, seluruh norma yang terkandung dalam UU SDA harus kembali menggunakan UU Pengairan tahun 1974."
Putusan MK juga telah memberi batasan tegas terhadap pengusahaan air. Misalnya, terkait pengusahaan air yang tidak boleh mengganggu hak rakyat atas air. "Dengan rumusan batasan ini kami harap ke depan aturan pengusahaan air bisa diperketat," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015