Jakarta (Antara Babel) - Dakwaan terhadap Asyani dan Labora Sitorus sama--mencuri kayu dan merugikan negara. Akan tetapi, perlakuan hukumnya sangat berbeda.

Si nenek renta langsung ditahan dan diancam hukuman lima tahun penjara, sementara si pemilik rekening gendut itu sempat lari dari lapas, bahkan mendapatkan surat bebas.

Nasib Asyani, menurut Daeng Novrial--pemerhati masalah sosial-politik--hanyalah salah satu dari berbagai kasus hukum di negeri ini. Betapa lemahnya rakyat kecil atau si miskin mencari keadilan hukum.

Tuduhan pencurian kayu jati kepada wanita tua itu oleh pihak Perhutani merupakan bentuk dari ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil dan mencederai hakikat keadilan hukum di negeri ini.

Peristiwa itu bermula saat nenek Asyani dan Ruslan, menantunya, yang tinggal di Dusun Secangan, Situbondo memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil "illegal logging" dan segera diproses secara hukum.

Sesungguhnya, kayu-kayu tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani. Perhutani memerkarakan nenek itu PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan Perusakan Hutan.

Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik negara tanpa menyebutkan orang per orang.

"Kalau kami tidak melaporkan pencurian tersebut, kami akan kena sanksi pidana dengan ancaman penjara 6--15 tahun dan denda uang sebesar Rp1 miliar--Rp 7,5 miliar," katanya.

Dalam kasus di Situbondo itu, Perum Perhutani hanya melaporkan kejadian pencurian kayu tanpa melaporkan siapa yang diduga sebagai pelakunya. "Penetapan tersangka menjadi kewenangan penyidik," katanya.

Selain Asyani, penyidik telah menetapkan tersangka utamanya adalah Ruslan yang membantu mengangkut kayu, Abdus Salam sebagai pemilik kendaraan pengangkut kayu, dan Cipto, tukang kayu.

Prinsip persamaan di mata hukum yang menjadi amanat dari UUD 1945 dengan tujuan melindungi setiap warganya, pada Pasal 27 UUD 1945, yang secara jelas menetapkan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum tanpa ada pengecualian, ternyata dalam praktiknya sering muncul ketidakadilan.

Pada kasus Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp50 juta.

Merasa tak puas, LS dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kasasinya ditolak, justru dia mendapatkan tambahan hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Labora terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Hakim Agung menolak kasasi LS dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Keputusan ini tentunya memiliki kekuatan hukum tetap yang harus dia patuhi. Akan tetapi, yang terjadi LS tidak patuh karena memiliki surat bebas yang kabarnya dikeluarkan Plt. kepala LP.

Berkat kekuatan uangnya, LS sempat tidak berada di lapas tanpa alasan yang jelas, bahkan mendapatkan surat bebas yang dikeluarkan pihak lapas tanpa ada dasar hukumnya. Kepala Kejaksaan Negeri Sorong Darmah Muin pertengahan Januari 2015 kemudian mengeluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Labora.

Dalam beberapa kasus, terutama apabila berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik, menurut Novrial, orang miskin selalu saja tidak berdaya dan menjadi korban. Masih banyak lagi fakta ketika para koruptor dan penjahat berdasi diperlakukan sangat berbeda dengan orang kecil yang terjerat kasus hukum.

Bantuan hukum bagi orang miskin bukanlah sebuah ungkapan belas kasihan, melainkan hak mendasar bagi setiap manusia yang wajib disediakan oleh Negara. Akan tetapi, dalam kasus-kasus hukum yang melibatkan orang miskin, seperti penggusuran, kriminalisasi, dan penyerobotan tanah--tingginya biaya perkara, rumitnya birokrasi, dan watak aparat pengadilan yang belum sepenuhnya bersih dari praktik korupsi--menyebabkan rakyat kecil tertindas.

    
                                       Keadilan untuk Semua
Hukum di Indonesia tampaknya belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Bahkan, sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Fenomena hukum saat ini adalah orang miskin dengan mudah dijebloskan ke penjara, tetapi orang kaya dan berkuasa sulit untuk diusut.

Seperti kasus nenek Minah, pencuri kakao, anak mencuri sandal jepit, kasus pidana warga miskin dianggap kejahatan besar dan harus ditindak cepat langsung dijebloskan ke penjara. Sementara itu, para koruptor yang maling uang negara miliaran rupiah sampai triliunan rupiah hanya divonis pengadilan dengan hitungan tahun.

Bahkan, pejabat negara yang sudah divonis pun masih duduk tenang menunggu proses banding hingga nantinya mendapatkan remisi atau bahkan dibebaskan. Mantan Presiden RI H.M. Soeharto, misalnya, yang diduga dengan penyimpangan dana tujuh yayasan yang dipimpinnya, perkaranya dihentikan hakim karena terdakwa tidak bisa dihadirkan. Hakim juga menolak keinginan jaksa untuk membuka kembali kasus ini.

Hendrawan Haryono, mantan Wakil Direktur Utama Bank Asia Pacific (Aspac), yang terlibat kasus korupsi BLBI sebesar Rp583 miliar hanya divonis satu tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan. Dalam kasus Bank Bali yang melibatkan Pande Lubis dengan kerugian negara Rp904 miliar, jaksa menuntut empat tahun penjara. Akan tetapi, hakim membebaskannya karena dianggap bukan kasus korupsi.

Arifin Panigoro, dengan dugaan penyimpangan dana Promes dari PT Jasindo pada Medco, dilepaskan karena hakim menolak dakwaan. Sementara itu, Ginandjar S. Kartasasmita, dengan dugaan korupsi technical assistant contract PT UPG dengan PT Pertamina, dilepaskan hakim di praperadilan.

Jamal Wiwoho, dosen S-3 Fakultas Hukum UNS Solo, membenarkan bahwa rakyat kecil selalu lemah jika berhadapan dengan hukum dan menghadapi ketidakadilan. Kasus Aminah, pencuri tiga butir kakao di Banyumas, misalnya, divonis penjara 1 bulan 15 hari; Supriyadi (40),  pencuri dua batang singkong dan satu batang bambu di Pasuruan divonis 1 bulan 20 hari kurungan; Amirah, pekerja rumah tangga pencuri sarung bekas di Pamekasan, dipenjara 3 bulan 24 hari.

Terhadap kasus-kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil selalu muncul pembelaan oleh publik. Di sini akan terjadi perdebatan hebat dari substansi tujuan hukum itu sendiri antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Secara teoritis filosofis, rumusan tersebut sangat ideal. Namun, dalam tataran empiris, ketiganya sangat sulit diwujudkan secara bersamaan.

Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekadar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu, akhirnya muncul pendapat umum bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik. Namun, tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.

Dalam konteks penegakan hukum perkara pencurian kecil yang melibatkan orang miskin, menurut Jamal, akan selalu dihadapkan pada dilema yang sulit dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi, pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan hukum positif dengan ancaman pelanggaran Pasal 362 yang pelakunya dapat dikenai pidana.

Namun, di sisi lain, rakyat miskin melakukan perbuatan itu mungkin hanya karena faktor ketidaktahuan semata bahwa perbuatan tersebut termasuk tindak pidana ataupun karena faktor keterpaksaan untuk menyambung hidup, bukan untuk memperkaya diri.

Pembelaan publik terhadap kasus pencurian kecil macam itu, kata dia, dapat diidentifikasi menjadi dua isu mendasar. Pertama, mengenai penanganan perkara bagi kaum miskin oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dan diduga melanggar norma penanganan perkara pidana. Kedua, publik mempersoalkan kenapa pencurian kecil oleh kaum miskin harus dimejahijaukan?
      
Dalam konteks dukungan publik, pada isu pertama, aparat harus selalu bertindak profesional berdasarkan norma hukum yang ada. "Namun, dalam konteks yang kedua, saya kurang sependapat jika aparat penegak hukum dipersoalkan bila memproses tindak pidana pencurian kecil yang dilakukan oleh kaum miskin," katanya.

Penegak hukum dalam penyelesaian ini hendaknya tidak hanya berfokus pada hukuman penjara, tetapi juga pada perbaikan atau pemulihan perilaku terdakwa. Apalagi, yang dilakukan nenek Asyani tidak dapat dikategorikan sebagai praktik "illegal logging".

Para penegak hukum, khususnya penyidik, harus melihat bahwa ini bukanlah kasus pencurian kayu secara besar-besaran yang merugikan negara. Hukum memang harus ditegakkan. Akan tetapi, masih ada upaya lain selain menghukum seseorang dengan hukum pidana.

Tentu menjadi harapan masyarakat, pengadilan tidak menjadi lembaga penghukum bagi si miskin, tetapi pengadilan harus bijaksana dalam mengambil putusan dan segera membebaskan nenek Asyani dari segala tuntutan hukum. Keadilan bukanlah sekadar menghukum orang, melainkan juga memperbaiki perilaku.

Hukuman memang tidak selalu adil bergantung pada kasus dan dampaknya. Penegak hukum seperti kata Jamal, semestinya mengedepankan keadilan restoratif. Artinya, adanya kejanggalan yang harus diungkap di persidangan kasus nenek Asyani, yang semula bukan kejahatan dijadikan kejahatan.

Dakwaan jaksa yang menjerat nenek Asyani dengan pasal "illegal logging" dengan ancaman hukuman penjara, menjadi taruhan bagi keadilan hukum negeri ini.

Pewarta: Illa Kartila

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015