Jakarta (Antara Babel) - Perselisihan kepengurusan Partai Golkar dan PPP belum menemui titik terang, padahal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada bulan Desember 2015.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui draf Peraturan KPU mensyaratkan parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau terjadi islah sebelum pendaftaran pilkada.

Namun, dalam rapat antara pimpinan DPR RI, Komisi II DPR, KPU, dan Kemendagri, Senin (4/5), DPR RI meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. Komisi Pemilihan Umum menolak permintaan tersebut karena tidak ada payung hukum yang mengatur atas hal itu.

Menurut pengamat ketatanegaraan dari Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (Sigma) Said Salahudin, perlu dipertimbangkan untuk memperbolehkan masing-masing kubu di Partai Golkar dan PPP mengusung pasangan calon yang berbeda dalam Pilkada 2015.

Keinginan KPU agar terjadi islah atau diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam kasus Partai Golkar dan PPP merupakan solusi yang ideal meski kurang realistis. Sementara itu, keinginan DPR agar KPU cukup berpegang pada putusan terakhir pengadilan terbilang masuk akal. "Namun, punya tingkat kerawanan yang tinggi," kata Salahudin.

Ia mengatakan bahwa islah soal kepengurusan itu tidak cukup dibuat di dalam akta perdamaian. Islah harus dilakukan melalui mekanisme munaslub dan muktamarlub. Persoalannya, alih-alih Partai Golkar mau menyelenggarakan munaslub dan PPP mau menggelar muktamarlub, tanda-tanda ke arah itu saja belum terlihat sampai saat ini.

"Oleh sebab itu, saya katakan memang ideal. Namun, kurang realistis keinginan KPU untuk mengharapkan terjadi islah sebelum ditutupnya pendaftaran calon peserta pilkada pada bulan Juli nanti," kata dia.

Sementara itu, jika DPR ingin agar KPU berpegang pada putusan terakhir yang dikeluarkan oleh pengadilan, dikhawatirkan pada perjalanan selanjutnya muncul putusan baru dari pengadilan pada level yang lebih tinggi atau putusan inkrah yang membatalkan putusan sebelumnya.

Misalnya, sebelum ditutupnya pendaftaran calon peserta pilkada, putusan terakhir untuk Partai Golkar diputus oleh PTUN yang menyatakan SK Menkumham untuk kubu Agung Laksono sah. Akan tetapi, ketika memasuki masa kampanye, keluar putusan PTTUN atau putusan MA yang inkrah yang membatalkan putusan PTUN.

"Calon yang diusung oleh kubu Agung Laksono boleh jadi akan digugat keabsahannya. Di sini muncul kerawanan. Konflik bahkan kerusuhan bisa saja terjadi di pelbagai daerah yang menyelenggarakan pilkada. Begitu pun jika KPU ingin berpegang pada putusan inkrah. Itu tidak bisa dijamin. Kalau pada kenyataannya pada bulan Juli belum ada putusan inkrah, pertanyaannya KPU akan menerima pendaftaran calon peserta pilkada dari kubu yang mana? Ini kan tidak mudah," kata dia.

Menurut dia, andaipun MA siap memberikan garansi ada putusan inkrah sebelum ditutupnya pendaftaran calon pada bulan Juli, pertanyaannya putusan inkrah yang seperti apa?
"Saat ini kan, pokok perkara di peradilan tata usaha negara dalam kasus Partai Golkar dan PPP hanya berkenaan dengan pengujian sah atau tidaknya SK Menkumham. Kalau putusan inkrah menyatakan SK tersebut sah, KPU akan menerima pendaftaran calon pilkada dari kubu Agung dan kubu Romahurmuziy. Pertanyaannya, bagaimana jika putusannya hanya membatalkan SK Menkumham, tetapi tidak menentukan kepengurusan lain yang sah di Partai Golkar dan PPP? Komisi Pemilihan Umum mau menerima pendaftaran calon peserta pilkada dari kubu yang mana?" kata dia.

Ia mengatakan bahwa kondisi tersebut bisa saja terjadi. Pengadilan tidak selalu bisa dijamin akan memerintahkan kepada pejabat tata usaha negara untuk menerbitkan keputusan baru untuk menggantikan keputusan yang dibatalkan.

"Di sini persoalannya. Komisi Pemilihan Umum akan kebingungan sendiri. Mau menerima kubu Agung dan Romahurmuziy jelas tidak mungkin karena pengesahan kepengurusan mereka telah batal bersamaan dengan dibatalkannya SK Menkumham berdasarkan putusan inkrah," kata dia.

Akan tetapi, untuk menerima kubu Aburizal dan Djan Farid pun KPU tidak memiliki dasar yang kuat sebab kepengurusan mereka tidak dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah di dalam putusan inkrah, sementara Menkumham pun kukuh tidak mengesahkan kepengurusan mereka.

"Andaipun di dalam putusan inkrah sekaligus dinyatakan SK Menkumham batal dan diperintahkan kepada Menkumham untuk menerbitkan SK yang baru untuk mengesahkan kubu Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan kubu Djan Farid. Akan tetapi, pada kenyataannya Menkumham ternyata tidak mau melaksanakan putusan itu. Maka, tetap saja akan menjadi masalah," kata dia.

Ia mengingatkan pencabutan SK dan/atau penerbitan SK baru hanya bisa dilakukan oleh Menkumham sendiri. Pengadilan hanya bersifat memerintahkan pencabutan. Menkumham bisa saja mengabaikan putusan tersebut sebab faktanya lebih banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mau melaksanakan putusan TUN daripada yang mematuhinya.

Oleh sebab itu, jika pilkada tetap ingin digelar pada tahun 2015, perselisihan kepengurusan Partai Golkar dan PPP sebaiknya dipisahkan dari persoalan pencalonan peserta pilkada.

Ia mengungkapkan perselisihan kepengurusan biarlah berproses secara natural di pengadilan tanpa harus menekan hakim agar mempercepat penyelesaian perkara, sedangkan untuk pendaftaran calon peserta pilkada disediakan solusi lain yang tidak harus dikaitkan dengan kepengurusan mana yang sah.

"Saya mengusulkan agar dua kubu di Partai Golkar dan PPP diperbolehkan saja untuk mengusung calon yang berbeda di pilkada. Itu kalau pilkada tetap ingin digelar pada tahun 2015," ujar dia.

Ia mengatakan bahwa sekalipun ide ini tergolong tidak lazim, tetapi tidak ada salahnya untuk dipertimbangkan. Caranya, yaitu di dalam UU Pilkada cukup ditambahkan satu ayat baru, yaitu di dalam Pasal 40 yang mengatur tentang pendaftaran calon oleh partai politik.

Setelah Pasal 40 Ayat (4), ditambahkan Ayat (5) yang kira-kira berbunyi: "Partai Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang belum dapat menyelesaikan perselisihan kepengurusan di tingkat pusat dapat mendaftarkan lebih dari 1 (satu) pasangan calon."
   
Pasal tersebut, menurut dia, perlu diberikan penjelasan yang kira-kira berbunyi: Yang dimaksud dengan "Partai Politik yang belum dapat menyelesaikan perselisihan kepengurusan ditingkat pusat" adalah partai politik yang memiliki lebih dari satu kepengurusan di tingkat pusat akibat adanya perselisihan kepengurusan, di mana perselisihan tersebut sedang digugat di pengadilan dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

"Di dalam ketentuan tersebut terdapat batasan yang jelas dan ketat bahwa partai politik yang dapat mengusulkan lebih dari satu pasangan calon hanyalah partai politik yang nyata-nyata sedang mengalami perselisihan kepengurusan, di mana perselisihan tersebut harus sudah melewati proses penyelesaian melalui mahkamah partai bersangkutan," kata dia.

Selanjutnya, atas perselisihan itu terdapat satu kepengurusan yang disahkan oleh Pemerintah, tetapi keputusan Pemerintah itu digugat ke pengadilan dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap pada saat pasangan calon didaftarkan.

"Untuk mekanisme pendaftaran calonnya, aturan bisa dibuat dalam Peraturan KPU yang menentukan masing-masing kepengurusan dapat menggunakan ketentuan perolehan jumlah kursi DPRD atau jumlah suara hasil pemilu anggota DPRD yang dimiliki oleh partai politik di daerah bersangkutan," kata dia.

Jadi, misalnya, Golkar kubu Agung Laksono ingin mengusung pasangan calon A-B, sementara kubu Aburizal Bakrie mengusulkan pasangan calon C-D, kubu Agung dapat mendaftarkan pasangan calon A-B dengan menggunakan perolehan kursi atau perolehan suara Partai Golkar di daerah bersangkutan.

Begitu pun dengan kubu Aburizal Bakrie yang diperbolehkan mendaftarkan pasangan calon C-D dengan menggunakan perolehan kursi atau perolehan suara Partai Golkar, dalam jumlah yang sama dengan yang digunakan oleh kubu Agung Laksono di daerah bersangkutan.

"Karena gagasan ini dibuat sebagai alternatif solusi terhadap permasalahan Golkar dan PPP dalam pencalonan pilkada pada tahun 2015, perlu dijelaskan pula bahwa aturan tersebut hanya berlaku untuk penyelenggaraan pilkada tahun 2015 saja," kata dia.

Hal tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pilkada pada tahun-tahun berikutnya dapat diperkirakan perselisihan kepengurusan Partai Golkar dan PPP, baik yang terkait dengan sah atau batalnya SK Menkumham, maupun terkait dengan nasib Golkar Munas Bali dan PPP Muktamar Jakarta sudah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap pada tahun 2016.

"Kalau ada partai lain yang cemburu atas perlakuan khusus kepada Golkar dan PPP itu, partai-partai lain tersebut sudah barang tentu juga diperbolehkan untuk mengusulkan lebih dari satu pasangan calon, sepanjang mereka mampu memenuhi ketentuan Pasal 40 Ayat (5) yang saya usulkan. Akan tetapi, saya sangat yakin tidak akan ada partai yang nekat dan mampu memenuhi syarat itu," ujar dia.

Ia mengungkapkan pilkada bukan untuk memilih partai, melainkan untuk memilih orang. Fungsi partai politik dalam pilkada adalah sebagai instrumen untuk mengukur tingkat dukungan awal dari masyarakat kepada pasangan calon.

"Tingkat keberhasilan pasangan calon dalam pilkada lebih sering ditentukan oleh kelebihan yang dimiliki masing-masing pasangan calon, tidak selalu ditentukan oleh partai politik pendukungnya," kata dia.

Alternatif solusi ini, kata dia, ditujukan untuk menghindari kemungkinan munculnya konflik, bahkan kerusuhan di pelbagai daerah.

"Kita tentu menginginkan agar pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar. Kemudian, agar ada kepastian hukum tentang persyaratan pendaftaran partai politik dalam pilkada," ujar dia.

    
Hentikan Proses PTUN
   
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa apa yang bisa dilakukan oleh parpol yang berselisih, yaitu menghentikan proses berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Karena percuma saja tidak akan ada hasilnya parpol yang berkonflik kemudian melakukan gugatan di PTUN," kata dia.

Ramadhanil mengatakan bahwa gugatan yang dilayangkan ke PTUN pasti menimbulkan konflik yang makin besar dan tidak berujung pada penyelesaian dualisme kepengurusan parpol.

"Jadi, hal tersebut bukan solusi bagi parpol yang berselisih," kata dia.

Ia menyarankan agar dualisme kepengurusan parpol lebih baik diselesaikan lewat jalur internal, yaitu mahkamah partai sesuai dengan Undang-Undang Parpol.

Apabila upaya tersebut menemui kegagalan, menurut dia, bisa dilanjutkan ke PN, kemudian ke MA.

Ia mengharapkan pilkada serentak yang akan dilakukan mulai Desember 2015 dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana.

Pewarta: Azis Kurmala

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015