Jakarta (Antara Babel)  - Jika Joko Widodo pada Oktober 2014 menduduki mahkota kepresidenan dalam suasana kemeriahan dan kemegahan, maka yang terjadi sebaliknya pada 21 Mei 1998 adalah pergantian presiden dalam suasana yang sangat sederhana.

Apabila Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan jabatannya kepada  Jokowi dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR, maka yang terjadi 17 tahun silam adalah serah terima itu "hanya" dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat dari Soeharto kepada Prof. Dr. Ing Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) tanpa dihadiri sama sekali oleh pimpinan MPR yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi negara.

Soeharto yang telah puluhan tahun memerintah di negara ini kemudian menuruni tangga Istana Merdeka hanya dengan didampingi putri tertuanya Siti Hardiyanti Rukmana untuk menuju rumahnya di Jalan Cendana 6-8, di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

Ternyata turunnya Soeharto pada 21 Mei 1998 itu praktis tidak mengakibatkan terjadinya demonstrasi apalagi secara besar-besaran di seluruh Tanah Air. Padahal beberapa minggu sebelumnya terjadi unjuk rasa anarkis antara lain yang ditandai dengan pembakaran toko dan rumah serta kendaraan-kendaraan di Jakarta.

Pada awal Mei, saat pulang dari kunjungannya ke Kairo, Mesir, Soeharto melihat dampak negatif dari demonstrasi besar-besaran itu.

Sejak itu, kehidupan di Tanah Air, praktis berlangsung mulai tenang. Rakyat mulai hidup secara normal, walaupun hingga detik ini masyarkat kelas bawah masih menghadapi berbagai tekanan hidup yang amat berat mulai dari tingginya harga-harga kebutuhan pokok mulai dari beras, elpiji hingga sayur-mayur dan biaya pendidikan. Apalagi sebentar lagi umat Islam yang merupakan mayoritas di Tanah Air akan memasuki Ramadhan yang diikuti Idul Fitri.

"Dua bulan mendatang adalah masa yang penting. Harus ada upaya ekstra untuk menghadapi momen tahunan seperti Lebaran, menyiapkan tunjangan hari raya (THR) bagi karyawan swasta, musim anak sekolah dan kemungkinan terjadinya cuaca yang buruk," kata Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla  baru-baru ini.

Dengan menyatakan bahwa perlunya upaya ekstra menghadapi bulan-bulan mendatang yang penuh tantangan, maka berarti pemerintah mengakui bahwa telah dan bakal terjadi beban yang sangat berat di pundak rakyat yang sebagian di antaranya masih hidup di bawah kemiskinan.

Apa artinya atau bagaimana menafsirkan keadaan saat ini dengan masa pemerintahan Soeharto selama puluhan tahun itu?
    
Beberapa tahun lalu, ketika Taufiq Kiemas menjadi ketua MPR, suami Ketua Umum DPP-PDIP Megawati Soekarnoputri itu dalam berbagai kesempatan sering menyatakan, "Banyak orang yang menyatakan lebih enak hidup dalam zaman Soeharto karena harga kebutuhan sehari-hari murah". Ungkapan jujur itu menarik karena semasa pemerintahan Soeharto, mengingat menantu Presiden Pertama Soekarno itu praktis dianggap sebagai "musuh".

Sementara itu, mantan menteri Kelautan Rokhmin Dahuri baru-baru ini menyatakan "Dalam zaman Soeharto, kabinetnya sangat kompak antara lain karena ada Sudharmono (mantan Mensesneg dan juga mantan wakil presiden) serta Bambang Kesowo (pakar hukum di lingkungan Sekneg yang kemudian menjadi Mensesneg)".

Kemudian seorang pengamat yang sering dimintai komentarnya, Hanta Yudha  baru-baru ini juga mengatakan, "Pada zaman Soeharto ada Moerdiono (mantan Mensesneg) dan Harmoko (mantan Menpen) yang menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah hingga perkembangan harga cabai".

Komentar Rokhmin dan Hanta Yudha itu muncul setelah desas-desus bakal terjadinya perombakan atau reshuffle Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pergantian itu antara lain perlu dilakukan karena ada beberapa menteri yang dianggap tidak bisa bekerja maksimal.

Apa kaitan situasi sekarang dengan era Soeharto?
    
Pada saat terjadinya pemberontakan G-30 S/PKI pada 30 September 1965, Soeharto masih menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian memimpin penumpasan pemberontakan yang dilakukan partai komunis itu. Pada 11 Maret 1966, Soeharto mendapat Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar dari Presiden Soekarno itu memulihkan keadaan dan  akhirnya menjadi presiden.

Dari seorang jenderal biasa kemudian menjadi presiden tentu bukanlah hal yang gampang. Karena itu, ketika mulai membentuk kabinet, Soeharto mengajak masuknya beberapa para ekonomi mulai dari Profesor Widjojo Nitisastro, Profesor Ali Wardhana, Profesor Emil Salim, Profesor Salih Afiff, Profesor Emil Salim masuk ke dalam kabinet yang bernama Kabinet Pembangunan.

Jika kabinet bersidang untuk membahas masalah ekonomi tertentu, maka Soeharto kmudian menyuruh para menterinya untuk saling berdebat dengan menggunakan teori-teori ekonomi. Dari situlah Soeharto menggali ilmu dan mempelajari teori-teori ekonomi sehingga akhirnya mempunyai kemampuan atau pengetahuan di bidang ekonomi.

Akhirnya ekonomi Indonesia terus membaik yang antara lain ditandai dengan terwujudnya swasembada beras sehingga akhirnya Badan PBB Urusan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memberikan penghargaan kepada Indonesia. Kemudian UNESCO membantu pemugaran Candi Borobudur di Jawa Tengah. Berbagai penghargaan internasional berhasil diraih Indonesia pada zaman itu.

    
Kelemahan Soeharto

Jika di satu pihak keberhasilan pemerintahan Soeharto diakui baik di dalam negeri maupun luar negeri, maka mau tidak mau juga harus diakui bahwa terdapat kelemahan dan kekurangan pada zaman Orde Baru itu. Pengakuan itu harus muncul karena pemimpin dimana pun pasti memiliki aspek keberhasilan tapi juga unsur negatifnya.

Contoh yang paling mudah diingat misalnya adalah penggantian Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso sebagai kepala kepolisian hanya karena Hugeng bersikeras untuk tetap memberlakukan penggunaan helm yang saat itu ditolak di hampir semua daerah dengan berbagai dalih. Tapi kenyataannya, helm sekarang sudah menjadi kewajiban bagi pengendara motor di daerah mana pun.

Kemudian ada juga kelompok Petisi 50 yang berisikan para tokoh masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah di bidang politik sehingga mereka kemudian dikucilkan. Mereka itu antara lain adalah Ali Sadikin dan tokoh sipil Christ Siner Key Timu.

Ali Sadikin pun yang sukses saat menjadi gubernur Jakarta "dijegal" sehingga tidak bisa menjadi gubernur untuk periode kedua.

Cacian, omelan, kritik pedas tidak hanya ditujukan kepada Soharto pribadi tapi juga anggota keluarganya terutama anak- anaknya karena mereka dianggap menguasai atau memonopoli perekonomian dalam negeri mulai dari "memenangkan atau merebut " proyek-proyek besar hingga yang kecil-kecil.

PT Garuda Indonesia pernah dipaksa untuk menyewa kendaraan antarjemput bagi para pilot dan awak kapalnya seperti pramugara dan pramugari dan perusahaan penyewaan itu merupakan milik Cendana, padahal ini hanya merupakan bisnis biasa.

Namun ada juga proyek-proyek yang digagas Soeharto dan Ibu Tien yang semula dikritik, dikecam oleh para tokoh karena dianggap sebagai proyek "mercu suar" atau hanya proyek untuk kepentingan keluarga Cendana tapi ternyata sampai sekarang masih tetap dikunjungi atau dimanfaatkan oleh masyarakat tidak hanya di Jakarta tapi juga seluruh Tanah Air seperti Taman Mini Indonesia Indah atau TMII, Rumah Sakit Harapan Kita yang hingga detik ini terus dimanfaatkan. Termasuk Masjid Agung At-Tin di Jakarta Timur.

Sementara itu di bidang politik, Soeharto tidak "sekejam atau seburuk" yang dibayangkan orang karena ternyata kekuasaannya juga dimanfaatkan oleh segelintir anak buahnya untuk tujuan tertentu yang justru jika dilaksanakan bisa merugikan bahkan merusak nama baik Soeharto.

Seorang jenderal bahkan pernah mengusulkan agar Jenderal Abdul Haris Nasution yang merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh ABRI - yang kemudian berubah namanya menjadi TNI - dan masyarakat umumnya untuk "dihabisi". Namun Soeharto menentang ide itu dengan mengatakan "Dia adalah guru saya".

    
Jokowi

Sejak 21 Mei 1998, telah terjadi beberapa kali pergantian presiden mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini Joko Widodo. Adakah hikmah dari dari mulai jatuhnya Soeharto hingga pengangkatan Joko Widodo saat ini?
     
Ketika BJ Habibie menjadi presiden, maka ahli konstruksi pesawat udara itu sukses sekali menurunkan atau mengurangi melemahnya rupiah dari sekitar Rp17.000/dolar hanya menjadi sekitar Rp10.000/dolar. Habibie juga mampu menarik para pengusaha asing terutama dari Eropa untuk berinvestasi di Tanah Air.

Sementara itu, sekarang, Jokowi berhasil mengatasi tekanan dari berbagai negara agar tidak mengeksekusi mati warga-warga mereka akibat menyelundupkan narkoba. Akhirnya pemerintahan Jokowi-Jusuif Kalla sudah dua kali melaksanakan eksekusi mati terhadap beberapa orang asing yang secara hukum sudah dinyatakan bersalah.

Sementara itu, sudah terdapat tanda-tanda semakin cairnya hubungan dua kelompok di DPR yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Karena itu, yang menjadi pertanyaan antara lain adalah apakah hikmah dari jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, pergantian presiden hingga saat ini dan di masa mendatang?
   
Setiap presiden - siapa pun orangnya - akhirnya adalah orang-orang yang biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika presiden memiliki kelebihan maka dia tidak perlu dipuja-puja atau dikultusindividukan. Akan tetapi sebaliknya, jika sang presiden mempunyai kelemahan maka janganlah dia dicaci-maki. dihujat sehingga seolah-olah tidak ada lagi "harganya" atau manfaatnya bagi negara dan bangsa Indonesia.

Karena itu, jika ada tokoh yang ingin menjadi presiden pada masa mendatang, maka tunjukkanlah kepada rakyat sejak sekarang bahwa dia merupakan tokoh yang berakhlak, bersih dan tidak pernah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan demikian rakyat tidak akan ragu mencoblos fotonya pada pemilu-pemilu mendatang karena memang pantas menjadi presiden dan wakil presiden.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015