Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan keinginannya untuk memperkuat fungsi kelembagaan DPD yang dipimpinnya.
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Jakarta Senin, menyampaikan keinginan itu dalam Workshop Anggota DPRD Fraksi Partai PPP tingkat provinsi dan kabupaten kota se-Indonesia.
LaNyalla menjelaskan demokrasi desentralistik yang dianut Indonesia sekarang adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional.
"Dengan paradigma seperti ini, peran DPD RI justru sangat strategis untuk menyinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat. Oleh karena itu, DPD RI telah dua kali mengajukan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang MD3," katanya.
LaNyalla menjelaskan UU MD3 belum maksimal memberi ruang kewenangan kepada DPD RI sebagaimana amanat konstitusi.
UU MD3, katanya, masih memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi meskipun sudah ada dua Putusan MK.
"Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 tidak menghargai Putusan Mahkamah Konstitusi," kata dia
Kondisi demikian, menurut LaNyalla, tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum.
Karena, lanjutnya, justru lembaga negara setingkat pembentuk undang-undang tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.
Dengan alasan tersebut, LaNyalla menilai DPD RI harus secara konsisten melaksanakan Perintah Pasal 22C Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperkuat kelembagaan.
Dimana, katanya. keberadaan DPD RI harus diatur melalui undang-undang tersendiri sebagaimana perintah kepada DPR RI agar diatur melalui undang-undang tersendiri.
"Tetapi tidak mudah untuk membuat undang-undang tersendiri bagi DPD RI, karena penentu akhir pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang adalah DPR RI dan pemerintah. Oleh karena itu, proyeksi penguatan kelembagaan DPD RI harus didorong melalui pintu amendemen konstitusi," katanya.
Menurutnya, DPD RI harus menjadi sebuah sistem yang menjamin bahwa keputusan politik yang penting dibahas secara berlapis sehingga berbagai kepentingan dapat dipertimbangkan secara matang dan mendalam.
Di sinilah diharapkan terjadi mekanisme 'checks and balances' atau mekanisme 'double check' antara DPR RI dan DPD RI," kata dia.
LaNyalla menjelaskan jika ditanyakan mengapa perlu mekanisme cek dobel, maka jawabnya sederhana, yakni karena fungsi perwakilan di DPR RI sejatinya berbasis kepada ideologi partai politik.
"Sedangkan seorang senator DPD RI adalah figur yang mewakili seluruh elemen yang ada di daerah, katanya.
LaNyalla mengatakan sejatinya para senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang negarawan yang berada di dalam cabang kekuasaan di wilayah legislatif.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Jakarta Senin, menyampaikan keinginan itu dalam Workshop Anggota DPRD Fraksi Partai PPP tingkat provinsi dan kabupaten kota se-Indonesia.
LaNyalla menjelaskan demokrasi desentralistik yang dianut Indonesia sekarang adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional.
"Dengan paradigma seperti ini, peran DPD RI justru sangat strategis untuk menyinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat. Oleh karena itu, DPD RI telah dua kali mengajukan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang MD3," katanya.
LaNyalla menjelaskan UU MD3 belum maksimal memberi ruang kewenangan kepada DPD RI sebagaimana amanat konstitusi.
UU MD3, katanya, masih memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi meskipun sudah ada dua Putusan MK.
"Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 tidak menghargai Putusan Mahkamah Konstitusi," kata dia
Kondisi demikian, menurut LaNyalla, tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum.
Karena, lanjutnya, justru lembaga negara setingkat pembentuk undang-undang tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.
Dengan alasan tersebut, LaNyalla menilai DPD RI harus secara konsisten melaksanakan Perintah Pasal 22C Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperkuat kelembagaan.
Dimana, katanya. keberadaan DPD RI harus diatur melalui undang-undang tersendiri sebagaimana perintah kepada DPR RI agar diatur melalui undang-undang tersendiri.
"Tetapi tidak mudah untuk membuat undang-undang tersendiri bagi DPD RI, karena penentu akhir pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang adalah DPR RI dan pemerintah. Oleh karena itu, proyeksi penguatan kelembagaan DPD RI harus didorong melalui pintu amendemen konstitusi," katanya.
Menurutnya, DPD RI harus menjadi sebuah sistem yang menjamin bahwa keputusan politik yang penting dibahas secara berlapis sehingga berbagai kepentingan dapat dipertimbangkan secara matang dan mendalam.
Di sinilah diharapkan terjadi mekanisme 'checks and balances' atau mekanisme 'double check' antara DPR RI dan DPD RI," kata dia.
LaNyalla menjelaskan jika ditanyakan mengapa perlu mekanisme cek dobel, maka jawabnya sederhana, yakni karena fungsi perwakilan di DPR RI sejatinya berbasis kepada ideologi partai politik.
"Sedangkan seorang senator DPD RI adalah figur yang mewakili seluruh elemen yang ada di daerah, katanya.
LaNyalla mengatakan sejatinya para senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang negarawan yang berada di dalam cabang kekuasaan di wilayah legislatif.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021