Setelah perang, muncullah damai. Damai ini disebut sebagai keseimbangan baru. Tapi, keseimbangan ini terlahir dari luka, dari darah dan emosi yang terlecut

Kita yang tumbuh dan besar pada sebidang ruang adalah kelanjutan dari kehidupan sebelumnya di atas ruang yang sama.

Kita adalah pelanjut, pelapis, pengganti posisi generasi sebelumnya yang pernah hadir dan menghilang. Pergantian posisi ini disebut regenerasi.

Ada beberapa rumpun masyarakat yang mengalami interupsi berupa “keterhentian” generasi. Disebut sebagai degenerasi. Manusia Semak di Australia, komunitas yang mendiami Kepulauan Andaman. Masih ditemukan dan menjalani kehidupan seperti sediakala.

Kebiasaan dan kecakapan yang serba sediakala, apa adanya, serba terbatas. Penyebabnya? Isolasi atau keterpencilan. Sehingga tak terjadi persentuhan, kontak budaya dengan masyarakat luar.

Satu hal, mereka tetap terhubung dengan masa lalu (sebuah hasil konstruksi sosial masyarakat purba). Keterhubungan ini, khususnya keterhubungan spiritual atau agama kuno dari masyarakat kuno generasi pendahulu sebelumnya.

Sistem kepercayaan ini bisa berbungkus tahayul, sistem pengobatan, sistem kepercayaan animisme. Sehingga agama-agama yang dianut oleh manusia hari ini, tak bisa dilepaskan dengan hubungan sejarah dan relasi ruang yang sama, yang menjadi tempat hadir dan lahirnya kita saat ini.

Setiap negeri yang berpenghuni (kita selalu diyakini oleh para etnolog), pernah dihuni oleh manusia-manusia purba. Pada awalnya manusia itu suci, manusiawi dan beradab. Keadaan berbalik menjadi biadab, setelah manusia berbuat dosa, ditambah dengan sejumlah pembusukan kondisi awal.

Melalui kaidah ini, peradaban dan sisi manusiawinya manusia tertinggal, seakan terlepas. Perjalanan peradaban, sejatinya tak lebih dari upaya untuk menjahit bolongan kopak yang koyak akibat perbuatan dosa dan penjumlah pembusukan sosial di awal-awal kehidupan. Berharap hasil jahitan itu memulihkan kembali bentuk keadaban dan peradaban.

Peristiwa pemberadaban ini dilakukan secara terus-menerus, berulang-ulang dan diulang-ulang. Sebab, lobang gelap, liang nestapa yang sama tetap menganga di depan langkah perjalanan peradaban itu.

Lobang gelap dan nestapa itu dinisbahkan sebagai perbuatan dosa dan penjumlahan pembusukan sosial di awal-awal sejarah.

Bentuk dari pengulangan lobang kelam nestapa itu bisa bermula dari sakit hati, sengketa suku, pertikaian antar suku dan kedatuan, lalu meluas jadi perang saudara bahkan perang dunia.

Setelah perang, muncullah damai. Damai ini disebut sebagai keseimbangan baru. Tapi, keseimbangan ini terlahir dari luka, dari darah dan emosi yang terlecut.

Agama lahir dan dipelihara dalam sengkarut dan kecamuk sosial itu. Agama tetap setia datang dan hadir dengan niat mendamai, misi merawat cinta, dan bersiram kasih. Secara fisik manusia bertarung dan saling melukai.

Secara spiritual manusia ditugaskan lewat juluran tali agama untuk saling menjalin kasih dan menggenapkan persaudaraan. Bukan untuk melukai satu sama lain. Politik itu wilayah pergaulan sosial.

Agama berpembawaan membasahi jiwa orang-orang yang terlibat dalam pergaulan itu, agar senantiasa bisa menjaga, bisa merawat dan berjarak dengan dosa dan sejumlah pembusukan sosial.

Ketersambungan generasi tidak saja berlangsung secara fisik-geneologis (zuriat dan nasab). Ketersambungan, juga berkait dengan tapak atau tempat agama baru itu tumbuh.

Para etnolog dan pengkaji sejarah agama, tak bisa melepaskan model adaptasi agama baru selaku pendatang dengan kepercayaan atau agama kuno yang pernah hadir dan berbinar pada sebuah ruang (sebagai pemukim tetap).

Dia tak bisa diputuskan begitu saja. Dia adalah sebuah sistem mata rantai dan serangkaian penyesuaian yang saling bersambung dan sahut bersahut. Pun, tak pula terjebak dengan nomenklatur sinkretisme.

Sebab, sinkretisme itu sendiri adalah sebuah akibat dari sebuah sebab. Tersebab adanya "masa lalu" maka dia harus berbagi “hadir” dengan masa kini (kekinian).

Kekinian adalah hasil kreasi manusia kini akibat penjumlahan dan pengalian konstanta di masa lalu. Masa lalu itu bak sumber air di mata air perdana; terletak di hulu sebuah sungai nan senyap, sejuk, sepi dan terletak agak meninggi. Sehingga nilai-nilai masa lalu, berpembawaan terjun atau mengalir ke hilir.

Dia tak pernah surut. Kalaupun ada pasang naik dari muara, sifat menaik muka air itu tak lebih dari bentuk dialog dengan sumber mata air perdana. Dia tak bisa menambah muatan dan tak pula mampu mengurangi volume mata air perdana itu.

Dalam kajian sejarah agama-agama, selalu disebutkan bahwa; “agama baru selalu dimulai dengan menyesuaikan dirinya dengan yang sudah ada sebelumnya dan ia selalu mengadopsi apa yang bisa dari sistem lama” (Allan Menzies).

Energi spiritual kita hari ini, terkayakan oleh kehadiran sejumlah monumen spiritual masa lalu. Walau mungkin dia berseberangan dengan akidah kita hari ini. Tapi berbahagialah mereka yang hidup di ruang yang sama dengan tapak tumbuhnya bangunan bernama Muara Takus, Candi Muara Jambi, Borobudur, Unur Batu Jaya Karawang, Gunung Padang, Sintong, dan Padang Lawas.

Sejumlah kehadiran era setelah itu mungkin bisa diurutkan pula di tanah Barus. Semua keterhubungan monumen spiritual masa lalu, ikut menambah asupan gizi spiritualitas hari ini.

Asupan lebih kuat lagi, ketika ditemukan penjumlahan ikon dan monumen yang sejalan dengan akidah dan kepercayaan kita hari ini (masjid untuk Islam dan sejumlah rumah ibadah tua dan purba bagi penghayat agama lain).

Perjalanan peradaban, tetap setia terhubung dengan masa lalunya, termasuk agama yang tumbuh di atas sebuah tapak (situs). Ihwal ini tak bisa dipangkas menurut kegersangan hukum fiqih semata.

Malah dia menjadi rautan dan jalinan yang mempertaut keharmonian semesta. Kita hidup di atas Bumi yang satu dengan sekepal cinta untuk menyatu dengan Tuhan Maha Tinggi.

Kehadiran kita yang beragam di atas tapak yang satu bukan untuk saling menceroboh. Teringat ujaran pendek Pastor Newmann; “Duhaii,... betapa saling membecinya di antara sesama kita, demi mendapatkan cinta Tuhan”.

Satu lagi ucapan liar tentang kebesaran Tuhan: “Saking besar dan tingginya Tuhan, diperlukan agama yang banyak untuk menjelaskan kebesaran dan ketinggian Mu”.

*) Prof Dr Yusmar Yusuf adalah budayawan dan Guru Besar Kajian Melayu Universitas Riau

Pewarta: Prof Dr Yusmar Yusuf 

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022