Sebuah kasus yang cukup viral baru-baru ini menyoroti seorang pejabat publik di Indonesia yang menggunakan istilah "jelata" untuk merujuk kepada masyarakat biasa. Meskipun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata tersebut memiliki makna lugas sebagai rakyat biasa yang bukan golongan bangsawan atau hartawan, penggunaannya justru memicu polemik dan dianggap merendahkan.
Fenomena tersebut menarik untuk dikaji, utamanya dalam kaitannya dengan persepsi masyarakat, sensitivitas pejabat publik, dan budaya viral.
Dalam sosiologi, bahasa bisa dianggap sebagai konstruksi sosial yang mencerminkan relasi kuasa, nilai-nilai budaya, dan cara pandang individu terhadap dunia. Penggunaan kata "jelata" oleh seorang pejabat, meskipun secara leksikal memiliki makna yang netral, hal itu membawa beban historis dan emosional tertentu dalam masyarakat Indonesia. Kata ini mengingatkan pada stratifikasi sosial era kolonial, di mana rakyat jelata dipandang sebagai kelas yang rendah dibandingkan kaum bangsawan atau elit. Konotasi inilah yang mungkin menyinggung banyak hati, meskipun sang pejabat mungkin tidak bermaksud demikian.
Hal ini menunjukkan bahwa diksi yang dipilih seseorang, apalagi seorang pejabat publik, adalah refleksi dari cara pandangnya terhadap kelompok masyarakat tertentu. Kata-kata yang dipilih secara tidak tepat dapat memperlihatkan jarak sosial atau bahkan prasangka yang tidak disadari.
Masyarakat yang terlalu "baper"?
Reaksi masyarakat terhadap kata "jelata" menunjukkan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap bahasa. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah masyarakat Indonesia terlalu “baper” (bawa perasaan)? Tapi nyatanya, reaksi seperti ini sering dipengaruhi oleh pengalaman kolektif dan ketidaksetaraan sosial yang masih terasa di sekitar kita. Kata-kata itu dianggap mengingatkan pada masa-masa penindasan atau perbedaan kelas sosial memiliki daya sentuh emosional yang kuat.
Dalam dunia paralel yang ideal, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dan hidup berkecukupan, mungkin kata-kata apa saja tak akan lagi mengusik, menusuk relung nurani. Orang-orang akan lebih fokus pada hal-hal yang produktif, seperti mengembangkan potensi diri, berkontribusi pada kemajuan bersama, atau bahkan merencanakan perjalanan menyenangkan ke berbagai tempat. Kehidupan yang penuh dengan kenyamanan dan rasa aman akan mengarahkan perhatian pada pencapaian yang lebih tinggi, menjauhkan diri dari polemik yang tak perlu, dan membuka ruang bagi kreativitas serta kebahagiaan yang berkelanjutan.
Namun, memang tidak bisa disangkal bahwa era digital juga memperbesar resonansi isu-isu semacam ini. Media sosial menciptakan ruang di mana segala sesuatu dapat menjadi viral secara instan, mendorong masyarakat untuk bereaksi spontan, bahkan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu substansial.
Rasanya sah-sah saja kalau masyarakat gampang baper, di sini pejabat publik-lah yang justru memiliki peran yang krusial dalam membangun kepercayaan dan hubungan baik dengan rakyatnya. Oleh karena itu, pilihan diksi mereka harus mencerminkan empati, penghormatan, dan kepekaan terhadap dinamika sosial.
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan melatih sensitivitas bahasa para pejabat publik. Dengan memahami bahwa kata-kata tertentu membawa beban historis atau emosional, mereka dapat memilih diksi yang lebih inklusif. Selain itu, empati harus menjadi dasar dalam komunikasi. Sebelum berbicara atau menulis, penting bagi pejabat untuk membayangkan bagaimana kata-kata mereka akan diterima oleh audiens.
Fenomena viral seperti kasus pedagang es teh Sunhaji yang diolok-olok di hadapan publik oleh Miftah Maulana Habiburrahman di hadapan khalayak ramai di Lapangan Drh. Soepardi, memang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung cepat bereaksi oleh opini yang berkembang di media sosial.
Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, misalnya, kurangnya literasi media, efek kelompok yang memperkuat perilaku “ikut-ikutan,” dan kebutuhan akan validasi.
Literasi media yang lebih baik, kampanye untuk berpikir kritis, dan penyebaran kesadaran tentang pentingnya memeriksa konteks sebelum bereaksi sangat dibutuhkan dalam era yang dikit-dikit viral seperti saat ini.
Bagi pejabat publik dan segenap figur publik, terutama di era media sosial, adab dalam berbicara dan berperilaku menjadi lebih penting dari sebelumnya. Mereka harus menyadari bahwa setiap ucapan memiliki dampak besar, sehingga perlu memilih kata-kata dengan bijak dan menghindari penggunaan istilah yang berpotensi menyinggung.
Jika sudah terlanjur menjadi sorotan, penting untuk merespons dengan rendah hati, memberikan klarifikasi yang jujur, atau meminta maaf dengan tulus jika memang diperlukan. Selain itu, figur publik sebaiknya menggunakan pengaruh mereka untuk menyebarkan pesan-pesan positif dan mendidik, alih-alih terjebak dalam kontroversi yang tidak perlu.
Pilihan kata adalah cerminan dari pola pikir dan cara pandang seseorang. Dalam konteks pejabat publik, penggunaan diksi yang tidak tepat, seperti kasus kata “jelata,” menunjukkan pentingnya kepekaan bahasa untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat.
Sementara itu, masyarakat perlu belajar untuk lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus opini yang viral. Dengan literasi media yang lebih baik, empati yang lebih kuat, dan sikap yang bijak, baik pejabat publik maupun masyarakat dapat bersama-sama menciptakan ruang komunikasi yang lebih sehat dan produktif.
Media sosial seharusnya memang menjadi alat untuk mendekatkan, bukan menciptakan jarak atau memperbesar kesalahpahaman.