Magelang (ANTARA) - Sebagaimana dikibarkan dengan semangat kebersamaan bernama Komunitas Lima Gunung, demikianlah agenda tahunan mereka berupa Festival Lima Gunung ,dilakoni dalam kebersamaan yang murah hati.
Bahkan, saking murah hati penyelenggaraan Festival Lima Gunung itu, membuat terasa kuat di antara mereka, tidak ada yang menonjolkan diri untuk menjadi yang terpenting atau paling berjasa.
Kalau toh ada sebutan ketua ataupun panitia kegiatan komunitas dan Festival Lima Gunung, itu sekadar alamat bagi kelancaran siapa saja yang berkiprah. Di pundak jiwa-jiwa murah hati tersebut, tanggung jawab paling tinggi bertengger untuk menghadirkan acara kesenian rakyat secara mandiri, tanpa sponsor dari manapun.
Individu-individu yang bekerja untuk komunitas biasanya bakal terpental jika sengaja atau tidak terelakkan hadir dengan ego untuk tampil sebagai yang paling penting dan menonjol. Tidak demikian dengan mereka yang terlibat dalam Festival Lima Gunung, yang masih memegang tradisi bangsa, yakni kebersamaan.
Demikian penilaian penulis kebudayaan, Pastor Gabriel Possenti Sindhunata SJ atau Romo Sindhu (73), di kediamannya Rumah Budaya Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, tatkala pertengahan Juni 2025, ikut reriungan menjelang tengah malam dengan sejumlah pegiat Komunitas Lima Gunung (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dipimpin ketuanya, Sujono Keron.
Romo Sindhu salah satu di antara lima tokoh dan entitas penerima piagam "Lima Gunung Award" pada Festival Lima Gunung XXIV/2025. Festival tahun ini bersamaan dengan tradisi desa "Suran Tutup Ngisor" Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan barat Gunung Merapi, selama 9-13 Juli 2025.
Sebanyak empat penerima lainnya, yakni KH Hamam Djafar (1938-1993), pendiri dan pemimpin Pondok Pesantren Pabelan, Kabupaten Magelang. Penghargaan diterima oleh pemimpin Ponpes Pabelan Kiai Haji Ahmad Najib Amin Hamam (59).
Selain itu, Muhammad Habib Chirzin (79), duta perdamaian internasional dan cendekiawan, yang tinggal di Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jacob Oetama (1931-2020), salah satu tokoh pers Indonesia. Penghargaan diterima oleh Redaktur Pelaksana Kompas Marcellus Hernowo.
Selain itu, ada kelompok musik bagian kegiatan Maiyah dipimpin Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), bernama "Kiai Kanjeng" Yogyakarta. Penghargaan diterima salah satu pendiri grup "Kiai Kanjeng", Toto Rahardjo (66).
Festival Lima Gunung tahun ini mengangkat tema "Andhudhah Kawruh Sinengker" atau membongkar ilmu tersembunyi, sebagai respons batin warga komunitas dengan jejaringnya di dalam dan luar negeri, tentang situasi kehidupan serta lingkungan alam terkini yang dipandang sedang gonjang-ganjing. Tema tema itu, diwujudkan menjadi karya seni rupa kontemporer, "Ganesha" (simbol ilmu pengetahuan), berukuran raksasa, dibuat dengan bahan-bahan alam pertanian kawasan Gunung Merapi.
Dalam Festival Lima Gunung XXIV/2025, jumlah penampil tercatat sekitar 80 grup kesenian, dengan total 1.225 personel, berasal dari Magelang dan luar kota, serta luar Jawa. Beberapa seniman lainnya datang dari luar negeri. Para tamu dari luar kota dan luar negeri, selama festival, beroleh tempat menginap di rumah-rumah warga Dusun Tutup Ngisor dan dusun sekitarnya.
Sedikitnya 93 mata acara Suran dan pementasan festival, baik bersifat sakral maupun profan, seperti tradisi ritual wayang sakral, uyon-uyon candi, dan kirab tolak bala, kesenian tradisional dan kontemporer, musik, teater, pembacaan puisi dan geguritan, kolaborasi dan performa seni, pidato kebudayaan, kirab budaya festival, peluncuran buku foto "Arung Lima Gunung", dan pemberian piagam "Lima Gunung Award".
Pergelaran berlangsung setiap hari, mulai siang, hingga menjelang tengah malam, menjadi kemeriahan dusun yang lokasinya berjarak sekitar tujuh kilometer dari barat daya puncak Gunung Merapi. Bulan dalam posisi purnama terlihat menghiasi langit kawasan Gunung Merapi, saat panggung festival dimeriahkan pementasan malam hari.
Kelompok musik remaja "Tikungan Tajam" (Salatiga), yakni gitar Victoria Ilona Asandra/Vicky (15), drum Nicholous Brian Haditama/Nicho (14), dan bas Gabria Vara Setiabumi/Vara (16) menghadirkan secara instrumental salah satu karya Vicky, "Aphelion" (2021), tentang fenomena posisi Bumi yang elips itu di titik terjauh dari Matahari, yang secara keilmuan dipahami sebagai salah satu penyebab hawa dingin, yang dalam khazanah Jawa dikenal dengan musim bediding.
Dia menarasikan bahwa akhir-akhir ini, malam di Salatiga dan Magelang sini, terasa dingin.
Budayawan Magelang yang juga perintis Komunitas Lima Gunung pada era akhir 1990-an, Sutanto Mendut (71), membenarkan penilaian Romo Sindu tentang jiwa murah hati tersebut, karena tidak dipungkiri, Komunitas Lima Gunung sesekali menghadapi kasus-kasus tidak terhindarkan yang manusiawi, berupa pegiat terpental dari komunitas.
Akan tetapi, prinsip murah hati membuat Komunitas Lima Gunung menerima kembali sosok-sosok yang pernah terpental itu untuk kembali berkumpul, setelah secara natural menjalani pembaruan kesadaran.
Jalan murah hati diejawantahkan dalam Festival Lima Gunung secara kuat oleh para pegiat komunitas.
"Memberikan diri, termasuk yang merasa kekurangan, akan tetapi tidak merasakan berkurang. Malah beroleh kelebihan. Itu namanya barokah (berkah). Wujudnya festival ini," ujarnya.
Penyelenggaraan agenda kebudayaan berupa festival tahunan secara mandiri oleh Komunitas Lima Gunung mendapatkan apresiasi Bupati Magelang Grengseng Pamuji karena memberikan manfaat bermakna bagi masyarakat, terlebih dalam menghadapi tantangan sikap individual yang menggerus secara terus-menerus kehidupan sosial.
Melalui festival ini, Magelang menunjukkan bahwa desa dan gunung dengan ekosistem nilai-nilai peradaban dan kebudayaan luhur tetap hidup, tumbuh, berinovasi, dan berkembang, sebagai modal penting membangun kemajuan bangsa.
Mengutip Serat Wulangreh, karya Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1768-1820), masyarakat diingatkan mengenai warisan nilai luhur dari nenek moyang bahwa segala sesuatu harus berbasis ilmu pengetahuan agar perjalanan hidup tidak kesasar.
"'Ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekase kelawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara'," demikian penggalan serat itu.
Dalam terjemahan secara bebas bahwa ilmu akan bermanfaat apabila dilaksanakan dengan penuh kesetiaan, dimulai dari pengorbanan karena pengorbanan memberikan kekuatan untuk mengalahkan angkara murka.
Agenda berkesenian dilakoni dengan kesetiaan, sekaligus keterbatasan oleh seniman berbasis petani Komunitas Lima Gunung, karena seni membuat mereka bahagia dan berani menjalani hidup dengan apa adanya, dan termasuk iuran murah hati menghadirkan festival tahunan.
Mereka, oleh Romo Sindhu dinilai terus mencoba dan memperbarui seni yang mereka warisi secara diam-diam dari tradisi budayanya, hingga seni menjadi "atma" (roh) dan nafas sejati.
Komunitas itu telah selama triwindu membuktikan kesetiaan dan jalan murah hati berkesenian, melalui penyelenggaraan Festival Lima Gunung.
Dalam berbagai keterbatasan kehidupan berbasis pertanian desa dan gunung, termasuk saat pandemi COVID-19, secara berkomunitas mereka dengan cermat menemukan jalan peluang secara bermakna untuk terus berkesenian.
Dan, festival mereka yang murah hati itu boleh kiranya menjadi teladan, sekaligus pemberitahuan pada dunia bahwa bangsa Indonesia masih memegang teguh nilai luhur warisan nenek moyang, berupa kebersamaan.
