Untuk sementara, mereka yang memang baru saling bertemu, bersama-sama tinggal di shelter khusus perempuan di lantai dasar bagian belakang gedung empat lantai yang menjadi Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB). Masih dalam satu area Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru.
Para pekerja Indonesia di Malaysia yang sedang menghadapi berbagai masalah dan menunggu pemulangan ke Tanah Air, semua di tempatkan di shelter berkapasitas 40 orang untuk perempuan dan delapan untuk laki-laki.
ANTARA pada minggu pertama Desember lalu berkesempatan melihat fasilitas dan kegiatan mereka yang saat itu berada di shelter (tempat singgah) tersebut. Tidak ada banyak kamar dalam tempat perlindungan tersebut, karena konsep yang digunakan mirip dengan hotel kapsul yang populer di Jepang sejak 1979.
Hanya tiga kamar karantina yang dibuat terpisah dari bilik tidur lainnya. Belajar dari pandemi COVID-19, maka kewaspadaan terhadap kemungkinan penularan penyakit dilakukan di sana sehingga, menurut Pelaksana Fungsi Konsuler KJRI Johor Bahru Eri Kananga, mereka yang baru datang ke shelter harus menjalani karantina di kamar-kamar tersebut selama 3 hari sebelum berpindah ke bilik kapsul.
Untuk WNI yang dalam kondisi sakit dan sakit berat saat menunggu kepulangan ke Indonesia tentu tidak ditampung di shelter konsulat jenderal, tetapi dirujuk ke rumah sakit.
Selain karena memang tidak memiliki fasilitas dan pemahaman untuk merawat orang sakit, tentu akan lebih berisiko bagi yang sakit maupun para WNI lain yang sedang ada di shelter jika dirawat di sana. Karenanya, untuk mereka yang sakit akan dirujuk ke rumah sakit.
Dengan konsep hotel kapsul dan minim sekat, shelter menjadi terasa luas.
Tepat di belakang bilik-bilik kapsul tadi tersedia fasilitas bilik-bilik mandi dan toilet serta tempat mencuci pakaian. Konsepnya masih sama mengikuti fasilitas mandi dan toilet di hotel-hotel kapsul pada umumnya.
Pada sisi kanan tempat cuci terlihat sebuah ruangan berukuran kecil dengan jendela cukup lebar sehingga dapat terlihat beberapa orang sedang aktivitas di sana.
Pada saat yang sama mulai tercium aroma kelezatan dari ruangan tersebut. Ternyata ruangan tersebut merupakan dapur, yang selain dilengkapi dengan kompor dan rak piring, juga disiapkan lemari pendingin untuk menyimpan bahan-bahan makanan segar.
Menurut Eri, KJRI memang menyediakan bahan-bahan makanan dan keperluan dasar bagi mereka yang ada di shelter. Mulai dari sayuran, buah-buahan, bahan lauk-pauk, bumbu-bumbu, dan keperluan dapur lainnya. Juga menyediakan peralatan mandi, bahkan juga pakaian bagi mereka yang sering datang tanpa membawa apa pun, kecuali selembar pakaian di badan.
Namun semua bahan makanan yang mengolah tentu mereka sendiri yang ada di shelter. Dengan begitu, semua masakan bisa sesuai dengan selera lidah orang Indonesia.
“Sambal terasiiiii,” jawab 20 ibu-ibu dan kakak-kakak yang ada di shelter serentak ketika ditanya masakan yang dirasa cocok dan pas untuk semua.
Maklum, mereka berasal dari berbagai etnik dan suku di Indonesia, yang tentu juga memiliki selera rasa masakan yang berbeda pula. Karenanya, untuk urusan menyediakan makan pagi, siang, dan malam tentu juga perlu dirundingkan bersama.
Mereka membuat jadwal piket untuk bersih-bersih shelter dan memasak atas kesepakatan bersama. Jadwal itu mereka buat dalam dua carik kertas yang kemudian ditempel di sebuah rak yang terletak di luar dapur.
“Jadi biar semua merasa sama,” kata Ami, sebut saja namanya begitu, WNI yang sedang menjalani proses persidangan hak pengasuhan anak dan sementara tinggal di shelter tersebut saat membahas soal jadwal piket dan bersih-bersih.
Bergeser sedikit ke kanan, masih ada ruang santai yang cukup luas lengkap dengan meja makan, tempat duduk, dan televisi berukuran lumayan besar. Itu tempat mereka menghibur diri, memecah kebekuan, dan beraktivitas bersama.
Sirkulasi udara dan pencahayaannya sangat baik, karena selain ada kisi-kisi di bagian atas tempat mencuci pakaian, juga ada satu pintu lain yang mengarah ke halaman samping tempat mereka menjemur pakaian, plus beberapa jendela kaca.
Untuk bagian shelter laki-laki yang lebih kecil ukurannya juga terdapat bilik kapsul untuk tidur, ruang tamu dan makan yang bersebelahan, lalu dua kamar mandi dan toilet, dan tempat cuci pakaian. Tidak ada dapur di sana karena tugas memasak semua diserahkan kepada kaum hawa di shelter sebelah.
Pada sisi kanan ruang tama dan makan juga ada satu pintu dan jendela kaca yang menjadi sumber udara dan cahaya masuk. Udara dan cahaya juga dapat masuk melalui kisi-kisi di atas tempat mencuci pakaian.
Saat itu shelter laki-laki sedang kosong. Saat pandemi, shelter-shelter di KJRI memang kosong. Setelah pandemi COVID-19 pun pekerja-pekerja bermasalah yang masuk ke sana tidak sebanyak sebelumnya, yang bisa sampai kelebihan kapasitas bahkan mencapai 60 orang.
Aktivitas mereka
Tidak hanya WNI yang ada di shelter yang membuat jadwal kegiatan, tetapi KJRI Johor Bahru juga memiliki jadwal kegiatan untuk mereka.
Ada juga waktu khusus ice breaking agar mereka yang baru datang ke shelter dapat membaur dengan baik, dan semua menjadi merasa nyaman tinggal bersama, kata Eri.
Ia mengatakan setiap Rabu ada jadwal nonton film bareng, sedangkan setiap Kamis mereka ada kegiatan senam bareng.
Saat ANTARA berkunjung, 20 pekerja Indonesia tersebut juga mendapat kesempatan nonton bareng film dokumenter yang khusus diadakan Dharma Wanita Persatuan (DWP) KJRI Johor Bahru untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional sekaligus menjadi rangkaian Ulang Tahun Ke-23 DWP.
Sejenak mereka melupakan kesusahan. Saling memotivasi dan memberi semangat untuk segera kembali ke Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022