Jauh di ujung utara Pulau Bangka, tepatnya di Dusun Aikabik, Desa Gunungmuda, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat sebuah komunitas adat yang masih memegang teguh adat dan budaya Suku Mapor.
Suku Mapor merupakan subetnik Melayu Bangka, yang terdiri orang kepercayaan Mapor Dangkel (Orang Lom) dan ada juga yang sudah beragama (mayoritas Islam, sebagian kecil Kristen).
Kelompok kecil ini yang tinggal di wilayah Mapor bagian utara Pulau Bangka, berkembang dari peradaban di sekitar Sungai Mapor, dari Pangkalan Mapor menyebar ke pedalaman (hulu) seperti Aikabik, Benak, dan pesisir pantai seperti Pejem, Tengkalat, dan Tuing.
Dalam pengelompokan etnik Melayu Bangka, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu orang laut yang disebut Suku Sekah atau Sawang dan orang Darat yang tinggal di Menduk, Bangkakota, Kotawaringin, Jering, Maras, Balar, Olim, Jeruk, Belinyu, Kedale, dan Mapor.
Suku Mapor merupakan salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka. Mereka memilih hidup yang langsung bersinggungan dengan alam seperti di gunung atau hutan sehingga dalam keseharian mereka sangat menghargai alam yang diyakini sebagai napas kehidupan.
Mereka percaya setiap bagian dari alam semesta ini mempunyai roh atau kekuatan, yang mengawasi manusia dan perbuatannya.
Untuk saat ini, Suku Mapor hidup berkelompok dengan jumlah sekitar 600 orang, sekitar 30 persen masih memegang teguh kepercayaan Mapor Dangkel, sedangkan yang lain sudah menganut agama, baik Islam maupun Kristen.
"Pada tahun 2017 ada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan biodata KTP dalam kolom agama dituliskan penghayat kepercayaan, dan sejak saat itulah kami membantu mereka, memfasilitasi perubahan identitas tersebut," kata Pembina Lembaga Adat Mapor sekaligus Pamong Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Babel, Ali Usman.
Hingga hari ini, dari 200-an penghayat kepercayaan dalam komunitas adat tersebut, sekitar 100 orang sudah mengubah identitas dalam KTP.
Advokasi keberadaan komunitas Suku Mapor, yang merupakan salah satu budaya, perlu dilestarikan dan tidak hanya berhenti sampai sebatas itu. Pada tahun 2019 dilanjutkan dengan pembentukan Lembaga Adat Mapor, yang salah satu tugasnya menaungi keberadaan orang-orang penghayat kepercayaan tersebut, selain membantu melestarikan kebudayaan adat Mapor secara umum.
Pada tahun 2020, Lembaga Adat Mapor (LAM) didaftarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat yang ditandai dengan keluarnya tanda terdaftar organisasi kepada organisasi LAM.
"Pada dokumen itu juga menyebutkan ketua adat sebagai pemuka penghayat Mapur Dangkel," ujarnya.
Setelah adanya persetujuan tersebut secara administrasi negara, perubahan KTP dan lainnya termasuk untuk pernikahan adat sudah diakui negara. Artinya, masyarakat adat Mapor yang sudah memiliki KTP kepercayaan dan bernaung dalam LAM, bisa mengurus administrasi pernikahan adat untuk dicatat negara, sama dengan masyarakat pada umumnya.
Menurut Ali Usman, pengesahan dari pemerintah atas keberadaan LAM merupakan bentuk pengakuan keberadaan kelompok adat tersebut dan menjadi motivasi dari berbagai elemen untuk bersama-sama menjaga keberadaannya.
Setelah aspek persamaan administrasi masyarakat adat dengan masyarakat pada umumnya, yang dilakukan selanjutnya adalah proses pengembangan.
Seiring perjalanan waktu, proses pengembangan yang dilakukan terfokus pada menciptakan ekosistem baru berupa Kampung Adat Gebong Memarong. Sebuah kegiatan penyediaan kawasan tempat tinggal yang menyerupai awal keberadaan Suku Mapor.
Pembangunan kawasan ini menggunakan konsep Bubung Tujuh dan Buluh Perindu. Dua legenda warisan budaya takbenda yang masyhur di Tanah Bangka.
Semangat revitalisasi ini bukan hanya mementingkan aspek pelestarian budaya, melainkan juga harus menyejahterakan masyarakat lokal. Keberlanjutannya menjadi kata kunci terpenting, agar ke depan masyarakat adat bisa secara mandiri melestarikan adat dan budaya secara turun temurun tersebut.
Melalui konsep yang sudah disusun matang, gayung disambut PT Timah Tbk. untuk membantu mewujudkan kawasan kampung adat yang sesuai rencana awal. Dalam hal ini, perusahaan itu terlibat aktif dan menjadi sponsor tunggal dalam pembangunan Kampung Adat Gebong Memarong.
Pembangunan Kampong Adat Gebong Memarong tidak terlepas dari konsep pengembangan dan pemberdayaan masyarakat oleh korporasi itu dengan melibatkan masyarakat Dusun Aikabik, mulai dari menyiapkan bahan bangunan, tenaga kerja, administrasi, hingga dapat terlaksana proses pembangunan dengan cepat.
Dalam waktu 60 hari pada Juli hingga Agustus 2022, tim mampu membangun enam unit "memarong" atau balai, yaitu satu balai adat dengan ukuran 9X9 meter, satu galeri ukuran 7X7 meter, dan empat rumah tradisional yang dimanfaatkan untuk penginapan berukuran 5X5 meter.
Rumah ini berbentuk griya panggung, bermaterial fisik bangunan dengan memanfaatkan sumber daya hutan, seperti alas rumah menggunakan kayu ibul, beratap daun nipah, serta berdinding kulit kayu.
Saat ini, tim juga masih dalam proses melengkapi sarana dan prasarana penunjang kenyamanan para pengunjung.
Guna melengkapi keutuhan dari konsep yang direncanakan sejak awal, perusahaan tambang itu diharapkan memberikan dukungan penuh sehingga kawasan itu bisa diresmikan tahun ini.
Karena, masih ada prosesi memindahkan "memarong" lama yang akan difungsikan sebagai museum budaya ke dalam Gebong Memarong yang telah dibangun sehingga komplet menjadi tujuh bubung.
Setelah seluruh tahapan penyediaan bangunan selesai, komplet tujuh bubung rumah, LAM akan membuka kawasan itu untuk umum dengan konsep paket wisata budaya yang menitikberatkan kawasan sebagai pusat edukasi pengenalan budaya lokal.
Dalam konsep ini, pengunjung tidak hanya datang dan berfoto, namun mendapatkan pengenalan budaya lokal dan berinteraksi dengan warga yang dipandu langsung oleh orang-orang Adat Mapor.
Dengan konsep seperti itu, Kampung Adat Gebong Memarong akan menjadi daya tarik wisata baru dan mampu menciptakan peluang kerja serta menjadi sumber ekonomi alternatif sehingga mampu menyejahterakan masyarakat adat di Aikabik, Kecamatan Belinyu.
Kampung Adat Gebong Memarong merupakan satu-satunya kampung yang memberikan tawaran ruang ekosistem budaya adat di Babel.
Keseriusan BUMN itu dalam program pelestarian kebudayaan Mapor diharapkan bisa terus berkembang dengan pusat edukasi adat dan budaya kerajinan anyaman, pengobatan tradisional pelestarian tanaman langka, dan lainnya.
Untuk memperkokoh keberadaan komunitas ini, LAM saat ini juga sedang mendorong pengusulan peraturan daerah terkait masyarakat adat di Mapor.
Pusat Edukasi
Program pemberdayaan masyarakat adat yang dilakukan perusahaan itu di Dusun Aikabik tidak hanya menjaga tradisi dan kearifan lokal Suku Mapor, namun keberadaan Kampung Adat Gebong Memarong yang dibangun bersama masyarakat sekitar juga menjadi sarana edukasi bagi pengunjung maupun civitas akademika yang ingin mengenal keseharian suku tersebut.
Ketua Lembaga Adat Mapor Asih Harmoko mengatakan sampai sejauh ini sudah sering menerima kunjungan dari para akademikus. Diharapkan kegiatan seperti itu terus berjalan karena akan membawa dampak positif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
"Kegiatan seperti ini sangat bagus. Dengan begini kita dapat berbagi wawasan dan pengetahuan tentang kehidupan warga lokal dalam pemanfaatan alam sekaligus mengenalkan adat dan kehidupan sehari-hari Suku Mapor," katanya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Dian Akbarini, pada saat berkunjung ke lokasi itu bersama para mahasiswa menyatakan selama ini pembelajaran di kampus mahasiswa hanya mengetahui suku-suku yang ada di luar seperti Baduy, Kampung Naga, dan lainnya, sedangkan untuk suku di tanah Bangka belum ada pembahasan yang detail termasuk tentang pemanfaatan sumber daya alamnya.
Dari informasi yang didapatkan Dian, kehidupan masyarakat masih sangat menjaga kearifan lokal dengan memanfaatkan alam sekitar sebaik mungkin.
Warga setempat memanfaatkan berbagai macam tumbuhan, misalnya, pandan mengkuang untuk dijadikan anyaman tikar, bantal, tempat menyimpan nasi, tempat membawa benih, dan peranti lainnya.
Dalam bercocok tanam, warga Mapor juga tidak menggunakan bahan kimia tapi mereka cukup ahli memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit tanaman.
Dalam ilmu etnobiologi pada ilmu konservasi sumber daya alam, pengetahuan sosial masyarakat memang menjadi salah satu yang harus dimasukkan ke dalam kegiatan konservasi agar selaras dengan apa yang diinginkan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Rismy Wira Maddona menjelaskan Kampung Adat Gebong Memarong merupakan kawasan yang berisi tujuh bubung rumah (gebong) tradisional Suku Mapor.
Ke depan, perlu penguatan komitmen dan sinergi serta kolaborasi yang baik semua pemangku kepentingan agar mampu menjaga dan memelihara aset yang sudah dibangun sehingga dapat terus ditingkatkan dan berkelanjutan.
Keberadaan Suku Mapor merupakan salah satu dari ragam budaya yang ada di Babel Ini merupakan aset yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.
Dari laku merawat budaya itulah bakal memberi hidup dan rasa bangga terutama pada saat menyerahkan warisan ini kepada generasi selanjutnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Suku Mapor merupakan subetnik Melayu Bangka, yang terdiri orang kepercayaan Mapor Dangkel (Orang Lom) dan ada juga yang sudah beragama (mayoritas Islam, sebagian kecil Kristen).
Kelompok kecil ini yang tinggal di wilayah Mapor bagian utara Pulau Bangka, berkembang dari peradaban di sekitar Sungai Mapor, dari Pangkalan Mapor menyebar ke pedalaman (hulu) seperti Aikabik, Benak, dan pesisir pantai seperti Pejem, Tengkalat, dan Tuing.
Dalam pengelompokan etnik Melayu Bangka, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu orang laut yang disebut Suku Sekah atau Sawang dan orang Darat yang tinggal di Menduk, Bangkakota, Kotawaringin, Jering, Maras, Balar, Olim, Jeruk, Belinyu, Kedale, dan Mapor.
Suku Mapor merupakan salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka. Mereka memilih hidup yang langsung bersinggungan dengan alam seperti di gunung atau hutan sehingga dalam keseharian mereka sangat menghargai alam yang diyakini sebagai napas kehidupan.
Mereka percaya setiap bagian dari alam semesta ini mempunyai roh atau kekuatan, yang mengawasi manusia dan perbuatannya.
Untuk saat ini, Suku Mapor hidup berkelompok dengan jumlah sekitar 600 orang, sekitar 30 persen masih memegang teguh kepercayaan Mapor Dangkel, sedangkan yang lain sudah menganut agama, baik Islam maupun Kristen.
"Pada tahun 2017 ada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan biodata KTP dalam kolom agama dituliskan penghayat kepercayaan, dan sejak saat itulah kami membantu mereka, memfasilitasi perubahan identitas tersebut," kata Pembina Lembaga Adat Mapor sekaligus Pamong Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Babel, Ali Usman.
Hingga hari ini, dari 200-an penghayat kepercayaan dalam komunitas adat tersebut, sekitar 100 orang sudah mengubah identitas dalam KTP.
Advokasi keberadaan komunitas Suku Mapor, yang merupakan salah satu budaya, perlu dilestarikan dan tidak hanya berhenti sampai sebatas itu. Pada tahun 2019 dilanjutkan dengan pembentukan Lembaga Adat Mapor, yang salah satu tugasnya menaungi keberadaan orang-orang penghayat kepercayaan tersebut, selain membantu melestarikan kebudayaan adat Mapor secara umum.
Pada tahun 2020, Lembaga Adat Mapor (LAM) didaftarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat yang ditandai dengan keluarnya tanda terdaftar organisasi kepada organisasi LAM.
"Pada dokumen itu juga menyebutkan ketua adat sebagai pemuka penghayat Mapur Dangkel," ujarnya.
Setelah adanya persetujuan tersebut secara administrasi negara, perubahan KTP dan lainnya termasuk untuk pernikahan adat sudah diakui negara. Artinya, masyarakat adat Mapor yang sudah memiliki KTP kepercayaan dan bernaung dalam LAM, bisa mengurus administrasi pernikahan adat untuk dicatat negara, sama dengan masyarakat pada umumnya.
Menurut Ali Usman, pengesahan dari pemerintah atas keberadaan LAM merupakan bentuk pengakuan keberadaan kelompok adat tersebut dan menjadi motivasi dari berbagai elemen untuk bersama-sama menjaga keberadaannya.
Setelah aspek persamaan administrasi masyarakat adat dengan masyarakat pada umumnya, yang dilakukan selanjutnya adalah proses pengembangan.
Seiring perjalanan waktu, proses pengembangan yang dilakukan terfokus pada menciptakan ekosistem baru berupa Kampung Adat Gebong Memarong. Sebuah kegiatan penyediaan kawasan tempat tinggal yang menyerupai awal keberadaan Suku Mapor.
Pembangunan kawasan ini menggunakan konsep Bubung Tujuh dan Buluh Perindu. Dua legenda warisan budaya takbenda yang masyhur di Tanah Bangka.
Semangat revitalisasi ini bukan hanya mementingkan aspek pelestarian budaya, melainkan juga harus menyejahterakan masyarakat lokal. Keberlanjutannya menjadi kata kunci terpenting, agar ke depan masyarakat adat bisa secara mandiri melestarikan adat dan budaya secara turun temurun tersebut.
Melalui konsep yang sudah disusun matang, gayung disambut PT Timah Tbk. untuk membantu mewujudkan kawasan kampung adat yang sesuai rencana awal. Dalam hal ini, perusahaan itu terlibat aktif dan menjadi sponsor tunggal dalam pembangunan Kampung Adat Gebong Memarong.
Pembangunan Kampong Adat Gebong Memarong tidak terlepas dari konsep pengembangan dan pemberdayaan masyarakat oleh korporasi itu dengan melibatkan masyarakat Dusun Aikabik, mulai dari menyiapkan bahan bangunan, tenaga kerja, administrasi, hingga dapat terlaksana proses pembangunan dengan cepat.
Dalam waktu 60 hari pada Juli hingga Agustus 2022, tim mampu membangun enam unit "memarong" atau balai, yaitu satu balai adat dengan ukuran 9X9 meter, satu galeri ukuran 7X7 meter, dan empat rumah tradisional yang dimanfaatkan untuk penginapan berukuran 5X5 meter.
Rumah ini berbentuk griya panggung, bermaterial fisik bangunan dengan memanfaatkan sumber daya hutan, seperti alas rumah menggunakan kayu ibul, beratap daun nipah, serta berdinding kulit kayu.
Saat ini, tim juga masih dalam proses melengkapi sarana dan prasarana penunjang kenyamanan para pengunjung.
Guna melengkapi keutuhan dari konsep yang direncanakan sejak awal, perusahaan tambang itu diharapkan memberikan dukungan penuh sehingga kawasan itu bisa diresmikan tahun ini.
Karena, masih ada prosesi memindahkan "memarong" lama yang akan difungsikan sebagai museum budaya ke dalam Gebong Memarong yang telah dibangun sehingga komplet menjadi tujuh bubung.
Setelah seluruh tahapan penyediaan bangunan selesai, komplet tujuh bubung rumah, LAM akan membuka kawasan itu untuk umum dengan konsep paket wisata budaya yang menitikberatkan kawasan sebagai pusat edukasi pengenalan budaya lokal.
Dalam konsep ini, pengunjung tidak hanya datang dan berfoto, namun mendapatkan pengenalan budaya lokal dan berinteraksi dengan warga yang dipandu langsung oleh orang-orang Adat Mapor.
Dengan konsep seperti itu, Kampung Adat Gebong Memarong akan menjadi daya tarik wisata baru dan mampu menciptakan peluang kerja serta menjadi sumber ekonomi alternatif sehingga mampu menyejahterakan masyarakat adat di Aikabik, Kecamatan Belinyu.
Kampung Adat Gebong Memarong merupakan satu-satunya kampung yang memberikan tawaran ruang ekosistem budaya adat di Babel.
Keseriusan BUMN itu dalam program pelestarian kebudayaan Mapor diharapkan bisa terus berkembang dengan pusat edukasi adat dan budaya kerajinan anyaman, pengobatan tradisional pelestarian tanaman langka, dan lainnya.
Untuk memperkokoh keberadaan komunitas ini, LAM saat ini juga sedang mendorong pengusulan peraturan daerah terkait masyarakat adat di Mapor.
Pusat Edukasi
Program pemberdayaan masyarakat adat yang dilakukan perusahaan itu di Dusun Aikabik tidak hanya menjaga tradisi dan kearifan lokal Suku Mapor, namun keberadaan Kampung Adat Gebong Memarong yang dibangun bersama masyarakat sekitar juga menjadi sarana edukasi bagi pengunjung maupun civitas akademika yang ingin mengenal keseharian suku tersebut.
Ketua Lembaga Adat Mapor Asih Harmoko mengatakan sampai sejauh ini sudah sering menerima kunjungan dari para akademikus. Diharapkan kegiatan seperti itu terus berjalan karena akan membawa dampak positif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
"Kegiatan seperti ini sangat bagus. Dengan begini kita dapat berbagi wawasan dan pengetahuan tentang kehidupan warga lokal dalam pemanfaatan alam sekaligus mengenalkan adat dan kehidupan sehari-hari Suku Mapor," katanya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Dian Akbarini, pada saat berkunjung ke lokasi itu bersama para mahasiswa menyatakan selama ini pembelajaran di kampus mahasiswa hanya mengetahui suku-suku yang ada di luar seperti Baduy, Kampung Naga, dan lainnya, sedangkan untuk suku di tanah Bangka belum ada pembahasan yang detail termasuk tentang pemanfaatan sumber daya alamnya.
Dari informasi yang didapatkan Dian, kehidupan masyarakat masih sangat menjaga kearifan lokal dengan memanfaatkan alam sekitar sebaik mungkin.
Warga setempat memanfaatkan berbagai macam tumbuhan, misalnya, pandan mengkuang untuk dijadikan anyaman tikar, bantal, tempat menyimpan nasi, tempat membawa benih, dan peranti lainnya.
Dalam bercocok tanam, warga Mapor juga tidak menggunakan bahan kimia tapi mereka cukup ahli memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit tanaman.
Dalam ilmu etnobiologi pada ilmu konservasi sumber daya alam, pengetahuan sosial masyarakat memang menjadi salah satu yang harus dimasukkan ke dalam kegiatan konservasi agar selaras dengan apa yang diinginkan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Rismy Wira Maddona menjelaskan Kampung Adat Gebong Memarong merupakan kawasan yang berisi tujuh bubung rumah (gebong) tradisional Suku Mapor.
Ke depan, perlu penguatan komitmen dan sinergi serta kolaborasi yang baik semua pemangku kepentingan agar mampu menjaga dan memelihara aset yang sudah dibangun sehingga dapat terus ditingkatkan dan berkelanjutan.
Keberadaan Suku Mapor merupakan salah satu dari ragam budaya yang ada di Babel Ini merupakan aset yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.
Dari laku merawat budaya itulah bakal memberi hidup dan rasa bangga terutama pada saat menyerahkan warisan ini kepada generasi selanjutnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023