Jakarta (Antara Babel) - Gubernur Sumatera Utara non-aktif Gatot Pujo Nugroho dituntut 4,5 tahun penjara sedangkan istrinya Evy Susanti dituntut selama 4 tahun penjara ditambah denda masing-masing Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa 1 Gatot Pujo Nugroho dan terdakwa 2 Evy Susanti telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu alternatif kesatu dan dakwaan kedua alternatif kedua. Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa 1 Gatot Pujo Nugroho selama 4 tahun dan 6 bulan dan terdakwa 2 Evy Susanti selama 4 tahun ditambah denda masing-masing sebesar Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan," kata ketua jaksa penuntut umum KPK Irene Puteri dalam sidang pembacaan tuntutan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Namun jaksa juga memberikan status justice collaborator (saksi yang bekerja sama) kepada Gatot dan Evy karena dinilai membantu membongkar kasus dugaan tindak pidana suap kepada anggota DPRD Sumut 2009-2014 dan 2014-2019 terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2010-2014, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban Sumut 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.

"Hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung program pemerintah pemberantasan Tipikor. Hal yanng meringankan, para terdakwa belum pernah dihukum, mengakui terus terang, memiliki tanggungan keluarga, dan mengungkap perkara lain sehingga mendapat status saksi yang mengungkapkan pelaku dalam perkara lain yang ditetapkan oleh pimpinan KPK," tambah jaksa.

Jaksa menilai Gatot dan Evy terbukti memberikan suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan nilai total 27 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura dan suap Rp200 juta kepada mantan Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella.

Pada dakwaan pertama, Gatot dan Evy dinilai terbukti berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Keduanya memberi kepada hakim yaitu Tripeni Irianto Putro selaku hakim PTUN Medan sebesar 5.000 dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku hakim PTUN masing-masing sebesar 5 ribu dolar AS dan Syamsir Yusfan sebesar 2 ribu dolar AS selaku panitera untuk mempengaruhi putusan perkara yang diajukan ke PTUN Medan.

Perkara yang dimaksud adalah adalah permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara  tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang kuasa hukumnya diserahkan kepada OC Kaligis.

OC Kaligis bersama anak buahnya M Yagari Bhastara Guntur alias Garry, Yulius Irawansyah, Rico Pandeirot dan Anis Rifai menjadi kuasa hukum atas nama Pelaksana Tugas Harian (Plh) Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala Biro Keuangan Ahmad Fuad Lubis yang menjadi penggugat ke PTUN Medan.

Untuk kelancaran pengurusan gugatan, Gatot dan Evy melalui Mustafa beberapa kali mengirim uang kepada OC Kaligis yaitu 25 ribu dolar AS (senilai Rp325 juta), 55 ribu dolar Singapura (senilai Rp538,615 juta, Rp100 juta, 30 dolar AS dan Rp50 juta.

Uang tersebut sebagian selanjutnya secara bertahap diberikan kepada para hakim dan panitera PTUN Medan yaitu kepada Tripenni Irianto Putro senilai 5.000 dolar Singapura (29 April 2015), 10 ribu dolar AS (5 Mei 2015) dan 5.000 dolar AS (9 Juli 2015) kepada Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5.000 dolar AS (5 Juli 2015), kepada Syamsir Yusfan sebesar 2.000 dolar AS (29 April dan 7 Juli 2015). Pemberian uang dilakukan oleh OC Kaligis dan M Yagari Bhastara Guntur.

"Meskipun terdakwa 1 dan 2 tidak pernah berhubungan langsung dengan hakim tapi faktanya terdakwa 1 dan 2 telah mengetahui permintaan uang dari OC Kaligis pada 30 Juni dan 3 Juli yang tujuannya untuk diberikan kepada hakim dan panitera PTUN Medan terkait dengan pengajuan perkara, hal ini diperkuat dengan fakta terdakwa 2 tahu pada 5 Juli ada pemberian uang kepada dua hakim yang mengadili perkara yaitu Dermawan Ginting dan Amir Fauzi dan selanjutnya OC Kaligis meminta lagi uang 2.500 dolar AS untuk mengamankan pengujian kewenangan di PTUN Medan agar dikabulkan, jadi terdakwa 1 dan 2 bersama-sama dengan OC Kaligis telah memberikan uang kepada hakim dan panitera PTUN Medan," kata anggota jaksa Ariawan Agustiartono.

Sehingga pada 7 Juli 2015 majelis hakim memutuskan mengabulkan permohonan pemohon sebagian yaitu menyatakan adanya unsur penyalahgunaan wewenang dalam surat permintaan keterangan Fuad serta menyatakan tidak sah keputusan permintaan keterangan Fuad dan menghukum Kejati Sumut untuk membayar perkara sebesar Rp269 ribu.

"Hakim seharusnya independen bebas dari pengaruh apapun, karena merasa berhasil mempengaruhi hakim, tim pengacara OC Kaligis mengabarkan terdakwa 1 dan 2 bahwa gugatan akan menang meski belum ada putusan. Hal ini dibuktikan dengan transkrip pembicaraan, sehingga unsur untuk mempengaruhi perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dapat dibuktikan," tambah jaksa Ariawan.

Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Gatot dan Evi dinilai terbukti menyuap mantan anggota Komisi III DPR 2014-2019 dan Sekjen Partai Nasdem 2013-2015 Patrice Rio Capella sebesar Rp200 juta melalui Fransisca Insani Rahesti agar Patrice Rio Capella mengunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat kejaksaan Agung selaku mitra Kerja Komisi III DPR agar memfasilitasi silah guna memudahkan pengurusan penyelidikan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung.

Penyelidikan tersebut adalah kasus yang sama yang diajukan ke PTUN Medan.

Gatot yang ingin ada islah antara dirinya dan Tengku Erry Nuradi selaku Wakil Gubernur Sumut sehingga berupaya dengan berbagai cara untuk bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, termasuk dengan meminta tolong Rio Capella.

"Saksi Patrice Rio Capella dinilai bisa menjadi perantara ke Jaksa Agung, sehingga terdakwa 1 meminta untuk didamaikan ke Tengku Erry Nuradi yang juga kader Partai Nasdem, atas permintaan itu Patrice Rio Capella menyanggupi mendamaikan dengan Jaksa Agung mengingat Jaksa Agung juga berasal dari partai Nasdem dan Patrice Rio Capella adalah Sekjen partai Nasdem dengan harapan penyelidikan dapat dihentikan," tambah anggota jaksa Taufik.

Islah akhirnya terjadi pada 19 Mei 2015 di Kantor DPP Nasdem Gondangdia yang dihadiri oleh Gatot, Tengku Erry Nuradi, Surya Paloh dan Ketua Mahkamah Partai Nasdem Otto Cornelis Kaligis yang juga pengacara Gatot dan disepakati untuk memperbaiki hubungan dan komunikasi antara Gatot dan Tengku Erry.

Pemberian uang kepada Rio disepakati pada 20 Mei 2015 di Cafe Hotel Kartika Chandra. Uang sejumlah Rp200 juta itu diserahkan Fransisca yang sebelumnya sudah menerima uang dari Evy.

Sebagai balasannya, pada 22 Mei 2015 pukul 16.30 WIB di Planet Hollywood Cafe Hotel Kartika Chandra, Rio bertemu dengan Evy Susanti dan Fransisca. Pada pertemuan tersebut terdakwa menyampaikan bahwa sepulang umroh, terdakwa akan menjalin komunikasi dengan Kejaksaan Agung dan semenjak islah, semua pihak jadi "cooling down".

Namun Setelah terjadi Operasi Tangkap Tangan terhadap anak buah OC Kaligis, Moh Yagari Bhastara Guntur pada 9 Juli 2015, Rio Capella juga meminta Fransisca Insani Rahesti untuk mengakui bahwa uang dari Evy tersebut tidak pernah diterima Rio Capella.

Atas tuntutan itu, Gatot dan Evy akan mengajukan nota pembelaan pada 24 Februari 2016.

"Kami dan istri sudah berdiskusi dengan penasihat hukum kami dan berencana pekan depan melaksanakan pembelaan," kata Gatot.

Terkait perkara ini, sudah ada 6 terdakwa yang sudah divonis yaitu OC Kaligis selama 5,5 tahun, Syamsir Yusfan selama 3 tahun, Tripeni Irianto Putro, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selama 2 tahun serta Rio Capella selama 1,5 tahun.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016