Nilai-nilai demokrasi dan religiositas tampaknya memiliki kesejajaran makna sehingga keduanya merupakan dua variabel yang kompatibel, cocok, saling mendukung dalam kehidupan politik masyarakat modern.

Dalam praktik demokrasi, misalnya, pemegang kekuasaan dituntut untuk merespons setiap kritik, celaan dan cemoohan dari oposan maupun publik dengan pembelaan diri berupa tangkisan verbal. Pemegang kuasa dalam sistem demokrasi tak diberi toleransi untuk menanggapi kritik dengan tangan besi, menumpas lawan politiknya dengan kekerasan.

Tentu untuk memiliki karakter yang sesuai dengan semangat dan nilai-nilai demokrasi, seseorang harus mengalami pembudayaan diri, dan pengetahuan tentang nilai-nilai demokrasi itu.

Kemampuan menahan diri untuk menghadapi pihak oposisi, tidak gampang murka dan melampiaskan hawa nafsu dengan spontan bisa juga digali dari nilai-nilai religiositas, yang tentu saja menjadi bagian dari pesan-pesan esotorik agama.

Dalam Islam, amalan berpuasa, terutama pada bulan Ramadhan,  memuat seruan untuk berjiwa sabar, tenang, menahan diri menghadapi godaan provokatif yang mengundang kemarahan seseorang.

Dari sisi psikologis inilah tampak adanya kesejajaran nilai dalam praktik demokrasi dan nilai religiositas. Dalam iman Kristen yang tak mewajibkan pemeluknya untuk berpuasa di bulan tertentu sebagaiman yang digariskan dalam Islam, imperatif untuk menahan diri dari aksi kekerasan menanggapi kritik sudah terkandung dalam inti sari ajaran Kristus itu, yang terkristalisasi dalam konsep cinta kasih.

Dari ilustrasi itu teranglah bahwa mereka yang menganggap agama sebagai penghambat demokrasi tampak tak memperoleh justifikasi.

Agama jelas bukan penghambat demokrasi, apalagi catatan sejarah memperlihatkan bahwa agama, sebagaimana diyakini sejarawan Inggris Arnold Toynbee, merupakan salah satu vitalitas yang memungkinkan lahirnya peradaban-peradaban besar.

Ada dimensi lain yang menempatkan demokrasi dan religiositas bisa tampil sejajar. Dimensi itu bernama nilai keadilan. Kehidupan yang adil, menghindari kesewenang-wenangang adalah seruan bumi dan langit sekaligus.

Revolusi Prancis yang menjadi salah satu tonggak pencapaian kehidupan yang demokratis lahir dalam gelimang tumpah darah kaum jelata dan raja untuk mengakhiri kesewenang-wenangan, ketidakadilan yang membuat pemikir saat itu seperti Rousseau merasa jijik.

Selaras dengan seruan itu, jauh sebelumnya agama-agama memuat seruan para nabi terhadap para penguasa untuk berlaku adil bagi rakyat yang dipimpinnya.

Dalam wujud praktisnya, demokrasi menghendaki semua warga, termasuk penguasa, berposisi sederajat di muka hukum. Kekayaan, jabatan, genealogi keturunan bukan faktor pembeda di depan hukum positif.

Demokrasi dan religiositas juga punya perspektif yang senafas dalam menyikapi pluralisme dan multikulturalisme. Quran antara lain berisi firman tentang penciptaan bangsa-bangsa oleh Tuhan agar manusia saling mengenal. Demokrasi pun mengakomodasi keberagaman manusia dari berbagai segi kehidupannya.

Diskriminasi adalah kosa kata haram, baik menurut perspektif demokrasi maupun religiositas.

Apa yang membuat sebagian pengamat pernah menyangsikan kompatibilitas demokrasi dan keberagamaan adalah kecelakaan sejarah yang bersumber dari fakta praktik teokrasi, yang meleburkan antara kuasa politik dan keagamaan.

Teokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan dengan mengadopsi hukum-hukum teologis. Jika mentalitas politikus menyatu dengan karakter rohaniman, tubir petaka kemanusiaan hanya tinggal sejengkal jaraknya.

Dalam sejarah Eropa, masa-masa gelap aliansi jahat antara politik dan agama itu melahirkan sistem inkuisisi, sistem yang memungkinkan penguasa menyidik iman warga. Bagi mereka yang dicurigai tak memiliki kadar iman yang digariskan penguasa teokratis itu, mereka akan menerima hukum bakar.

Dari petaka inilah pelahan-lahan mencuatlah ide sekularisme, pemisahan urusan politik dari urusan iman. Di Indonesia, terutama di masa rezim Orde Baru, dikotomi sekularisme dan teokrasi ditolak. Para elite politik masa itu memproklamasikan bahwa Indonesia bukanlah negara sekular sekaligus bukan negara agama.

Tentu dikotomi semacam itu memang tak penting untuk diwacanakan sebab sejarah setiap bangsa di dunia ini tak melewati jalur pengalaman politik yang sama.

Tanpa harus mengidentikkan diri sebagai negara sekular, demokrasi di Tanah Air tetap memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang diidealkan. Tentu semua itu bukan tanpa rintangan. Klaim dari sekelompok sekte keagamaan yang hendak menggiring Indonesia ke arah negara berlandaskan teokrasi dari waktu ke waktu selalu muncul.

Di tataran nasional, usaha untuk menerapkan hukum-hukum teologis ke dalam hukum positif tidak memperlihatkan hasil sama sekali karena kuatnya semangat keindonesiaan, apalagi setelah ditopang oleh semangat Islam Nusantara, yang diinisiasi Nahdlatul Ulama, ormas keagamaan terbesar, yang berlandaskan pada dalil ahlul sunnah wal jamaah.

Namun, di ranah regional, seperti di Aceh, beberapa hukum teologis secara parsial seperti hukum cambuk berhasil dikodifikasi menjadi bagian dari hukum positif di wilayah yang kenyang oleh konflik politik itu.

Kesejajaran nilai-nilai demokrasi dan religiositas oleh sejumlah pengamat politik dirumuskan dalam istilah post-sekularisme. Di sinilah kegairahan semangat keberagamaan termanifestasikan dalam arena politik yang tak mesti dipisahkan dalam garis demarkasi yang tegas.

Semangat keberagamaan dalam bentuk kematangan bersikap menghadapi kritik memang diperlukan oleh demokrasi. Sebaliknya, demokrasipun dibutuhkan demi terciptanya harmoni bagi para pemeluk antariman. Lewat demokrasilah benturan antariman dapat dicegah dan dikendalikan.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016