Jakarta (Antara Babel) - Pertengahan Juni 2016, Tiongkok tersentak mendengar kabar dari Laut Cina Selatan, tepatnya di perairan Natuna, Indonesia.

Sebanyak 12 kapal nelayannya yang sedang mencari ikan ditembaki oleh Kapal Republik Indonesia (KRI) Imam Bonjol 383, korvet kelas Parchim buatan Jerman Timur. Satu kapal mereka ditangkap dan ditarik ke daratan Provinsi Kepulauan Riau.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok langsung melayangkan protes dan mengklaim ada warganya yang mengalami luka tembak akibat tindakan TNI AL tersebut.

Namun, Indonesia bergeming. Pasalnya, tindakan kapal-kapal Tiongkok tersebut sudah menyalahi aturan. Mereka mencari ikan di zona ekonomi ekslusif (ZEE) Indonesia yang total luasnya mencapai 2,7 juta kilometer persegi.

Selain menyatakan akan menjawab protes tersebut, pemerintah Indonesia melakukan satu hal yang cukup mengejutkan: mengadakan rapat kabinet terbatas dan dipimpin langsung Presiden Joko Widodo di KRI Imam Bonjol, Perairan Laut Cina Selatan.

Terlepas dari pro dan kontra publik, langkah pemerintah Indonesia tersebut patut diacungi jempol. Di tengah ketergantungan ekonomi kita pada Negeri Tirai Bambu, pemerintah tetap berdiri tegak dan menyimbolkan diri tidak gentar di hadapan negara dengan lebih dari satu miliar penduduk itu.

Pentingnya Tiongkok untuk Indonesia pernah digambarkan oleh ekonom Destry Damayanti dalam satu kesempatan. 
    
Satu persen pertumbuhan PDB Tiongkok, kata Destry, menaikkan PDB Indonesia sebanyak 0,34 persen. Ini bahkan lebih tinggi dari pada pengaruh perekonomian AS terhadap Tanah Air, di mana peningkatan satu persen ekonomi AS "hanya berpengaruh" terhadap pertumbuhan 0,13 persen PDB Indonesia.

Akan tetapi, fakta itu nyatanya tidak membuat Indonesia gentar. Masalah ekonomi tidak ada hubungannya dengan pelanggaran kedaulatan yang menyangkut harga diri bangsa.

Pencuri tetap pencuri, harus dihukum. Terlepas dari adanya pengawalan yang berbau "perlindungan" dari kapal penjaga pantai Tiongkok Haijing 3303, TNI AL telah melakukan tindakan yang benar: melakukan peringatan dari verbal dan memuntahkan peluru ketika semua itu tidak digubris.

    
Kedaulatan
   
Sebelumnya tidak pernah ada Presiden Indonesia yang pernah mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang, di rentang  beberapa hari pascakonflik yang melibatkan KRI tersebut. Di lokasi kericuhan itu pula.

Dan itu dilakukan Presiden Joko Widodo, presiden yang berlatar belakang masyarakat sipil lulusan Fakultas Kehutanan UGM, pada Kamis (23/6).

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan sempat memberikan pernyataan yang diplomatis untuk "meredakan suhu".

Kata Purnawirawan jenderal dari Kopassus itu, Presiden ke Laut Cina Selatan karena memang belum pernah ke daerah itu dan sekalian melihat-lihat alutsista.

Namun, itu tidak bisa menutupi pesan kuat yang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia siap menegakkan kedaulatan dengan mengusir siapapun yang berusaha melanggarnya.

Tidak peduli itu Tiongkok atau negara manapun. Kalau memang bersalah, harus "disikat".

Sebab, mencederai kedaulatan dengan berbagai cara, termasuk mengambil ikan, adalah tindakan berat yang harus ditindak dengan sangat serius. Ini disepakati secara internasional dan dilindungi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan kesepakatan ASEAN-Tiongkok yang tertuang dalam "Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea" (DOC), disepakati pada tahun 2002.

DOC ini ketika itu ditandatangani Tiongkok yang diwakili Utusan Khusus sekaligus Wakil Menteri Luar Negeri Wang Yi.

    
Indonesia Terlibat?

Adapun Indonesia sendiri sebenarnya tidak memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan ("nonclaimant state").

Akan tetapi, akhir-akhir ini keterlibatan Indonesia dalam konflik itu semakin tampak seiring seringnya kapal berbendera Tiongkok beroperasi di Laut Cina Selatan yang berada di wilayah RI, masuk dalam perairan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Sejatinya, konflik Laut China Selatan melibatkan Tiongkok dengan empat negara ASEAN yaitu Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Myanmar.

Saling klaim kekuasaan ini menyebabkan terjadi beberapa kali "gesekan" di wilayah tersebut, seperti yang terjadi pada 29 Januari 2015, ketika Filipina menuding kapal penjaga pantai Tiongkok sengaja menabrak tiga kapal nelayannya di Kepulauan Spratly, wilayah perselisihan di Laut Cina Selatan.

Apa pentingnya Laut Cina Selatan? Laksamana Pertama Dadang Sobar Wirasuta, dalam tulisannya di Jurnal Pertahanan Desember 2013 (Volume 3/Nomor 3), berjudul Keamanan Maritim Laut Cina Selatan: Tantangan dan Harapan, mengatakan bahwa kawasan Laut Cina Selatan sangat strategis secara geografis karena merupakan jalur perdagangan (Sea Line Of Trade/SLOT) dan jalur komunikasi internasional (Sea Line of Communication/SLOC) yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Sementara secara ekonomi, lanjut Dosen Universitas Pertahanan itu, Laut Cina Selatan mempunyai potensi sumber daya alam yang besar, terutama minyak bumi, gas alam, dan perikanan. Dari sudut pandang politik, wilayah itu berkaitan dengan kedaulatan (perbatasan maritim dengan negara tetangga) dan stabilitas politik regional ASEAN.

Indonesia yang awalnya "hanya" berperan sebagai penengah dan pendamai antarnegara yang berkonflik, tanpa disangka, mulai terlibat aktif seiring masuknya kapal-kapal nelayan Tiongkok ke Laut Cina Selatan perairan Kepulauan Natuna.

Beberapa kali Indonesia terpaksa harus menembak kapal nelayan Tiongkok yang masuk tanpa izin, seperti terjadi pada akhir Mei 2016, ketika KRI Oswald Siahaan 354 menembak dan menangkap kapal nelayan Tiongkok, Gui Bei Yu 27088.

Ah, semoga pesan dari Imam Bonjol bisa berdampak pada Tiongkok dan, menjadi peringatan pula bagi negara-negara lain.

Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016