Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China menegaskan terumbu karang "Ren'ai Jiao" adalah wilayah kedaulatan negara tersebut dan meminta Filipina tidak melakukan pelanggaran di kawasan itu.
Penegasan itu termuat dalam pernyataan tertulis Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China yang memuat lima butir respon atas juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina pada 7 Oktober 2023 yang mengatakan bahwa klaim China atas "Laut Filipina Barat" adalah tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab.
"Pertama, Ren'ai Jiao telah menjadi wilayah China sejak zaman kuno. Hal ini telah ditetapkan sebagai pandangan umum internasional yang diterapkan secara luas dan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Nansha Qundao dan perairan sekitarnya, termasuk Renai Jiao," demikian disampaikan dalam pernyataan yang diterima Antara di Beijing, Selasa.
Pulau karang yang dikenal sebagai "Ren'ai Jiao" oleh China dan disebut "Beting Ayungin" dalam sebutan Filipina merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara. Kepulauan Spartly adalah sebuah kepulauan besar yang diklaim oleh China dan beberapa negara Asia lain di Laut China Selatan.
Filipina sendiri telah menempatkan kapal perang angkatan laut, BRP Sierra Madre, sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999.
"Kedua, Renai Jiao tidak pernah menjadi wilayah Filipina. Nansha Qundao, termasuk Ren'ai Jiao, sepenuhnya berada di luar batas wilayah Filipina. Filipina tidak memiliki dasar hukum sama sekali untuk mengklaim kedaulatan atas Renai Jiao karena kedekatannya dengan wilayah Filipina," demikian tertulis.
Menurut Kementerian Luar Negeri China, wilayah Filipina ditentukan oleh serangkaian perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Perdamaian antara Amerika Serikat dan Kerajaan Spanyol pada 1898 (Perjanjian Paris), Perjanjian 1900 antara Amerika Serikat dan Kerajaan Spanyol Spanyol untuk Penyerahan Pulau-Pulau Terluar Filipina (Perjanjian Washington) dan Konvensi tahun 1930 antara Kerajaan Inggris dan Presiden Amerika Serikat mengenai Batas antara Negara Bagian Kalimantan Utara dan Kepulauan Filipina.
"Ketiga, apa yang disebut sebagai putusan arbitrase Laut Cina Selatan adalah ilegal, batal demi hukum. Arbitrase yang diprakarsai Filipina secara langsung berkaitan dengan masalah kedaulatan wilayah dan batasan maritim sedangkan masalah teritorial tidak tunduk pada UNCLOS," kata Kementerian Luar Negeri China.
Selain itu, pada 2006, berdasarkan Pasal 298 UNCLOS, China mengecualikan isu-isu yang berkaitan dengan penetapan batas laut dari yurisdiksi pengadilan atau tribunal. Dengan memulai arbitrase Laut China Selatan secara sepihak, menurut China, Filipina melanggar ketentuan UNCLOS.
"Keempat, dengan 'mengandalkan' sebuah kapal militer di Ren'ai Jiao, Filipina telah melanggar kedaulatan teritorial China. Pada Mei 1999, Filipina 'mendaratkan' kapal angkut tank BRP Sierra Madre (LT-57) di Ren'ai Jiao. China segera mengajukan protes serius, meminta Filipina untuk segera menarik kapal tersebut. Filipina berulang kali berjanji akan melakukan hal tersebut sesegera mungkin. Namun, 24 tahun telah berlalu, dan kapal angkut Filipina tersebut masih ada," ungkap Kementerian Luar Negeri China.
Poin kelima, ketegangan yang terjadi di Ren'ai Jiao sepenuhnya tanggung jawab Filipina karena Filipina selama beberapa saat mengabaikan niat baik China dengan terus mengirimkan kapal resmi dan kapal perang untuk menyusup ke perairan Ren'ai Jiao upaya mengirim material demi memperbaiki dan memperkuat kapal militer yang dikandangkan di perairan tersebut.
"China sekali lagi mendesak Filipina untuk menanggapi kekhawatiran China dengan serius, berhenti melakukan provokasi dan menciptakan masalah di perairan, serta menghentikan serangan dan pencemaran nama baik yang tidak berdasar, agar tidak merusak perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan dan merugikan kepentingan bersama negara-negara di kawasan," tutup pernyataan tersebut.
Sejumlah insiden terjadi beberapa pekan terakhir, termasuk pelepasan tali-temali berpelampung buatan China oleh Filipina. Isu terbaru, tiga nelayan Filipina tewas dalam insiden tabrakan kapal walau penyebab tabrakan belum diketahui dengan jelas.