Kandungan senyawa bromat yang banyak terbentuk saat Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) melewati proses disinfeksi dapat menyebabkan masyarakat berisiko terkena gangguan ginjal hingga kanker.
Menurut Guru Besar Bidang Pemrosesan Pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro (UNDIP) Andri Cahyo Kumoro dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu, AMDK memang memberikan alternatif yang lebih aman dan mudah daripada air keran bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan cairan mereka.
Namun di balik kepraktisan dan popularitasnya, keberadaan bromat di dalamnya yang bersifat karsinogenik atau beracun dapat memicu beragam penyakit seperti kanker hingga gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan sakit perut.
Sementara, orang yang terpapar bromat konsentrasi tinggi juga mengalami gangguan ginjal, gangguan sistem saraf hingga gangguan pendengaran.
“Paparan bromat dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama menyebabkan efek ginjal pada hewan laboratorium. Secara teori kalau bromat dapat menimbulkan penyakit itu bisa terjadi," kata Andri.
Andri yang juga bergelar sebagai profesor dalam bidang teknik kimia ini menjelaskan, efek karsinogenik hasil paparan bromat bisa mulai terasa atau teramati setelah 10 tahun konsumsi, tergantung pada kadar bromat yang ada dan kesehatan konsumennya.
Lebih lanjut, meski keberadaan bromat dalam AMDK telah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 26 Tahun 2019 dan Syarat Mutu SNI 3553:2015 Air Mineral dan syarat Mutu SNI 6241:2015 Air Demineral yang menyebutkan bahwa maksimal kandungan Bromat dalam AMDK sebesar 0,01 mg/L, keberadaan kandungan bromat dalam AMDK terus menghantui masyarakat, karena kedua aturan itu dinilainya masih bersifat sukarela.
Sedangkan dalam beleidnya, uji bromat untuk sementara waktu tidak dilakukan sampai terdapat laboratorium yang memiliki kemampuan pengujian yang terakreditasi dan ditunjuk.
Belum lagi kandungan bromat dalam AMDK pada dasarnya terbentuk bila prosesnya menggunakan ozonisasi. Ozon bereaksi dengan Bromida dalam air baku AMDK dan berubah menjadi bromat.
“Terbentuknya bromat juga bergantung pada air baku yang digunakan produsen AMDK apakah memang mengandung bromida yang signifikan atau tidak. Padahal saat ini ambang batas kandungan bromat dalam AMDK di Indonesia juga 10 mikrogram per liter air,” ujarnya.
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo ikut menyoroti sebelumnya tersebar data adanya AMDK yang memiliki kandungan bromat jauh di atas ambang batas yang telah ditetapkan.
Maka dari itu, ia meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan tes terhadap kandungan bromat yang terkandung dalam seluruh AMDK.
"Di post market mestinya BPOM melakukan sampling menguji yang ada di pasar ke laboratorium apakah itu sesuai standar keamanan, membahayakan konsumen apa tidak. Uji laboratorium juga perlu dilakukan secara reguler untuk memastikan keamanan pangan dimaksud dan itu sudah menjadi tugas BPOM,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Menurut Guru Besar Bidang Pemrosesan Pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro (UNDIP) Andri Cahyo Kumoro dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu, AMDK memang memberikan alternatif yang lebih aman dan mudah daripada air keran bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan cairan mereka.
Namun di balik kepraktisan dan popularitasnya, keberadaan bromat di dalamnya yang bersifat karsinogenik atau beracun dapat memicu beragam penyakit seperti kanker hingga gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan sakit perut.
Sementara, orang yang terpapar bromat konsentrasi tinggi juga mengalami gangguan ginjal, gangguan sistem saraf hingga gangguan pendengaran.
“Paparan bromat dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama menyebabkan efek ginjal pada hewan laboratorium. Secara teori kalau bromat dapat menimbulkan penyakit itu bisa terjadi," kata Andri.
Andri yang juga bergelar sebagai profesor dalam bidang teknik kimia ini menjelaskan, efek karsinogenik hasil paparan bromat bisa mulai terasa atau teramati setelah 10 tahun konsumsi, tergantung pada kadar bromat yang ada dan kesehatan konsumennya.
Lebih lanjut, meski keberadaan bromat dalam AMDK telah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 26 Tahun 2019 dan Syarat Mutu SNI 3553:2015 Air Mineral dan syarat Mutu SNI 6241:2015 Air Demineral yang menyebutkan bahwa maksimal kandungan Bromat dalam AMDK sebesar 0,01 mg/L, keberadaan kandungan bromat dalam AMDK terus menghantui masyarakat, karena kedua aturan itu dinilainya masih bersifat sukarela.
Sedangkan dalam beleidnya, uji bromat untuk sementara waktu tidak dilakukan sampai terdapat laboratorium yang memiliki kemampuan pengujian yang terakreditasi dan ditunjuk.
Belum lagi kandungan bromat dalam AMDK pada dasarnya terbentuk bila prosesnya menggunakan ozonisasi. Ozon bereaksi dengan Bromida dalam air baku AMDK dan berubah menjadi bromat.
“Terbentuknya bromat juga bergantung pada air baku yang digunakan produsen AMDK apakah memang mengandung bromida yang signifikan atau tidak. Padahal saat ini ambang batas kandungan bromat dalam AMDK di Indonesia juga 10 mikrogram per liter air,” ujarnya.
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo ikut menyoroti sebelumnya tersebar data adanya AMDK yang memiliki kandungan bromat jauh di atas ambang batas yang telah ditetapkan.
Maka dari itu, ia meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan tes terhadap kandungan bromat yang terkandung dalam seluruh AMDK.
"Di post market mestinya BPOM melakukan sampling menguji yang ada di pasar ke laboratorium apakah itu sesuai standar keamanan, membahayakan konsumen apa tidak. Uji laboratorium juga perlu dilakukan secara reguler untuk memastikan keamanan pangan dimaksud dan itu sudah menjadi tugas BPOM,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024