Momen pergantian tahun selalu identik dengan semarak pesta dan kemeriahan. Memang baik untuk menyulut kegembiraan bersama, namun euforia berlebih dapat melupakan esensi sebuah perayaan. Apalagi bila itu menyangkut perayaan tahun baru Hijriah yang penuh makna, jangan sampai substansi terlewati dalam gemuruh pesta.
Tahun baru Hijriah dipahami umat Islam sebagai momen hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang dulunya bernama Yastrib. Pemahaman Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena proses hijrah nabi telah dimulai sejak bulan Muharram, sesaat setelah nabi dibaiat di akhir bulan Dzulhijjah. Meski sebenarnya hijrah resminya terjadi pada malam tanggal 27 Safar dan sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabiul awal.
Kemudian penetapan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Qamariyah ditetapkan oleh Umar bin Khattab saat menjabat khalifah kedua sesudah Abu Bakar. Penetapan itu selanjutnya menjadi titik awal mula kalender bagi umat Islam yang diberi nama Tahun Hijriah.
Di Tanah Air, beberapa dekade lalu tahun baru Hijriah seperti kurang ada gemanya dan kalah pamor dengan perayaan tahun baru Masehi yang lebih gegap gempita bertabur petasan dan kembang api serta beragam pesta warga.
Seiring bertumbuhnya kesadaran beragama dan naiknya kualitas spiritualitas umat, dalam beberapa tahun terakhir perayaan tahun baru Hijriah terasa semakin semarak dengan berbagai kegiatan seperti dzikir bersama, tablig akbar hingga pawai obor. Perkembangan yang cukup menggembirakan dari sisi ghirah dan syiar agama.
Namun pada bagian lain, euforia perayaan tahun baru Islam sekaligus menandai kemunculan fanatisme beragama seraya menyuburkan sentimen pada perayaan serupa yang dinilai tidak Islami. Egoisme beragama yang berkembang di tengah masyarakat makin memperbanyak jumlah penganut Islam yang mengeksklusifkan kelompok sendiri dan menganggap kafir umat lain di luar kelompoknya.
Bagaimana pun fanatisme identik dengan kepicikan, padahal beragama yang baik mestilah menghadirkan kedamaian dengan menghargai keberagaman dan mengedepankan sikap toleran. Muslim merayakan tahun baru Hijriah itu baik, namun bukan berarti merayakan tahun baru Masehi, dilarang dan otomatis kafir.
Ragam perayaan
Ada banyak macam cara masyarakat dalam merayakan tahun baru Hijriah, baik secara syariah atau menganut tradisi dan budaya di daerahnya, hingga kalangan yang melakukan perjalanan menggapai esensi dari peristiwa hijrahnya Nabi.
Secara syariah, pada dasarnya tidak ada ajaran Islam yang membahas khusus ritual tertentu dalam merayakan tahun baru Hijriah. Namun terdapat sejumlah amalan ibadah yang dianjurkan saat Muharram dan memiliki banyak keutamaan, seperti membaca doa akhir tahun pada sore selepas Asar di hari terakhir bulan Zulhijah, dilanjutkan doa awal tahun saat memasuki malam 1 Muharram, kemudian puasa sunnah pada 1 Muharram, dan puasa Asyura pada hari kesepuluh Muharram.
Amalan-amalan itu terus berkembang karena ada semangat kolektif umat Islam untuk menyemarakkan suasana pergantian tahun. Kita dapat saksikan adanya gelaran dzikir massal, panggung rebana dengan selawatan, hingga tradisi pawai obor yang mewarnai setiap malam 1 Muharram. Adapula istilah Mabit (Malam Bina Taqwa) di Jakarta, yang dilaksanakan di masjid-masjid, diisi ceramah agama, dengan tujuan merefleksi diri selama berdiam di rumah ibadah.
Akulturasi antara budaya dan agama juga membuat perayaan tahun baru Hijriah di berbagai daerah cukup beragam.
Di sebagian Pulau Jawa, peringatan malam 1 Muharram yang kerap disebut 1 Suro malah lebih kental nuansa budaya (kejawen) ketimbang agama, bahkan ada yang menganggap menyerempet unsur kemusyrikan, seperti tradisi mengarak kerbau berjuluk Kiai Slamet atau Kirab Kebo Bule, memandikan pusaka dan benda-benda keramat, serta padusan (mandi beramai-ramai di sebuah sumber air).
Ada pula tradisi Sedekah Gunung Merapi yang dilakukan dengan mengarak kepala kerbau dan berbagai hasil Bumi, kemudian warga melarung kepala kerbau di wilayah puncak gunung.
Sementara kalangan abdi dalem keraton Yogyakarta menandai momen pergantian tahun Hijriah dengan ritual keliling benteng keraton sejauh tujuh kilometer, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun yang mereka sebut sebagai Tapa Bisu. Sejarah ritual ini diprakarsai oleh Paguyuban Abdi Dalem Keprajan Keraton Yogyakarta.
Tidak jauh dari Yogyakarta terdapat tradisi ziarah di Gunung Tidar. Masyarakat di sekitar lokasi wisata Kebun Raya Gunung Tidar, Magelang, beramai-ramai menziarahi makam para syekh dan kiai penyebar agama Islam di Tanah Jawa, seperti Syekh Subakir, Kiai Sepanjang, dan Kiai Semar.
Masyarakat di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki tradisi Upacara Bubur Suro. Biasanya mereka bergotong-royong menyiapkan bubur merah dan bubur putih yang disajikan secara terpisah, lalu dibawa ke masjid untuk disantap bersama-sama sebagai sarana mempererat tali silaturahim.
Sementara pemerintah daerah di Sukabumi biasa menyongsong tahun baru Islam dengan kegiatan lomba tabuh bedug yang diikuti masyarakat. Acara itu dinamai "Ngadulang".
Di luar Pulau Jawa, kita mengenal ada tradisi "Nganggung" di Pangkalpinang, Bangka. Dalam acara Nganggung, masyarakat datang ke masjid dengan membawa dulang berisi makanan dan lauk-pauk untuk dinikmati bersama. Tradisi ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur, sekaligus mempererat tali silaturahim dan kekeluargaan antarwarga.
Sedikit berbeda di Pariaman, Sumatera Barat, dengan gelaran upacara "Tabuik" atau "Tabut", yang dilaksanakan untuk memperingati Hari Asyura pada tanggal 10 Muharram. Upacara ini untuk mengenang gugurnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Tradisi serupa berlangsung juga di Bengkulu. Tabuik diambil dari bahasa Arab yang berarti peti kayu. Rangkaian pembuatan Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram sampai tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 Muharram, Tabuik diarak bersama masyarakat dan kemudian dibuang ke laut.
Kelas bergengsi
Pada Sabtu (6/7) malam, sebagian besar umat Islam di Tanah Air tengah bersuka-cita dalam perayaan tahun baru. Tanpa bermaksud menyurutkan luapan kegembiraan, sempatkan sejenak merenung apakah kita telah menyongsong pergantian tahun dengan capaian prestasi imani yang lebih tinggi dibanding saat menjelang 1 Muharram tahun lalu.
Hijrah bukan tentang sekadar berpindah, apalagi cuma berpindah fisik. Peristiwa kepindahan Nabi dari Makkah ke Madinah, barangkali tidak lagi relevan untuk kita ikuti sepersis itu, mengingat negeri kita cukup aman dan tidak ada ancaman atau semacam gangguan dalam menjalankan kehidupan beragama. Bahkan, negara dan pemerintah memfasilitasi kepentingan umat Islam dalam memenuhi kebutuhan sarana peribadatan.
Hijrah dalam konteks kekinian, akan lebih tepat kita terapkan dalam kerangka hijratun nafsiah dan hijratul amaliyah, yakni perpindahan secara spiritual dan intelektual. Seluruh rangkaian waktu hingga akhir bulan Zulhijah kita iringi dengan perjalanan menanjak tangga spiritual yang lebih tinggi. Bila kemarin ketika melakukan amal ibadah masih berhitung balasan pahala, sebaiknya mulai besok, tahun baru, tidak lagi begitu.
Tahun baru dengan kelas spiritual yang baru, telah menemukan pemahaman lebih baik bahwa ibadah yang ikhlas artinya tidak perlu “perhitungan” dengan Allah SWT, termasuk mengharap imbalan pahala, apalagi balasan surga. Cinta itu tentang “memberi”, begitu pun cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Jumpai setiap 1 Muharram dengan kelas keimanan yang telah naik tingkat.
Muhasabah yang tak kalah penting adalah aspek intelektual. Terkait hal ini, ada kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib, "Tiada kekayaan yang lebih utama daripada akal. Tiada keadaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan, dan tiada warisan yang lebih baik daripada pendidikan".
Di masa lampau, Islam pernah mencapai masa kejayaan berkat lahirnya para cendekiawan yang penemuan dan pemikirannya mempengaruhi peradaban dunia. Sebutlah Al Khawarizmi (ahli Matematika penemu Al Jabbar), Al Battani (ahli Astronomi penemu penentuan tahun 365 Hari), Ibnu Al Haitham (fisikawan penemu Optik), Ibnu Sina (ilmuwan bidang kedokteran), dan masih banyak lagi.
Sekarang tibalah kita, generasi akhir zaman, apa sumbangsih kita untuk kemajuan bangsa, umat, dan peradaban? Masihkah bisa bersantai dan berdiam diri dalam kebodohan sembari membiarkan budaya dan teknologi impor mengubah peradaban kita?
Tidak ada masalah bagaimana cara anda merayakan tahun baru, termasuk mengikuti tradisi yang sudah berjalan di daerah tempat tinggal, asal jangan hanya larut dalam euforia perayaan, lalu lupa menggali esensi hijrah. Ayo pindah ke kelas iman dan peradaban unggul yang lebih bergengsi!
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Tahun baru Hijriah dipahami umat Islam sebagai momen hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang dulunya bernama Yastrib. Pemahaman Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena proses hijrah nabi telah dimulai sejak bulan Muharram, sesaat setelah nabi dibaiat di akhir bulan Dzulhijjah. Meski sebenarnya hijrah resminya terjadi pada malam tanggal 27 Safar dan sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabiul awal.
Kemudian penetapan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Qamariyah ditetapkan oleh Umar bin Khattab saat menjabat khalifah kedua sesudah Abu Bakar. Penetapan itu selanjutnya menjadi titik awal mula kalender bagi umat Islam yang diberi nama Tahun Hijriah.
Di Tanah Air, beberapa dekade lalu tahun baru Hijriah seperti kurang ada gemanya dan kalah pamor dengan perayaan tahun baru Masehi yang lebih gegap gempita bertabur petasan dan kembang api serta beragam pesta warga.
Seiring bertumbuhnya kesadaran beragama dan naiknya kualitas spiritualitas umat, dalam beberapa tahun terakhir perayaan tahun baru Hijriah terasa semakin semarak dengan berbagai kegiatan seperti dzikir bersama, tablig akbar hingga pawai obor. Perkembangan yang cukup menggembirakan dari sisi ghirah dan syiar agama.
Namun pada bagian lain, euforia perayaan tahun baru Islam sekaligus menandai kemunculan fanatisme beragama seraya menyuburkan sentimen pada perayaan serupa yang dinilai tidak Islami. Egoisme beragama yang berkembang di tengah masyarakat makin memperbanyak jumlah penganut Islam yang mengeksklusifkan kelompok sendiri dan menganggap kafir umat lain di luar kelompoknya.
Bagaimana pun fanatisme identik dengan kepicikan, padahal beragama yang baik mestilah menghadirkan kedamaian dengan menghargai keberagaman dan mengedepankan sikap toleran. Muslim merayakan tahun baru Hijriah itu baik, namun bukan berarti merayakan tahun baru Masehi, dilarang dan otomatis kafir.
Ragam perayaan
Ada banyak macam cara masyarakat dalam merayakan tahun baru Hijriah, baik secara syariah atau menganut tradisi dan budaya di daerahnya, hingga kalangan yang melakukan perjalanan menggapai esensi dari peristiwa hijrahnya Nabi.
Secara syariah, pada dasarnya tidak ada ajaran Islam yang membahas khusus ritual tertentu dalam merayakan tahun baru Hijriah. Namun terdapat sejumlah amalan ibadah yang dianjurkan saat Muharram dan memiliki banyak keutamaan, seperti membaca doa akhir tahun pada sore selepas Asar di hari terakhir bulan Zulhijah, dilanjutkan doa awal tahun saat memasuki malam 1 Muharram, kemudian puasa sunnah pada 1 Muharram, dan puasa Asyura pada hari kesepuluh Muharram.
Amalan-amalan itu terus berkembang karena ada semangat kolektif umat Islam untuk menyemarakkan suasana pergantian tahun. Kita dapat saksikan adanya gelaran dzikir massal, panggung rebana dengan selawatan, hingga tradisi pawai obor yang mewarnai setiap malam 1 Muharram. Adapula istilah Mabit (Malam Bina Taqwa) di Jakarta, yang dilaksanakan di masjid-masjid, diisi ceramah agama, dengan tujuan merefleksi diri selama berdiam di rumah ibadah.
Akulturasi antara budaya dan agama juga membuat perayaan tahun baru Hijriah di berbagai daerah cukup beragam.
Di sebagian Pulau Jawa, peringatan malam 1 Muharram yang kerap disebut 1 Suro malah lebih kental nuansa budaya (kejawen) ketimbang agama, bahkan ada yang menganggap menyerempet unsur kemusyrikan, seperti tradisi mengarak kerbau berjuluk Kiai Slamet atau Kirab Kebo Bule, memandikan pusaka dan benda-benda keramat, serta padusan (mandi beramai-ramai di sebuah sumber air).
Ada pula tradisi Sedekah Gunung Merapi yang dilakukan dengan mengarak kepala kerbau dan berbagai hasil Bumi, kemudian warga melarung kepala kerbau di wilayah puncak gunung.
Sementara kalangan abdi dalem keraton Yogyakarta menandai momen pergantian tahun Hijriah dengan ritual keliling benteng keraton sejauh tujuh kilometer, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun yang mereka sebut sebagai Tapa Bisu. Sejarah ritual ini diprakarsai oleh Paguyuban Abdi Dalem Keprajan Keraton Yogyakarta.
Tidak jauh dari Yogyakarta terdapat tradisi ziarah di Gunung Tidar. Masyarakat di sekitar lokasi wisata Kebun Raya Gunung Tidar, Magelang, beramai-ramai menziarahi makam para syekh dan kiai penyebar agama Islam di Tanah Jawa, seperti Syekh Subakir, Kiai Sepanjang, dan Kiai Semar.
Masyarakat di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki tradisi Upacara Bubur Suro. Biasanya mereka bergotong-royong menyiapkan bubur merah dan bubur putih yang disajikan secara terpisah, lalu dibawa ke masjid untuk disantap bersama-sama sebagai sarana mempererat tali silaturahim.
Sementara pemerintah daerah di Sukabumi biasa menyongsong tahun baru Islam dengan kegiatan lomba tabuh bedug yang diikuti masyarakat. Acara itu dinamai "Ngadulang".
Di luar Pulau Jawa, kita mengenal ada tradisi "Nganggung" di Pangkalpinang, Bangka. Dalam acara Nganggung, masyarakat datang ke masjid dengan membawa dulang berisi makanan dan lauk-pauk untuk dinikmati bersama. Tradisi ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur, sekaligus mempererat tali silaturahim dan kekeluargaan antarwarga.
Sedikit berbeda di Pariaman, Sumatera Barat, dengan gelaran upacara "Tabuik" atau "Tabut", yang dilaksanakan untuk memperingati Hari Asyura pada tanggal 10 Muharram. Upacara ini untuk mengenang gugurnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Tradisi serupa berlangsung juga di Bengkulu. Tabuik diambil dari bahasa Arab yang berarti peti kayu. Rangkaian pembuatan Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram sampai tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 Muharram, Tabuik diarak bersama masyarakat dan kemudian dibuang ke laut.
Kelas bergengsi
Pada Sabtu (6/7) malam, sebagian besar umat Islam di Tanah Air tengah bersuka-cita dalam perayaan tahun baru. Tanpa bermaksud menyurutkan luapan kegembiraan, sempatkan sejenak merenung apakah kita telah menyongsong pergantian tahun dengan capaian prestasi imani yang lebih tinggi dibanding saat menjelang 1 Muharram tahun lalu.
Hijrah bukan tentang sekadar berpindah, apalagi cuma berpindah fisik. Peristiwa kepindahan Nabi dari Makkah ke Madinah, barangkali tidak lagi relevan untuk kita ikuti sepersis itu, mengingat negeri kita cukup aman dan tidak ada ancaman atau semacam gangguan dalam menjalankan kehidupan beragama. Bahkan, negara dan pemerintah memfasilitasi kepentingan umat Islam dalam memenuhi kebutuhan sarana peribadatan.
Hijrah dalam konteks kekinian, akan lebih tepat kita terapkan dalam kerangka hijratun nafsiah dan hijratul amaliyah, yakni perpindahan secara spiritual dan intelektual. Seluruh rangkaian waktu hingga akhir bulan Zulhijah kita iringi dengan perjalanan menanjak tangga spiritual yang lebih tinggi. Bila kemarin ketika melakukan amal ibadah masih berhitung balasan pahala, sebaiknya mulai besok, tahun baru, tidak lagi begitu.
Tahun baru dengan kelas spiritual yang baru, telah menemukan pemahaman lebih baik bahwa ibadah yang ikhlas artinya tidak perlu “perhitungan” dengan Allah SWT, termasuk mengharap imbalan pahala, apalagi balasan surga. Cinta itu tentang “memberi”, begitu pun cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Jumpai setiap 1 Muharram dengan kelas keimanan yang telah naik tingkat.
Muhasabah yang tak kalah penting adalah aspek intelektual. Terkait hal ini, ada kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib, "Tiada kekayaan yang lebih utama daripada akal. Tiada keadaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan, dan tiada warisan yang lebih baik daripada pendidikan".
Di masa lampau, Islam pernah mencapai masa kejayaan berkat lahirnya para cendekiawan yang penemuan dan pemikirannya mempengaruhi peradaban dunia. Sebutlah Al Khawarizmi (ahli Matematika penemu Al Jabbar), Al Battani (ahli Astronomi penemu penentuan tahun 365 Hari), Ibnu Al Haitham (fisikawan penemu Optik), Ibnu Sina (ilmuwan bidang kedokteran), dan masih banyak lagi.
Sekarang tibalah kita, generasi akhir zaman, apa sumbangsih kita untuk kemajuan bangsa, umat, dan peradaban? Masihkah bisa bersantai dan berdiam diri dalam kebodohan sembari membiarkan budaya dan teknologi impor mengubah peradaban kita?
Tidak ada masalah bagaimana cara anda merayakan tahun baru, termasuk mengikuti tradisi yang sudah berjalan di daerah tempat tinggal, asal jangan hanya larut dalam euforia perayaan, lalu lupa menggali esensi hijrah. Ayo pindah ke kelas iman dan peradaban unggul yang lebih bergengsi!
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024