Layan Mahdi, bocah Palestina yang baru berusia empat tahun, hampir tidak dapat mengenali wajahnya sendiri saat bercermin karena ruam telah menyebar ke seluruh tubuhnya.
Dalam upayanya untuk meringankan rasa sakit, gadis berambut pirang itu sering kali menggaruk ruamnya. Namun, hal itu hanya memperburuk ketidaknyamanan yang dirasakannya hingga membuat dirinya berteriak dan meminta pertolongan kepada keluarganya.
"Sayangnya, tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membuatnya lebih baik," ratap ibu Layan, Akaber Qudaih (38).
Dia mengatakan kepada Xinhua bahwa anaknya terinfeksi kudis setelah bermain dengan anak-anak tetangganya di Kota Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah.
"Saya pergi ke Rumah Sakit al-Aqsa guna mencari obat untuk putri saya, tetapi tidak mendapatkan apa pun," kata Akaber. "Saya terpaksa menggunakan cara primitif untuk mengobati putri saya dengan menggosok tubuhnya dengan minyak goreng, tetapi sayangnya itu sangat menyakitkan baginya."
Tidak hanya Layan, empat saudara kandungnya juga terinfeksi penyakit kulit tersebut, keluh ibu lima anak itu kepada Xinhua. "Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengobati anak-anak saya. Saya takut kehilangan mereka."
Dengan terbatasnya akses air dan sanitasi, penyakit menular dan infeksi kulit terus merajalela di seluruh Gaza, menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juli lalu.
Akaber, yang saat ini tinggal di sebuah tenda di pantai Kota Deir al-Balah, seperti kebanyakan warga Palestina di Jalur Gaza, terpaksa mengungsi dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari serangan Israel yang masih berlanjut.
"Sejak saya meninggalkan rumah saya di Gaza City 10 bulan lalu, saya tidak pernah menemukan satu tempat pun yang memenuhi kebutuhan dasar manusia. Hal terburuk adalah kurangnya air dan perlengkapan kebersihan pribadi," ujar Akaber.
Noaman Nassar, anak Palestina lainnya yang berusia sembilan tahun, menderita penyebaran jerawat dengan komedo putih dan hitam di sekujur tubuhnya.
"Saya tidak bisa mengenakan pakaian apa pun karena rasanya sakit. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggaruk tubuh saya sepanjang waktu," ungkap bocah laki-laki itu kepada Xinhua. "Saya pergi berenang di laut dengan ayah saya untuk menghilangkannya, tetapi semua upaya itu gagal, dan rasa sakit saya semakin bertambah dari hari ke hari."
Dengan terbatasnya akses air dan sanitasi, penyakit menular dan infeksi kulit terus merajalela di seluruh Gaza, menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juli lalu.
Marwan al-Hams, Direktur Rumah Sakit Naser di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang, termasuk anak-anak, pria dan wanita, yang terjangkit penyakit kulit.
Kelebihan kapasitas pengungsi di daerah-daerah yang mengalami krisis air, kebersihan, dan sistem pembuangan limbah telah menyebabkan penyebaran penyakit, termasuk penyakit kulit di kalangan anak-anak, tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa sebanyak 103.385 kasus penyakit kudis dan kutu, 65.368 kasus ruam kulit, dan lebih dari 11.000 kasus cacar air telah tercatat per 30 Juni.
Marwan al-Hams, Direktur Rumah Sakit Naser di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang, termasuk anak-anak, pria dan wanita, yang terjangkit penyakit kulit.
Dia menambahkan bahwa situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya pengobatan untuk kondisi-kondisi tersebut, yang meningkatkan risiko penularan infeksi kepada mereka yang terluka dalam serangan Israel.
"Kami dapat mengatakan bahwa Gaza saat ini sedang mengalami bencana kesehatan," sebut al-Hams, seraya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu masyarakat di Gaza dengan menekan Israel agar mengizinkan pasokan medis dan peralatan medis masuk ke Gaza sesegera mungkin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Dalam upayanya untuk meringankan rasa sakit, gadis berambut pirang itu sering kali menggaruk ruamnya. Namun, hal itu hanya memperburuk ketidaknyamanan yang dirasakannya hingga membuat dirinya berteriak dan meminta pertolongan kepada keluarganya.
"Sayangnya, tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membuatnya lebih baik," ratap ibu Layan, Akaber Qudaih (38).
Dia mengatakan kepada Xinhua bahwa anaknya terinfeksi kudis setelah bermain dengan anak-anak tetangganya di Kota Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah.
"Saya pergi ke Rumah Sakit al-Aqsa guna mencari obat untuk putri saya, tetapi tidak mendapatkan apa pun," kata Akaber. "Saya terpaksa menggunakan cara primitif untuk mengobati putri saya dengan menggosok tubuhnya dengan minyak goreng, tetapi sayangnya itu sangat menyakitkan baginya."
Tidak hanya Layan, empat saudara kandungnya juga terinfeksi penyakit kulit tersebut, keluh ibu lima anak itu kepada Xinhua. "Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengobati anak-anak saya. Saya takut kehilangan mereka."
Dengan terbatasnya akses air dan sanitasi, penyakit menular dan infeksi kulit terus merajalela di seluruh Gaza, menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juli lalu.
Akaber, yang saat ini tinggal di sebuah tenda di pantai Kota Deir al-Balah, seperti kebanyakan warga Palestina di Jalur Gaza, terpaksa mengungsi dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari serangan Israel yang masih berlanjut.
"Sejak saya meninggalkan rumah saya di Gaza City 10 bulan lalu, saya tidak pernah menemukan satu tempat pun yang memenuhi kebutuhan dasar manusia. Hal terburuk adalah kurangnya air dan perlengkapan kebersihan pribadi," ujar Akaber.
Noaman Nassar, anak Palestina lainnya yang berusia sembilan tahun, menderita penyebaran jerawat dengan komedo putih dan hitam di sekujur tubuhnya.
"Saya tidak bisa mengenakan pakaian apa pun karena rasanya sakit. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggaruk tubuh saya sepanjang waktu," ungkap bocah laki-laki itu kepada Xinhua. "Saya pergi berenang di laut dengan ayah saya untuk menghilangkannya, tetapi semua upaya itu gagal, dan rasa sakit saya semakin bertambah dari hari ke hari."
Dengan terbatasnya akses air dan sanitasi, penyakit menular dan infeksi kulit terus merajalela di seluruh Gaza, menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juli lalu.
Marwan al-Hams, Direktur Rumah Sakit Naser di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang, termasuk anak-anak, pria dan wanita, yang terjangkit penyakit kulit.
Kelebihan kapasitas pengungsi di daerah-daerah yang mengalami krisis air, kebersihan, dan sistem pembuangan limbah telah menyebabkan penyebaran penyakit, termasuk penyakit kulit di kalangan anak-anak, tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa sebanyak 103.385 kasus penyakit kudis dan kutu, 65.368 kasus ruam kulit, dan lebih dari 11.000 kasus cacar air telah tercatat per 30 Juni.
Marwan al-Hams, Direktur Rumah Sakit Naser di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang, termasuk anak-anak, pria dan wanita, yang terjangkit penyakit kulit.
Dia menambahkan bahwa situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya pengobatan untuk kondisi-kondisi tersebut, yang meningkatkan risiko penularan infeksi kepada mereka yang terluka dalam serangan Israel.
"Kami dapat mengatakan bahwa Gaza saat ini sedang mengalami bencana kesehatan," sebut al-Hams, seraya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu masyarakat di Gaza dengan menekan Israel agar mengizinkan pasokan medis dan peralatan medis masuk ke Gaza sesegera mungkin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024