Dinas Perikanan Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, melatih masyarakat di daerah itu membudidayakan kepiting bakau karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan hasil yang menjanjikan.
"Kami melatih Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Suak Parak Mangrove, Desa Air Saga, Kecamatan Tanjung Pandan untuk membudidayakan kepiting bakau," kata Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan Belitung, Rekie Irawan di Tanjung Pandan, Sabtu.
Menurut dia, awalnya KSM Suak Parak Mangrove bergerak di bidang pariwisata dengan mengembangkan eco wisata dan melestarikan mangrove atau hutan bakau di wilayah itu.
"Melihat ide tersebut Dinas Perikanan Belitung mencoba untuk meningkatkan potensi ekonomi yang ada di kawasan itu sambil meningkatkan taraf hidup masyarakat maka terbitlah ide kegiatan budidaya kepiting bakau," ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini masyarakat di sekitar kawasan Suak Parak Mangrove hanya menangkap kepiting bakau saja dan langsung menjualnya kepada pembeli.
"Dan itu dengan ukuran yang terbatas hanya yang besar saja dengan ukuran di atas tiga ons untuk dijual, sedangkan kepiting hasil tangkapan dengan ukuran di bawah tiga ons mereka buang dan terkadang ada yang mati, karena sudah masuk ke dalam alat tangkap bubu kemudian dikeluarkan lagi maka kepitingnya mati," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya menyayangkan kondisi ini mengapa kepiting hasil tangkapan yang dibuang karena ukuran di bawah tiga ons tidak dilakukan penggemukan atau pembesaran, sehingga ukurannya bisa mencapai tiga ons ke atas bahkan lebih untuk dijual ke pasaran.
"Kalau kepiting hasil tangkapan di alam bebas itu kurus maka akan digemukkan melalui kegiatan budidaya kepiting bakau," ujarnya.
Rekie menjelaskan, budidaya kepiting bakau tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem "silvofishery" sehingga tetap memperhatikan kelestarian hutan bakau.
"Metodenya adalah dengan "crab box" (sangkar kepiting) untuk kepiting di bawah tiga ons dan "crab ball" untuk kepiting ukuran tiga ons ke atas, sehingga pada saat kepiting ganti kulit bisa lebih leluasa karena kalau kepiting ganti kulit apabila tidak maksimal biasanya akan mati," katanya.
Disampaikannya, adapun waktu yang diperlukan untuk pembesaran dan penggemukan kepiting bakau tersebut cukup bervariasi tergantung dengan ukuran waktu ditangkap dan ukuran konsumsi untuk dijual.
"Karena waktu penangkapan dari alam ukurannya tidak seragam, jadi tergantung ukuran konsumsi, rata-rata tiga sampai empat bulan sudah bisa dipanen, namun kalau ukuran kepiting sudah besar maka akan lebih cepat lagi, bisa sekitar satu sampai dua minggu saja sudah bisa dijual," ujarnya.
Menurut Rekie, harga kepiting bakau dengan ukuran 0,5 kilogram saat ini dipatok Rp60 ribu sampai Rp80 ribu per kilogram, sedangkan kepiting bakau dengan ukuran di atas 0,5 kilogram dipatok sebesar Rp160 ribu sampai Rp180 ribu per kilogram.
"Untuk pasarnya sangat terbuka lebar bahkan untuk kebutuhan dalam daerah saja masih banyak kurang, jadi kegiatan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan ternyata masyarakat juga tertarik membudidayakan ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
"Kami melatih Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Suak Parak Mangrove, Desa Air Saga, Kecamatan Tanjung Pandan untuk membudidayakan kepiting bakau," kata Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan Belitung, Rekie Irawan di Tanjung Pandan, Sabtu.
Menurut dia, awalnya KSM Suak Parak Mangrove bergerak di bidang pariwisata dengan mengembangkan eco wisata dan melestarikan mangrove atau hutan bakau di wilayah itu.
"Melihat ide tersebut Dinas Perikanan Belitung mencoba untuk meningkatkan potensi ekonomi yang ada di kawasan itu sambil meningkatkan taraf hidup masyarakat maka terbitlah ide kegiatan budidaya kepiting bakau," ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini masyarakat di sekitar kawasan Suak Parak Mangrove hanya menangkap kepiting bakau saja dan langsung menjualnya kepada pembeli.
"Dan itu dengan ukuran yang terbatas hanya yang besar saja dengan ukuran di atas tiga ons untuk dijual, sedangkan kepiting hasil tangkapan dengan ukuran di bawah tiga ons mereka buang dan terkadang ada yang mati, karena sudah masuk ke dalam alat tangkap bubu kemudian dikeluarkan lagi maka kepitingnya mati," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya menyayangkan kondisi ini mengapa kepiting hasil tangkapan yang dibuang karena ukuran di bawah tiga ons tidak dilakukan penggemukan atau pembesaran, sehingga ukurannya bisa mencapai tiga ons ke atas bahkan lebih untuk dijual ke pasaran.
"Kalau kepiting hasil tangkapan di alam bebas itu kurus maka akan digemukkan melalui kegiatan budidaya kepiting bakau," ujarnya.
Rekie menjelaskan, budidaya kepiting bakau tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem "silvofishery" sehingga tetap memperhatikan kelestarian hutan bakau.
"Metodenya adalah dengan "crab box" (sangkar kepiting) untuk kepiting di bawah tiga ons dan "crab ball" untuk kepiting ukuran tiga ons ke atas, sehingga pada saat kepiting ganti kulit bisa lebih leluasa karena kalau kepiting ganti kulit apabila tidak maksimal biasanya akan mati," katanya.
Disampaikannya, adapun waktu yang diperlukan untuk pembesaran dan penggemukan kepiting bakau tersebut cukup bervariasi tergantung dengan ukuran waktu ditangkap dan ukuran konsumsi untuk dijual.
"Karena waktu penangkapan dari alam ukurannya tidak seragam, jadi tergantung ukuran konsumsi, rata-rata tiga sampai empat bulan sudah bisa dipanen, namun kalau ukuran kepiting sudah besar maka akan lebih cepat lagi, bisa sekitar satu sampai dua minggu saja sudah bisa dijual," ujarnya.
Menurut Rekie, harga kepiting bakau dengan ukuran 0,5 kilogram saat ini dipatok Rp60 ribu sampai Rp80 ribu per kilogram, sedangkan kepiting bakau dengan ukuran di atas 0,5 kilogram dipatok sebesar Rp160 ribu sampai Rp180 ribu per kilogram.
"Untuk pasarnya sangat terbuka lebar bahkan untuk kebutuhan dalam daerah saja masih banyak kurang, jadi kegiatan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan ternyata masyarakat juga tertarik membudidayakan ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024