Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, meminta seluruh pihak menghormati kewenangan yang dimiliki lembaga negara karena setiap lembaga memiliki tugas masing-masing.

Tanggapan itu merespons polemik revisi UU Nomor 6/2020 tentang Pilkada. Adapun revisi UU Pilkada merespons putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat umur dan syarat pengusungan pasangan calon kepala daerah.

"Karena saling menghormati antara semua lembaga negara, kalau MK melakukan keputusannya dengan baik, DPR juga bisa membuat kebijakan yang mestinya harus lebih baik," kata dia, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan MK memiliki kewenangan dalam menguji aturan perundang-undangan. Kewenangan itu dinilai sangat luar biasa lantaran semua UU yang diujikan ke MK berbasis kepada aturan yang lebih tinggi, yaitu UUD.

Sementara itu, DPR diberikan tugas sebagai pembuat UU sebagai amanat pasal 20 UUD 1945. Ia menyebutkan, berdasarkan perundang-undangan, DPR memiliki kewenangan untuk mengubah pasal demi pasal guna membentuk UU.

"Jadi di situlah sebenarnya kewenangan besar DPR untuk bisa merevisi UU manapun, termasuk UU Pilkada," ujarnya.

Ia pun meminta MK agar tidak masuk ke ranah pembuat UU, sebab hal itu merupakan ranah DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU. MK diharapkan tidak masuk ke wilayah kebijakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang sudah dilakukan DPR agar tidak ada benturan maupun kesalahpahaman antara MK dan DPR.

"Sejatinya masing-masing pihak harus saling menghormati satu sama lainnya," ucap dia.

Untuk itu, dia menilai Badan Legislasi  DPR tidak menyalahi aturan dengan melakukan revisi UU Pilkada lantaran Badan Legislatif DPR bersama pemerintah hanya menjalankan tugas.

Dengan demikian, kata dia, berdasarkan mekanisme konstitusi tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan revisi UU Pilkada serta masih berada pada koridor demokrasi dan konstitusional.

Pewarta: Agatha Olivia Victoria

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024