Jakarta (Antara Babel) - Ahli patologi forensik Universitas Indonesia Djaja Surya Atmadja menduga Wayan Mirna Salihin, yang diduga tewas akibat meminum racun sianida, menduga korban meninggal akibat menenggak racun lain.

Dugaan itu didasarkan atas apa yang dilihat Djaja terkait gejala-gejala sebelum korban meregang nyawa.

"Korban ini masih muda dan meninggal mendadak setelah meminum kopi. Saya menduga bisa saja keracunan, tetapi bukan sianida," ujar Djaja yang hadir sebagai saksi ahli dari pihak terdakwa Jessica Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu malam.

Namun, dia tidak dapat memastikan racun apa yang mematikan korban. Seharusnya, lanjut Djaja, pihak penyidiklah yang membuktikan hal tersebut melalui proses otopsi, sesuatu yang tidak dilakukan dalam kasus tewasnya Mirna.

Korban, kata dia, tidak bisa disimpulkan mengonsumsi sianida karena tanda-tanda khas zat toksik tersebut tidak terdapat pada tubuh Mirna.

"Gejalanya adalah kulit merah terang, sementara kulit korban kebiruan. Kedua, adanya bau almon pahit, di mana dalam kasus ini tidak ada," kata Djaja, orang yang mengawetkan jenazah Mirna.

Ketiga, dia menambahkan, warna lambung akan merah terang, tetapi pada kasus ini kehitaman. Dan terakhir, kandungan sianida seharusnya ada di hati dan darah, juga ada asam tiosianat dalam urine. Sementara bukti dari penyidik, sianida hanya terdapat di lambung dengan konsentrasi 0,2 miligram perliter dan tanpa asam tiosianat.

Selain keracunan, Djaja juga meminta semua pihak tidak menyampingkan kemungkinan Mirna meninggal alamiah secara mendadak. Ada beberapa sebab kematian tiba-tiba tersebut.

"Umumnya adalah aneurisma (pecahnya pembuluh darah di kepala), radang otak, kelainan jantung, pecahnya pembukuh darah di paru-paru akibat TBC dan radang paru-paru," tuturnya.

        Otopsi Jenazah
   
Pada persidangan yang berlangsung hingga pukul 21.30 WIB tersebut, hakim Binsar Gultom sempat menanyakan kepada ahli kemungkinan melakukan autopsi pada jenazah Mirna yang sudah dikubur untuk memastikan sebab kematian korban.

Djaja menjawab hal itu bisa dilakukan jika memang dianggap perlu oleh jaksa dan penyidik. Akan tetapi, kalaupun diterapkan, dia menganggap itu tidak efektif.

"Bisa kacau datanya karena sianida bisa saja bertambah atau berkurang karena tanah juga mengandung zat tersebut. Efektivitasnya diragukan," kata Djaja.

Seharusnya, pihak penyidik melakukan otopsi sesaat setelah Mirna meninggal dunia dan tidak cuma melakukan pemeriksaan luar dan pengambilan sampel hati, empedu, ginjal dan urine seperti yang dilakukan tim forensik Polri karena pihak keluarga Mirna menolak autpso.

"Kalau hanya mengambil sampel organ sama saja dengan pemeriksaan luar. Penyebab kematian tidak akan bisa ditentukan," ujar Djaja.

Adapun pada hari ini, Rabu (7/9), pihak terdakwa sedianya menghadirkan dua saksi ahli. Selain Djaja, didatangkan pula pakar toksikologi kimia Budiawan. Namun karena keterbatasan waktu, keterangan Budiawan akan didengarkan pada persidangan berikutnya, Rabu (14/9).

Wayan Mirna Salihin tewas pada Rabu, 6 Januari 2016 di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Korban diduga meregang nyawa akibat menenggak kopi es vietnam yang dipesan oleh temannya, terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Pewarta: Michael Siahaan

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016