Sehari sebelum dilantik menjadi menteri pada 27 Oktober 2014, Retno Marsudi diperkenalkan kepada publik oleh Presiden Jokowi sebagai seorang diplomat karier yang saat itu menjabat Duta Besar RI untuk Belanda.
Dalam perkenalan itu juga disebutkan bahwa Retno menjadi perempuan pertama menteri luar negeri dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Sepuluh tahun berselang, dua periode pemerintahan dijalani Retno sebagai kapten diplomasi, di tengah situasi tak banyak perempuan yang mencapai posisi pengambil keputusan.
“Dulu waktu saya masuk ke Kementerian Luar Negeri, masih sarat dengan sebuah anggapan bahwa diplomasi ini adalah dunia laki-laki, kalau perempuan masuk pasti kita akan tertinggal,” ucap Retno.
Retno menepis anggapan seksis itu melalui cara dan hasil kerja. Kisah Retno menjadi contoh bahwa perempuan dapat berkontribusi untuk terlibat menyelesaikan permasalahan global, asalkan diberikan akses yang cukup.
Perempuan diplomat di Kementerian Luar Negeri RI jumlahnya kian bertambah. Ketika Retno awal bergelut di dunia diplomasi pada 1986, hanya ada sekitar 10 persen perempuan diplomat.
Pada periode pertama ia memimpin, jumlah diplomat perempuan tercatat 36 persen pada 2019. Kini, pada akhir masa jabatannya, Retno mengaku bahwa komposisi perempuan diplomat setiap kali perekrutan dibuka sudah menyentuh 50 persen.
Perempuan dan perdamaian
Dalam perjalanan 10 tahun terakhir, Retno melihat kondisi perempuan di berbagai belahan dunia ternyata tak semua serupa. Ada sisi yang memberikan perkembangan menggembirakan, namun ada pula sisi suram bagi perempuan.
Retno mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh, pada 2016. Dia juga bertemu dengan para pengungsi Palestina pada 2019. Tak sedikit pula pertemuannya dengan orang-orang yang terdampak perang dan konflik.
Banyak perang dan konflik itu berimbas luar biasa, terutama dirasakan oleh perempuan dan anak-anak. Wujud krisis kemanusiaan ini jadi perhatian besar bagi Retno.
“Dan di situlah, setiap kali melihat mereka, saya berjanji bahwa saya harus melakukan hal yang baik. Do the right thing, untuk membantu manusia. Karena bagaimana kita memperlakukan manusia merupakan isu sentral dari semua pekerjaan kita, termasuk sebagai diplomat,” kata dia.
Bukan sekali dua kali, Menlu Retno mengajak dunia untuk berinvestasi pada perempuan. Ia meyakini investasi pada perempuan berarti investasi pada perdamaian.
Misalnya pada 2019, akhir periode pertama Menlu Retno, Indonesia menjadi tuan rumah untuk sejumlah acara regional dan internasional penambahan kualitas perempuan di berbagai bidang.
Ada pelatihan untuk perempuan, perdamaian dan keamanan tingkat regional, juga Dialog Perempuan Lintas Kepercayaan se-ASEAN, serta pembahasan khusus isu perempuan dan demokrasi inklusif dalam "Bali Democracy Forum" yang dihadiri para perempuan menteri luar negeri.
Yang juga tak lepas dari advokasi Menlu Retno adalah kebebasan bagi perempuan Afganistan. Terkhusus pasca Taliban mengambil alih kuasa pada 2021, perempuan di sana harus berjuang dalam kebijakan yang mundur: pembatasan akses di bidang sosial, ekonomi, politik.
Pada 2022, Indonesia bersama Qatar menyelenggarakan Konferensi Internasional untuk Pendidikan Perempuan Afghanistan (ICAWE) pertama.
Di sela-sela Sidang Ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, belum lama ini, Retno membuka pidatonya pada forum Keterlibatan Perempuan dalam Masa Depan Afghanistan dengan sentuhan sentimental.
“Nama saya Retno Marsudi. Saya seorang perempuan, saya seorang ibu, saya juga seorang nenek, dan saya seorang Muslim. Namun saya punya kebebasan, akses setara untuk banyak hal,” kata dia.
“Pertanyaannya, bagaimana dengan perempuan Afganistan? Apakah mereka juga memiliki hak yang sama dengan saudara laki-laki mereka?”
Tak berhenti
Kini, setelah 10 tahun memimpin diplomasi Indonesia, Retno belum ingin berhenti. Ia akan terus menyalurkan energi advokasinya di lingkup yang lebih luas namun lebih khusus lagi.
Kecakapan Retno dalam berdiplomasi, berkat 30 tahun menjadi diplomat dan 10 tahun sebagai Menlu, ternyata dilirik oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Pada 13 September 2024, Guterres mengumumkan penunjukan Retno sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air. Retno mencatatkan lagi suatu pencapaian: posisi ini pertama kali ada, pertama kali pula orang Indonesia terpilih.
Mandat yang diberikan kepada dia juga masih terkait erat dengan kecakapan diplomasi yang telah ia kuasai, antara lain, kemitraan dan upaya bersama untuk memajukan agenda air, meningkatkan kerja sama internasional terkait isu air.
Retno memulai start lebih awal. Dalam forum tingkat tinggi di PBB pada September lalu, ia telah menyatakan tentang pentingnya air di lingkup global.
Dalam pandangannya, air adalah sumber kehidupan, sekaligus bisa menjadi sumber petaka jika melihat munculnya konflik di dunia akibat sengketa akses dan pengendalian sumber air.
Posisi baru ini pula yang menguatkan Retno ketika harus berpisah dengan sejawat menteri luar negeri, yang bahkan ia anggap bukan hanya dalam hubungan profesi namun juga pertemanan.
Bagi Retno, ada perasaan yang menyeruak ketika ia berpidato di hadapan Majelis Umum PBB untuk kali terakhir sebagai menteri luar negeri.
“Saya baru terasa, di tahun ini, masuk ke hall Majelis Umum dan saya melihat sekitar saya. Hampir semua yang ada di hall tersebut, terutama ketua-ketua delegasinya saya kenal semua. … Makanya pada saat kita harus meninggalkan dunia itu, pasti ada rasa gimana, ya,” kata Retno.
Perasaan sedih akibat perpisahan itu juga agaknya dimiliki rakyat Indonesia yang selama satu dekade terakhir ini diwakili oleh perempuan yang lincah, vokal, dan berani: Retno Marsudi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Dalam perkenalan itu juga disebutkan bahwa Retno menjadi perempuan pertama menteri luar negeri dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Sepuluh tahun berselang, dua periode pemerintahan dijalani Retno sebagai kapten diplomasi, di tengah situasi tak banyak perempuan yang mencapai posisi pengambil keputusan.
“Dulu waktu saya masuk ke Kementerian Luar Negeri, masih sarat dengan sebuah anggapan bahwa diplomasi ini adalah dunia laki-laki, kalau perempuan masuk pasti kita akan tertinggal,” ucap Retno.
Retno menepis anggapan seksis itu melalui cara dan hasil kerja. Kisah Retno menjadi contoh bahwa perempuan dapat berkontribusi untuk terlibat menyelesaikan permasalahan global, asalkan diberikan akses yang cukup.
Perempuan diplomat di Kementerian Luar Negeri RI jumlahnya kian bertambah. Ketika Retno awal bergelut di dunia diplomasi pada 1986, hanya ada sekitar 10 persen perempuan diplomat.
Pada periode pertama ia memimpin, jumlah diplomat perempuan tercatat 36 persen pada 2019. Kini, pada akhir masa jabatannya, Retno mengaku bahwa komposisi perempuan diplomat setiap kali perekrutan dibuka sudah menyentuh 50 persen.
Perempuan dan perdamaian
Dalam perjalanan 10 tahun terakhir, Retno melihat kondisi perempuan di berbagai belahan dunia ternyata tak semua serupa. Ada sisi yang memberikan perkembangan menggembirakan, namun ada pula sisi suram bagi perempuan.
Retno mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh, pada 2016. Dia juga bertemu dengan para pengungsi Palestina pada 2019. Tak sedikit pula pertemuannya dengan orang-orang yang terdampak perang dan konflik.
Banyak perang dan konflik itu berimbas luar biasa, terutama dirasakan oleh perempuan dan anak-anak. Wujud krisis kemanusiaan ini jadi perhatian besar bagi Retno.
“Dan di situlah, setiap kali melihat mereka, saya berjanji bahwa saya harus melakukan hal yang baik. Do the right thing, untuk membantu manusia. Karena bagaimana kita memperlakukan manusia merupakan isu sentral dari semua pekerjaan kita, termasuk sebagai diplomat,” kata dia.
Bukan sekali dua kali, Menlu Retno mengajak dunia untuk berinvestasi pada perempuan. Ia meyakini investasi pada perempuan berarti investasi pada perdamaian.
Misalnya pada 2019, akhir periode pertama Menlu Retno, Indonesia menjadi tuan rumah untuk sejumlah acara regional dan internasional penambahan kualitas perempuan di berbagai bidang.
Ada pelatihan untuk perempuan, perdamaian dan keamanan tingkat regional, juga Dialog Perempuan Lintas Kepercayaan se-ASEAN, serta pembahasan khusus isu perempuan dan demokrasi inklusif dalam "Bali Democracy Forum" yang dihadiri para perempuan menteri luar negeri.
Yang juga tak lepas dari advokasi Menlu Retno adalah kebebasan bagi perempuan Afganistan. Terkhusus pasca Taliban mengambil alih kuasa pada 2021, perempuan di sana harus berjuang dalam kebijakan yang mundur: pembatasan akses di bidang sosial, ekonomi, politik.
Pada 2022, Indonesia bersama Qatar menyelenggarakan Konferensi Internasional untuk Pendidikan Perempuan Afghanistan (ICAWE) pertama.
Di sela-sela Sidang Ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, belum lama ini, Retno membuka pidatonya pada forum Keterlibatan Perempuan dalam Masa Depan Afghanistan dengan sentuhan sentimental.
“Nama saya Retno Marsudi. Saya seorang perempuan, saya seorang ibu, saya juga seorang nenek, dan saya seorang Muslim. Namun saya punya kebebasan, akses setara untuk banyak hal,” kata dia.
“Pertanyaannya, bagaimana dengan perempuan Afganistan? Apakah mereka juga memiliki hak yang sama dengan saudara laki-laki mereka?”
Tak berhenti
Kini, setelah 10 tahun memimpin diplomasi Indonesia, Retno belum ingin berhenti. Ia akan terus menyalurkan energi advokasinya di lingkup yang lebih luas namun lebih khusus lagi.
Kecakapan Retno dalam berdiplomasi, berkat 30 tahun menjadi diplomat dan 10 tahun sebagai Menlu, ternyata dilirik oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Pada 13 September 2024, Guterres mengumumkan penunjukan Retno sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air. Retno mencatatkan lagi suatu pencapaian: posisi ini pertama kali ada, pertama kali pula orang Indonesia terpilih.
Mandat yang diberikan kepada dia juga masih terkait erat dengan kecakapan diplomasi yang telah ia kuasai, antara lain, kemitraan dan upaya bersama untuk memajukan agenda air, meningkatkan kerja sama internasional terkait isu air.
Retno memulai start lebih awal. Dalam forum tingkat tinggi di PBB pada September lalu, ia telah menyatakan tentang pentingnya air di lingkup global.
Dalam pandangannya, air adalah sumber kehidupan, sekaligus bisa menjadi sumber petaka jika melihat munculnya konflik di dunia akibat sengketa akses dan pengendalian sumber air.
Posisi baru ini pula yang menguatkan Retno ketika harus berpisah dengan sejawat menteri luar negeri, yang bahkan ia anggap bukan hanya dalam hubungan profesi namun juga pertemanan.
Bagi Retno, ada perasaan yang menyeruak ketika ia berpidato di hadapan Majelis Umum PBB untuk kali terakhir sebagai menteri luar negeri.
“Saya baru terasa, di tahun ini, masuk ke hall Majelis Umum dan saya melihat sekitar saya. Hampir semua yang ada di hall tersebut, terutama ketua-ketua delegasinya saya kenal semua. … Makanya pada saat kita harus meninggalkan dunia itu, pasti ada rasa gimana, ya,” kata Retno.
Perasaan sedih akibat perpisahan itu juga agaknya dimiliki rakyat Indonesia yang selama satu dekade terakhir ini diwakili oleh perempuan yang lincah, vokal, dan berani: Retno Marsudi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024