Seorang ibu bernama Lina Dedy dan anak kandungnya Lady harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi oleh Tim Penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Selatan selama 12 jam pada Senin (16/12), atas insiden pemukulan seorang mahasiswa kedokteran di daerah itu.


Berawal dari persoalan sederhana, yakni jadwal jaga dokter koas di rumah sakit. Anak dari Lina yang bernama Lady protes kepada ketua kelompok koas Luthfi karena harus menjalani piket jaga di rumah sakit, saat malam tahun baru.

Lady merupakan mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang berstatus dokter muda atau co-assistant, yang sedang menjalani tahap pendidikan klinis, dengan mempraktikkan ilmu kedokteran secara langsung di rumah sakit, sebagai langkah akhir sebelum menyandang status resmi sebagai dokter.

Karena beberapa kali protes soal jadwal jaga, akhirnya ketua kelompok koas berujar kepada Lady agar mengatur jadwal sendiri.

Kesal dimarahi, Lady mengadu kepada ibunya. Tidak terima anak tunggalnya dikasari, Lina mengajak ketua Koas Luthfi bertemu membahas soal jadwal jaga di salah satu kafe.

Datang bersama sopir FD, si ibu pasang badan anaknya dikasari. Ia datang menemui ketua koas karena anaknya tidak bisa berkomunikasi secara langsung.

Bahkan, dengan nada mengancam si ibu mengaku pribumi asli, lulusan sarjana hukum pula, sementara koordinator koas cuma mahasiswa perantauan. Si ibu juga menantang jika ketua koas mau melaporkan kasus ke polisi.

Pada pertemuan tersebut ketua koas menjelaskan sudah memberi kesempatan hingga dua kali agar anak si ibu bisa mengubah jadwal piket jaga sesuai keinginan. Namun dua kali diubah pun masih protes, sehingga ia kesal kepada sang "princes".

Akhirnya negosiasi si ibu dengan ketua koas berakhir ricuh karena sopirnya emosi. Berbicara tidak lagi dengan mulut, melainkan tangan.

Akibatnya pembahasan jadwal piket jaga bergeser dari kafe ke Polda. Si sopir pun kini memakai pakaian oranye karena menjadi tersangka penganiayaan. Dia dijerat pasal 351 ayat 2, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun kurungan.

Apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Kalau saja di kafe itu tak ada yang main tindakan fisik, dipastikan segala sesuatu bisa dibicarakan secara baik-baik.

Kini si ibu menjadi terkenal, anaknya viral, bapaknya kena imbas, kampus pun jadi populer dengan kesan negatif.

Berbagai akun media sosial para dokter di Tanah Air menyesalkan perilaku pemukulan rekan sejawat mereka dipicu perkara sepele, mengenai jadwal jaga koas di rumah sakit.

Para dokter tersebut menyatakan ada banyak anak-anak petinggi yang juga menempuh pendidikan kedokteran dan menjalani praktik koas, namun tidak ada yang melibatkan orang tua soal jadwal piket jaga di rumah sakit.

Salah satu risiko menjalani pendidikan kedokteran memang harus siap berjaga di rumah sakit di saat hari besar sekali pun. Dan sudah seharusnya para orang tua yang ingin anaknya menjadi dokter memahami konsekuensi itu.

Generasi strawbery

Kasus calon dokter ini mengingatkan kita pada guru besar Universitas Indonesia Rhenal Kasali menulis buku berjudul "Strawberry Generation; Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh".

Istilah generasi strawbery berasal dari Taiwan, menggambarkan generasi yang lahir pada 1980-an, usai perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, dengan kehidupan yang menyenangkan.

Generasi ini dimanjakan oleh orang tua yang dulunya miskin. Orang tua tidak ingin masa kelam mereka saat ekonomi sulit menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi ini digambarkan layaknya strawberry, mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini tampak mewah, ranum, dan indah dari tampakan luar, tetapi tidak siap menghadapi benturan.

Orang tua memberinya semua fasilitas dan kemewahan, namun lupa menanamkan kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi dengan lingkungan.

Ternyata, semua fasilitas itu bukannya memudahkan, malah mempersulit si anak. Anak-anak menjadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi sulit.

Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawbery.

Ternyata tantangan dan ketidaknyamanan adalah bagian membentuk karakter seorang anak untuk menjadi sosok yang tahan banting. Seorang anak harus siap berhadapan dengan tantangan.

Ketika anak hidup dengan fasilitas berlimpah, ia kehilangan daya juang serta bertahan hidup, sesuatu yang dahulu dimiliki orang tuanya dan bisa membawa pada kemakmuran.

Sering orang tua tidak menyadari bahwa sikap terlalu mengambil alih semua persoalan yang dihadapi anak dan pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus. Kelak, anak kehilangan daya juang dalam upaya menggapai impian.

Apa yang terjadi di Palembang adalah fenomena generasi strawbery di sekitar kita. Orang tuanya berpikir ketika anaknya dibentak oleh teman, maka harus langsung turun tangan untuk mengambil alih.

Ia tidak memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyelesaikan masalah sendiri. Akibatnya si anak tidak punya daya tahan menghadapi kesulitan.

Orang tua selalu mendampingi seorang anak, bahkan terlibat dalam urusan kecil, walaupun si anak sudah dewasa dan berstatus mahasiswa.

Si anak tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam kasus ini, karena itu merupakan hasil didikan orang tua yang selalu mengambil alih semua masalah yang dihadapi anaknya.


Tantangan hidup

Sebagai pengajar, Rhenald Kasali pernah memberi tugas mahasiswanya untuk bepergian ke luar negeri sendirian.

Tugas tersebut diawali dengan membuat paspor, kemudian memilih negara tujuan yang akan dikunjungi, dengan syarat tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste, atau Brunei Darussalam yang artinya harus pergi ke negara sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

Saat mahasiswa bertanya uang untuk membeli tiket dari mana, Rhenald menjawab tidak tahu dan menasehati hanya orang bodoh yang memulai misi dan tujuan hidup dari uang.

Ia memberi tenggat 1,5 bulan kepada mahasiswa untuk bepergian ke luar negeri. Masing-masing mahasiswa harus datang ke negara berbeda.

Tugas ini bertujuan membentuk kemampuan metakognisi, yaitu mampu mencari solusi dan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.

Ketika mahasiswa kesasar di luar negeri sendirian, maka otak akan aktif mencari solusi. Ini sejalan dengan filosofi penemu Benua Amerika Columbus yang berkata "Kalau saya tidak pernah mau kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru".

Alhasil para mahasiswa berpetualang ke Islandia, Laos, Jepang, Thailand, Uni Emirat Arab, Jerman, dan negara lainnya, yang warganya tidak menggunakan bahasa Inggris.

Dari situ, para mahasiswa belajar untuk cepat mengambil keputusan dan mengandalkan diri sendiri untuk keluar dari masalah. Ini merupakan salah satu kurikulum kehidupan yang tidak dijumpai di bangku sekolah maupun kampus.

Rhenald menyoroti sistem pendidikan di Indonesia yang hanya membentuk remaja, bukan pemuda. Sehingga dijumpai mahasiswa yang sudah lulus kuliah masih belum mandiri. Sedikit-sedikit kata orang tua saya, padahal mereka sudah dewasa dan harus punya pilihan sendiri.

Karena itu para orang tua, sudahi memanjakan anak dengan fasilitas berlimpah. Beri mereka tantangan agar bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Dunia nyata yang ada di luar amat keras dan tidak selamanya orang tua bisa terus mendampingi anak.

Kesuksesan anak tidak bisa diraih melalui jalan pintas. Mentalitas rapuh harus diubah menjadi tangguh, yakni manusia yang berkarakter kuat, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikiran.

Pewarta: Ikhwan Wahyudi

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024