Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Novita Wijayanti mengatakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang akan diterapkan mulai Januari 2025 berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan merupakan produk legislasi kolektif antara pemerintah yang dikuasai PDIP dengan legislatif ketika itu.
Menurut dia, undang-undang tersebut disahkan pada tahun 2021 dan akan diterapkan mulai Januari 2025, dengan salah satu poinnya terkait kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Sejatinya justru mereka (PDIP) yang mengusulkan dan memutuskan, sekarang seolah-olah melempar kesalahan kepada Pak Prabowo, di mana Pak Prabowo menjadi Presiden baru dua bulan," kata Novita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Seharusnya, kata Novita, para pemangku kepentingan tidak bersandiwara seolah-olah menjadi korban untuk mendapatkan simpati rakyat.
Dia pun menyayangkan adanya sikap PDIP yang menolak kenaikan PPN 12 persen yang merupakan hasil kesepakatan bersama.
Menurut Novita, saat ini yang paling penting adalah bagaimana bersama-sama mencari solusi untuk meringankan beban rakyat, sambil tetap menjaga keberlanjutan pembangunan dan ekonomi.
"Fokus kita sekarang adalah bagaimana menuntaskan tantangan ekonomi yang ada dan memastikan kebijakan ini dapat dijalankan dengan bijaksana demi kepentingan rakyat," katanya.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (22/12).
Oleh karena itu, Deddy yang juga anggota Komisi II DPR RI itu menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen itu hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Permintaan itu bukan berarti Fraksi PDIP menolak rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Menurut dia, undang-undang tersebut disahkan pada tahun 2021 dan akan diterapkan mulai Januari 2025, dengan salah satu poinnya terkait kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Sejatinya justru mereka (PDIP) yang mengusulkan dan memutuskan, sekarang seolah-olah melempar kesalahan kepada Pak Prabowo, di mana Pak Prabowo menjadi Presiden baru dua bulan," kata Novita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Seharusnya, kata Novita, para pemangku kepentingan tidak bersandiwara seolah-olah menjadi korban untuk mendapatkan simpati rakyat.
Dia pun menyayangkan adanya sikap PDIP yang menolak kenaikan PPN 12 persen yang merupakan hasil kesepakatan bersama.
Menurut Novita, saat ini yang paling penting adalah bagaimana bersama-sama mencari solusi untuk meringankan beban rakyat, sambil tetap menjaga keberlanjutan pembangunan dan ekonomi.
"Fokus kita sekarang adalah bagaimana menuntaskan tantangan ekonomi yang ada dan memastikan kebijakan ini dapat dijalankan dengan bijaksana demi kepentingan rakyat," katanya.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (22/12).
Oleh karena itu, Deddy yang juga anggota Komisi II DPR RI itu menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen itu hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Permintaan itu bukan berarti Fraksi PDIP menolak rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024