Tragedi Hiroshima dan Nagasaki adalah pengingat betapa berbahayanya kesalahpahaman dalam berbahasa.
Mengingat sebagian sejarawan mencatat kedua kota di Jepang itu dibom akibat kata yang salah diterjemahkan, tanpa konteks budaya yang cukup, ibarat api kecil yang menyulut bensin.
Dalam sejarahnya kisah memilukan itu terjadi pada 1945, tepatnya setelah Konferensi Potsdam, Sekutu mengeluarkan Deklarasi Potsdam, yang berisi ultimatum kepada Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Jika Jepang menolak, Sekutu mengancam akan memberikan "kehancuran besar" terhadap negara tersebut.
Perdana Menteri Jepang saat itu, Kantaro Suzuki, diminta memberikan tanggapan atas deklarasi ini. Dalam jawabannya kepada pers, ia menggunakan kata mokusatsu untuk menggambarkan sikap pemerintah Jepang terhadap ultimatum tersebut.
Kata mokusatsu dalam bahasa Jepang dapat memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya yakni "mengabaikan dengan penuh penghinaan" (interpretasi negatif) atau tidak memberikan komentar untuk saat ini" (interpretasi netral).
Dalam konteks diplomasi, kemungkinan besar maksud Suzuki adalah makna kedua, yaitu bahwa pemerintah Jepang masih mempertimbangkan ultimatum tersebut dan belum ingin memberikan tanggapan resmi, karena masih menunggu sikap Moscow.
Namun, penerjemah Sekutu kemungkinan karena kurang memahami konteks budaya dan politik Jepang saat itu menerjemahkan mokusatsu sebagai "mengabaikan dengan penghinaan." Akibatnya, Sekutu menganggap Jepang dengan sengaja menolak ultimatum Potsdam.
Kesalahpahaman ini diduga menjadi salah satu alasan yang mempercepat keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945, diikuti oleh Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Kedua peristiwa ini menewaskan ratusan ribu orang dan akhirnya memaksa Jepang menyerah.
Kisah ini sering digunakan sebagai contoh penting dalam studi penerjemahan dan komunikasi antarbudaya. Memahami konteks budaya, politik, dan situasi komunikasi sangat penting dalam penerjemahan.
Sebab, kesalahan kecil dalam penerjemahan dapat mendatangkan konsekuensi yang begitu besar, terutama dalam situasi sensitif seperti negosiasi perang. Maka penerjemahan tidak hanya soal bahasa, tetapi juga memahami maksud di balik kata-kata.
Walaupun sebagian orang percaya peran mokusatsu tidak sepenuhnya menjadi penyebab tunggal tragedi Hiroshima dan Nagasaki, kesalahan interpretasi ini menunjukkan betapa pentingnya diplomasi bahasa dalam sejarah dunia.
Faktor politis
Boris Naimushin, Associate Professor dalam bidang Penerjemahan dan Penafsiran di Departemen Bahasa dan Budaya Asing di New Bulgarian University, Sofia, Bulgaria, dalam artikelnya "Hiroshima, Mokusatsu and Alleged Mistranslations," berpendapat bahwa fokus pada satu kata tanpa mempertimbangkan konteks keseluruhan dapat mengalihkan perhatian dari faktor politik yang lebih luas.
Menurutnya, pesan keseluruhan dari pernyataan Suzuki jelas menolak ultimatum Sekutu, terlepas dari bagaimana "mokusatsu" diterjemahkan.
Ia bukan satu-satunya sejarawan yang percaya bahwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki merupakan langkah strategis untuk menunjukkan kekuatan kepada dunia, khususnya Uni Soviet, yang mulai muncul sebagai kekuatan global.
Jika itu benar, maka mokusatsu hanyalah alasan yang dicari-cari untuk melegitimasi keputusan yang sudah dirancang sebelumnya.
Meskipun dari situ dapat diambil pelajaran yang berarti bahwa salah satu alat paling mematikan dalam sejarah manusia adalah bahasa itu sendiri.
Kata-kata yang diucapkan, dituliskan, atau diterjemahkan membawa dampak yang sering kali melampaui apa yang pernah dibayangkan.
Dalam komunikasi lintas bahasa dan budaya, ambiguitas sering kali adalah musuh terbesar. Penerjemah Sekutu memahami mokusatsu sebagai bentuk penghinaan dan penolakan mutlak terhadap ultimatum.
Dalam konteks perang yang penuh ketegangan, interpretasi itu menjadi titik balik yang fatal. Sekutu, khususnya Amerika Serikat, menganggap Jepang tidak hanya menolak menyerah, tetapi juga menghina tuntutan mereka.
Beberapa pekan kemudian, dua kota Jepang menjadi saksi kekuatan destruktif bom atom, sebuah keputusan yang melibatkan bukan hanya teknologi, tetapi juga politik, kuasa, dan ego.
Namun, apakah kesalahan terletak sepenuhnya pada penerjemahan? Atau, mungkinkah mokusatsu hanyalah sebuah kebetulan dalam skenario yang jauh lebih besar? Di balik kata ini, ada pelajaran mendalam tentang cara manusia memahami atau gagal memahami satu sama lain.
Kisah ini mengajarkan semua tentang kompleksitas komunikasi, terutama ketika lintas budaya. Kata-kata tidak pernah hanya soal makna harfiah dimana mereka adalah produk dari budaya, nilai, dan konteks sejarah.
Dalam budaya Jepang, ketidaklangsungan adalah kebiasaan yang sering dipilih untuk menjaga kehormatan dan martabat, baik individu maupun bangsa.
Sebuah jawaban seperti mokusatsu mungkin dianggap wajar dalam komunikasi internal Jepang, namun menjadi bencana dalam interaksi internasional.
Sebaliknya, dalam budaya Barat, yang sering kali lebih lugas dan langsung, ambiguitas seperti ini bisa disalahartikan sebagai tantangan atau penghinaan.
Membangun dunia
Namun, di luar itu, peristiwa ini mengangkat pertanyaan yang lebih besar: Berapa banyak tragedi dalam sejarah yang sebenarnya bisa dihindari jika manusia lebih berhati-hati dengan bahasa?
Berapa kali komunikasi yang salah menjadi awal dari konflik besar? Dan mengapa, meskipun manusia memiliki teknologi canggih, mereka masih terus jatuh dalam jebakan kesalahpahaman ini?
Era modern menawarkan pelajaran baru. Dengan penerjemah berbasis kecerdasan buatan, akses informasi yang lebih luas, dan platform komunikasi global, manusia seharusnya bisa mengurangi risiko seperti ini.
Tetapi teknologi, betapapun canggihnya, tidak pernah bisa menggantikan pemahaman mendalam tentang budaya dan manusia. Kata-kata adalah sesuatu yang hidup, mereka membawa emosi, niat, dan sejarah yang tak bisa sepenuhnya diurai oleh algoritma.
Mokusatsu adalah simbol dari batasan pemahaman manusia, sebuah pengingat bahwa komunikasi yang buruk bisa menjadi senjata paling berbahaya.
Dalam konteks perang, ia menghancurkan kota. Dalam kehidupan sehari-hari, ia merusak hubungan, menimbulkan salah paham, dan membangun tembok di antara kita.
Namun, pelajaran terbesar dari kisah ini mungkin adalah pengingat tentang tanggung jawab moral yang dimiliki dalam menggunakan bahasa.
Kata-kata bukan sekadar alat komunikasi; mereka adalah jembatan, atau dalam kasus tertentu, tembok. Ketika manusia berbicara, menulis, atau menerjemahkan, ia tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga membangun dunia.
Dan dunia seperti apa yang ingin dibangun tergantung pada seberapa bijaksana dalam memilih kata-kata.
Bayangkan sejenak jika Suzuki menggunakan kata lain yang lebih lugas, atau jika penerjemah Sekutu mengambil waktu untuk menggali makna budaya di balik mokusatsu. Barangkali, sejarah akan berjalan berbeda. Mungkin, Hiroshima dan Nagasaki tidak akan menjadi monumen kesalahan manusia dalam berkomunikasi.
Faktanya manusia hidup di dunia yang penuh dengan ambiguitas. Tetapi, tragedi seperti ini mengajarkan semua untuk selalu mencari makna di balik kata-kata, untuk memahami bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga mengapa itu dikatakan.
Dalam dunia yang semakin terhubung, pelajaran ini lebih relevan dari sebelumnya. Sebab, di dalam setiap kata, ada kuasa. Dan kuasa itu, jika disalahgunakan atau salah dipahami, dapat membawa seseorang ke puncak perdamaian atau ke jurang kehancuran.
Mokusatsu, pada akhirnya, adalah lebih dari sekadar kata. Ia adalah pengingat abadi tentang kompleksitas bahasa, kesalahan manusia, dan pentingnya empati dalam memahami satu sama lain.
Sebuah pelajaran yang jika dipahami dengan benar, dapat membantu manusia dalam membangun dunia yang lebih damai. Atau, setidaknya, dunia di mana kata-kata tidak lagi menjadi alasan untuk perang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Mengingat sebagian sejarawan mencatat kedua kota di Jepang itu dibom akibat kata yang salah diterjemahkan, tanpa konteks budaya yang cukup, ibarat api kecil yang menyulut bensin.
Dalam sejarahnya kisah memilukan itu terjadi pada 1945, tepatnya setelah Konferensi Potsdam, Sekutu mengeluarkan Deklarasi Potsdam, yang berisi ultimatum kepada Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Jika Jepang menolak, Sekutu mengancam akan memberikan "kehancuran besar" terhadap negara tersebut.
Perdana Menteri Jepang saat itu, Kantaro Suzuki, diminta memberikan tanggapan atas deklarasi ini. Dalam jawabannya kepada pers, ia menggunakan kata mokusatsu untuk menggambarkan sikap pemerintah Jepang terhadap ultimatum tersebut.
Kata mokusatsu dalam bahasa Jepang dapat memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya yakni "mengabaikan dengan penuh penghinaan" (interpretasi negatif) atau tidak memberikan komentar untuk saat ini" (interpretasi netral).
Dalam konteks diplomasi, kemungkinan besar maksud Suzuki adalah makna kedua, yaitu bahwa pemerintah Jepang masih mempertimbangkan ultimatum tersebut dan belum ingin memberikan tanggapan resmi, karena masih menunggu sikap Moscow.
Namun, penerjemah Sekutu kemungkinan karena kurang memahami konteks budaya dan politik Jepang saat itu menerjemahkan mokusatsu sebagai "mengabaikan dengan penghinaan." Akibatnya, Sekutu menganggap Jepang dengan sengaja menolak ultimatum Potsdam.
Kesalahpahaman ini diduga menjadi salah satu alasan yang mempercepat keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945, diikuti oleh Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Kedua peristiwa ini menewaskan ratusan ribu orang dan akhirnya memaksa Jepang menyerah.
Kisah ini sering digunakan sebagai contoh penting dalam studi penerjemahan dan komunikasi antarbudaya. Memahami konteks budaya, politik, dan situasi komunikasi sangat penting dalam penerjemahan.
Sebab, kesalahan kecil dalam penerjemahan dapat mendatangkan konsekuensi yang begitu besar, terutama dalam situasi sensitif seperti negosiasi perang. Maka penerjemahan tidak hanya soal bahasa, tetapi juga memahami maksud di balik kata-kata.
Walaupun sebagian orang percaya peran mokusatsu tidak sepenuhnya menjadi penyebab tunggal tragedi Hiroshima dan Nagasaki, kesalahan interpretasi ini menunjukkan betapa pentingnya diplomasi bahasa dalam sejarah dunia.
Faktor politis
Boris Naimushin, Associate Professor dalam bidang Penerjemahan dan Penafsiran di Departemen Bahasa dan Budaya Asing di New Bulgarian University, Sofia, Bulgaria, dalam artikelnya "Hiroshima, Mokusatsu and Alleged Mistranslations," berpendapat bahwa fokus pada satu kata tanpa mempertimbangkan konteks keseluruhan dapat mengalihkan perhatian dari faktor politik yang lebih luas.
Menurutnya, pesan keseluruhan dari pernyataan Suzuki jelas menolak ultimatum Sekutu, terlepas dari bagaimana "mokusatsu" diterjemahkan.
Ia bukan satu-satunya sejarawan yang percaya bahwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki merupakan langkah strategis untuk menunjukkan kekuatan kepada dunia, khususnya Uni Soviet, yang mulai muncul sebagai kekuatan global.
Jika itu benar, maka mokusatsu hanyalah alasan yang dicari-cari untuk melegitimasi keputusan yang sudah dirancang sebelumnya.
Meskipun dari situ dapat diambil pelajaran yang berarti bahwa salah satu alat paling mematikan dalam sejarah manusia adalah bahasa itu sendiri.
Kata-kata yang diucapkan, dituliskan, atau diterjemahkan membawa dampak yang sering kali melampaui apa yang pernah dibayangkan.
Dalam komunikasi lintas bahasa dan budaya, ambiguitas sering kali adalah musuh terbesar. Penerjemah Sekutu memahami mokusatsu sebagai bentuk penghinaan dan penolakan mutlak terhadap ultimatum.
Dalam konteks perang yang penuh ketegangan, interpretasi itu menjadi titik balik yang fatal. Sekutu, khususnya Amerika Serikat, menganggap Jepang tidak hanya menolak menyerah, tetapi juga menghina tuntutan mereka.
Beberapa pekan kemudian, dua kota Jepang menjadi saksi kekuatan destruktif bom atom, sebuah keputusan yang melibatkan bukan hanya teknologi, tetapi juga politik, kuasa, dan ego.
Namun, apakah kesalahan terletak sepenuhnya pada penerjemahan? Atau, mungkinkah mokusatsu hanyalah sebuah kebetulan dalam skenario yang jauh lebih besar? Di balik kata ini, ada pelajaran mendalam tentang cara manusia memahami atau gagal memahami satu sama lain.
Kisah ini mengajarkan semua tentang kompleksitas komunikasi, terutama ketika lintas budaya. Kata-kata tidak pernah hanya soal makna harfiah dimana mereka adalah produk dari budaya, nilai, dan konteks sejarah.
Dalam budaya Jepang, ketidaklangsungan adalah kebiasaan yang sering dipilih untuk menjaga kehormatan dan martabat, baik individu maupun bangsa.
Sebuah jawaban seperti mokusatsu mungkin dianggap wajar dalam komunikasi internal Jepang, namun menjadi bencana dalam interaksi internasional.
Sebaliknya, dalam budaya Barat, yang sering kali lebih lugas dan langsung, ambiguitas seperti ini bisa disalahartikan sebagai tantangan atau penghinaan.
Membangun dunia
Namun, di luar itu, peristiwa ini mengangkat pertanyaan yang lebih besar: Berapa banyak tragedi dalam sejarah yang sebenarnya bisa dihindari jika manusia lebih berhati-hati dengan bahasa?
Berapa kali komunikasi yang salah menjadi awal dari konflik besar? Dan mengapa, meskipun manusia memiliki teknologi canggih, mereka masih terus jatuh dalam jebakan kesalahpahaman ini?
Era modern menawarkan pelajaran baru. Dengan penerjemah berbasis kecerdasan buatan, akses informasi yang lebih luas, dan platform komunikasi global, manusia seharusnya bisa mengurangi risiko seperti ini.
Tetapi teknologi, betapapun canggihnya, tidak pernah bisa menggantikan pemahaman mendalam tentang budaya dan manusia. Kata-kata adalah sesuatu yang hidup, mereka membawa emosi, niat, dan sejarah yang tak bisa sepenuhnya diurai oleh algoritma.
Mokusatsu adalah simbol dari batasan pemahaman manusia, sebuah pengingat bahwa komunikasi yang buruk bisa menjadi senjata paling berbahaya.
Dalam konteks perang, ia menghancurkan kota. Dalam kehidupan sehari-hari, ia merusak hubungan, menimbulkan salah paham, dan membangun tembok di antara kita.
Namun, pelajaran terbesar dari kisah ini mungkin adalah pengingat tentang tanggung jawab moral yang dimiliki dalam menggunakan bahasa.
Kata-kata bukan sekadar alat komunikasi; mereka adalah jembatan, atau dalam kasus tertentu, tembok. Ketika manusia berbicara, menulis, atau menerjemahkan, ia tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga membangun dunia.
Dan dunia seperti apa yang ingin dibangun tergantung pada seberapa bijaksana dalam memilih kata-kata.
Bayangkan sejenak jika Suzuki menggunakan kata lain yang lebih lugas, atau jika penerjemah Sekutu mengambil waktu untuk menggali makna budaya di balik mokusatsu. Barangkali, sejarah akan berjalan berbeda. Mungkin, Hiroshima dan Nagasaki tidak akan menjadi monumen kesalahan manusia dalam berkomunikasi.
Faktanya manusia hidup di dunia yang penuh dengan ambiguitas. Tetapi, tragedi seperti ini mengajarkan semua untuk selalu mencari makna di balik kata-kata, untuk memahami bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga mengapa itu dikatakan.
Dalam dunia yang semakin terhubung, pelajaran ini lebih relevan dari sebelumnya. Sebab, di dalam setiap kata, ada kuasa. Dan kuasa itu, jika disalahgunakan atau salah dipahami, dapat membawa seseorang ke puncak perdamaian atau ke jurang kehancuran.
Mokusatsu, pada akhirnya, adalah lebih dari sekadar kata. Ia adalah pengingat abadi tentang kompleksitas bahasa, kesalahan manusia, dan pentingnya empati dalam memahami satu sama lain.
Sebuah pelajaran yang jika dipahami dengan benar, dapat membantu manusia dalam membangun dunia yang lebih damai. Atau, setidaknya, dunia di mana kata-kata tidak lagi menjadi alasan untuk perang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024