Tahun 2024 merupakan masa peralihan politik mulai dari unsur legislatif hingga eksekutif dengan berbagai dinamikanya, namun sama-sama memiliki visi demi memajukan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.

Selain berbagai langkah dari Presiden Ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo untuk menyiapkan suksesi kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR RI periode 2019--2024 juga meramu berbagai produk legislasi untuk memuluskan jalan bagi purnawirawan Jenderal TNI itu untuk membangun negeri ini.

Alhasil, Pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang baru berusia 3 bulan mampu mendapatkan perhatian khusus dari DPR RI sebelum dilantik pada 20 Oktober 2024.

Dengan koalisi besar dan tidak adanya unsur oposisi yang tegas, para wakil rakyat di Senayan itu setidaknya menyiapkan fondasi bagi Prabowo dan Gibran agar lebih leluasa memimpin Indonesia lebih baik. Hadiah keleluasaan yang dimaksud, yaitu dari sisi politik maupun dari sisi keuangan.

Walaupun poin-poin dalam misi Prabowo yaitu Astacita lebih sedikit dari Joko Widodo dengan Nawacita, program yang hendak dijalankan Prabowo Subianto juga tak kalah besar. Salah satunya, yaitu program Makan Bergizi Gratis yang harus menyentuh anak sekolah dan ibu hamil yang membutuhkan di seluruh daerah hingga pelosok Indonesia.

Penambahan kementerian

Jumlah kementerian yang bertambah pada era Presiden Prabowo Subianto tak lain merupakan buah dari disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menjadi undang-undang.

Persetujuan oleh DPR itu dilakukan ketika Rapat Paripurna Ke-7 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 pada 19 September 2024. Saat itu, seluruh fraksi pun menyetujui rancangan undang-undang tersebut.

Badan Legislasi DPR RI juga menyatakan bahwa penyusunan RUU Kementerian Negara bertujuan untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, demokratis, dan efektif.

Terdapat enam perubahan yang disepakati dalam RUU Kementerian Negara. Salah satu ketentuan krusial yang diubah dalam UU tersebut yakni mengakomodasi pembentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan Presiden sehingga tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.

Secara garis besar enam perubahan dalam RUU Kementerian Negara yang disepakati, yaitu: (1) penyisipan Pasal 6A terkait pembentukan kementerian tersendiri yang didasarkan pada sub urusan pemerintahan sepanjang memiliki keterkaitan ruang lingkup urusan pemerintahan; (2) penyisipan Pasal 9A terkait penulisan, pencantuman, dan/atau pengaturan unsur organisasi dapat dilakukan perubahan oleh presiden sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.

Lalu, (3) penghapusan penjelasan Pasal 10 sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011; (4) perubahan Pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden.

Walaupun jumlah kementerian tidak dibatasi, sebetulnya jumlah kementerian bisa dikurangi berdasarkan kebutuhan Presiden. Adapun kini Presiden Prabowo Subianto sudah menetapkan bahwa jumlahnya menjadi 48 kementerian.

Keleluasaan anggaran

Dengan ditambahnya kementerian, maka penyesuaian anggaran pun diperlukan untuk menyokong program-program Pemerintah yang sudah dipecah-pecah ke setiap kementerian.

Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 oleh DPR RI juga memberi keleluasaan bagi Prabowo untuk mengatur jumlah kementerian. Adapun DPR RI mengesahkan RUU APBN 2025 menjadi UU APBN 2025 dalam Rapat Paripurna pada 19 September 2024.

Keleluasaan bagi Presiden sudah diatur dalam Pasal 51 UU APBN 2025 ketika ada kementerian atau lembaga yang mengalami pemisahan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku.

Namun, pasal itu juga menyebutkan bahwa pengalokasian anggaran bagi kementerian yang mengalami pemisahan itu tetap harus mendapat persetujuan dari DPR RI melalui alat kelengkapan terkait.

Badan Anggaran (Banggar) DPR RI juga menyatakan jika nantinya sampai perlu ada perubahan, maka hal itu akan masuk pada APBN Perubahan (APBNP).

Selain soal alokasi anggaran, Banggar DPR RI juga menyebut APBN 2025 yang disetujui pengesahannya cukup memberikan kelonggaran fiskal bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Dalam UU APBN 2025, Pemerintah menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun, belanja negara Rp3.621,3 triliun, defisit Rp616,19 triliun dengan keseimbangan primer defisit sebesar Rp63,33 triliun, serta pembiayaan anggaran sebesar Rp616,2 triliun.

Kemudian penerimaan perpajakan untuk 2025 ditargetkan mencapai Rp2.490,9 triliun, sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2025 ditargetkan mencapai Rp513,6 triliun.

Dewan Pertimbangan Presiden

Selain leluasa mengatur jumlah kementerian, Presiden pun kini sudah leluasa untuk menentukan jumlah Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) setelah disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres (RUU Wantimpres) menjadi undang-undang.

Badan Legislasi DPR RI menjelaskan bahwa terdapat delapan poin perubahan dalam RUU Wantimpres yang disepakati. Adapun perubahan yang penting dalam UU tersebut yaitu pada Pasal 7 ayat (1) terkait komposisi Wantimpres RI yang terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan beberapa orang anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Kemudian UU tersebut mempertahankan nomenklatur yang ada saat ini dengan hanya menambahkan frasa Republik Indonesia di belakang kata Wantimpres, dan membatalkan wacana perubahan menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Pemerintah pada saat itu pun mendukung sepenuhnya penyusunan RUU Wantimpres yang bertujuan memperkuat fungsi dan peran strategis Wantimpres sebagai lembaga yang memberikan masukan dan pertimbangan kepada presiden.

Memperkuat landasan kabupaten/kota

Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, undang-undang tentang provinsi, kabupaten, hingga kota nyatanya belum memiliki landasan hukum yang kuat karena UU tersebut sebelumnya dibuat dengan undang-undang sementara di bawah pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan dasar Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945.

Adapun kini status Indonesia telah beralih menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sehingga Komisi II DPR RI pun menggenjot pembahasan RUU untuk puluhan kabupaten/kota pada tahun 2024, setelah sebelumnya selesai membahas RUU untuk Provinsi.

Pada tahun 2024, ada 132 RUU Kabupaten/Kota yang pembahasannya telah selesai hingga disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI. Selain memberikan kepastian hukum, RUU tersebut pun disusun dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Adapun pembentukan 132 UU itu terbagi ke dalam tiga tahap di Komisi II DPR RI, yaitu tahap pertama pembentukan 27 UU Kabupaten/Kota untuk Klaster I, kemudian tahap kedua pembentukan 26 UU Kabupaten/Kota untuk Klaster II, dan tahap ketiga pembentukan 79 UU Kabupaten/Kota untuk Klaster III, Klaster IV, dan Klaster V.

Pembaruan tersebut diharapkan oleh Komisi II DPR RI untuk mencegah konflik hukum dan administrasi yang mungkin timbul akibat dasar hukum yang tidak lagi relevan. Inisiatif tersebut merupakan langkah penting dalam menghadapi perubahan dan perkembangan masyarakat, hingga untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

Dengan landasan regulasi yang telah disusun, Pemerintah Prabowo-Gibran memiliki peluang besar untuk melanjutkan pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan.

Keselarasan antara legislatif dan eksekutif menjadi faktor kunci dalam mengoptimalkan berbagai kebijakan tersebut agar Pemerintah dapat menghadirkan tata kelola yang lebih inklusif, transparan, dan progresif untuk seluruh rakyat Indonesia.

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024