Sedikitnya di atas kertas, kekhawatiran atas kegaduhan yang berlangsung selama kampanye dan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada 2017 tampaknya tak perlu.

Mengapa? Sebab semua elemen sosial, terutama yang merupakan pilar demokrasi, seperti media massa arus utama, telah mengkristalkan tekad mereka untuk mendukung kampanye damai, menjauhi isu bermuatan permusuhan sektarian etnis dan keagamaan.

Para pimpinan media massa bisa dipastikan mengambil kebijakan natural mereka untuk menginstruksikan awak redaksi dalam melahirkan berita yang berimbang, akurat, tak tendensius dan tak provokatif.

Para kandidat yang akan bersaing untuk merebut posisi kekuasaan politik nomor satu di Ibu Kota itu juga menyadari untuk bersaing secara elegan politis demokratis.

Kebetulan saat ini, salah satu kandidat yang bersaing dalam pilgub yang menjadi indikator bagi peta kekuatan untuk pilpres mendatang itu adalah politisi dari etnis Tionghoa, yakni petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Sentimen rasial yang, diakui atau tidak, tentu mengendap di sebagian warga yang menjadi bagian dari unsur-unsur kekuatan politik yang akan terlibat dalam perburuan kekuasaan di DKI Jakarta.

Apakah sentimen itu bisa membakar situasi pada Pilgub DKI Jakarta mendatang? Banyak hal yang bisa terjadi. Namun, yang terpenting adalah bahwa sejauh kesepakatan untuk berkampanye secara damai di kalangan kelompok-kelompok strategis yang terlibat dalam pilpres sudah mengkristal, selama itu pula daya provokasi tak perlu dikhawatirkan.

Setelah kesepakatan itu terkristal, faktor penentu lain yang layak dijadikan perhitungan adalah kesiapan dan kesigapan polisi dalam mengamankan situasi politik menjelang dan selama pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta itu.

Di jajaran redaksi media massa arus utama, pakem pemberitaan mereka sudah bisa diibaratkan hukum besi. Mereka tak akan mengabaikan panduan penulisan jurnalistik profesional yang mengedepankan keberimbangan dan akurasi.

Namun, tentu masih ada kerikil-kerikil tajam yang akan mewarnai penyelenggaraan Pilgub DKI Jakarta itu, yakni suara-suara, opini-opini yang berseliweran di jagat media sosial. Di alam maya inilah provokasi, sindiran, gerutuan, makian yang tak mendukung kesepakatan kampanye damai bermunculan.

Para pelaku atau aktor politik anonim yang bergerilya di ranah media sosial akan mengeruhkan situasi, ya tentu sebatas di dunia maya, untuk mencari celah mereguk keuntungan pribadi atau kelompok selama Pilgub DKI Jakarta.

Yang tak mau ketinggalan dalam perhelatan Pilgub yang diikuti tiga kandidat yang diusung oleh sejumlah parpol itu adalah para netizen yang punya watak iseng untuk membuat sesama warga dunia maya mengernyit atau senyum lewat berbagai meme dan lontaran pernyataan kocak sebagai hasil kerja kreatif mereka.

Polisi pun tak perlu reaktif dan tergesa-gesa melakukan pemberangusan terhadap kreativitas kaum netizen itu. Sesungguhnya yang terpenting dalam pertarungan politik adalah kematangan alias kedewasaan sebagian besar warga yang menjadi subjek Pilgub DKI Jakarta.

Para elite politik yang bertempur di ranah diskursus politik tak akan memicu kegaduhan atau keributan sejauh massa politik tak termakan oleh pernyataan provokatif yang terlontar.

Sekadar sebagai komparasi, perlulah di sini diambil contoh dari negeri yang sudah tua usia dalam mempraktikkan demokrasi. Belum lama ini, dalam konteks persaingan kursi presiden mendatang di Amerika Serikat, Donald Trump, kandidat presiden dari Partai Republik mengeluarkan pernyataan yang provokatif bahwa Barack Obama adalah dalang terorisme dan pendiri ISIS.

Pernyataan provokatif itu pertama-tama tak membuat Obama dan kaum yang seideologis dari Partai Demokrat untuk bereaksi berlebihan. Dan yang terpenting dari semua itu, warga Amerika menanggapi pernyataan pebisnis properti itu dengan adem ayem saja.

Reaksi adem ayem atas pernyataan provokatif dari elite politik yang sedang berkompetisi dalam pilpres itu bisa dibaca sebagai kedewasaan politik warga.

Kondisi ideal semacam itu perlu dibangun dalam perpolitikan di Tanah Air sehingga pemandangan demokrasi yang damai kian mewujud, baik untuk masa kini maupun masa mendatang.

Warga masyarakat di Tanah Air agaknya juga perlu didewasakan untuk membedakan antara isu politik dan isu di luar politik atau isu politik sekunder yang bisa saja menyangkut masalah kerukunan antarumat beragama. Tak sedikit elite politik yang memanfaatkan sensitivitas isu di luar politik untuk mengalihkan isu riil politik.

Perkara penistaan agama yang berkembang dalam konstelasi politik menjelang Pilgub DKI Jakarta antara lain bisa dimaknai sebagai salah satu srategi bagaimana persoalan politik yang sesungguhnya teralihkan oleh persoalan politik sekunder.

Perkara politik riil di Pilgub DKI adalah memilih gubernur mendatang yang terbaik, yang bisa menolak suap, menghukum bawahan yang korup, menghadapi legislator yang licik.

Gubernur yang terbaik itu juga harus merupakan pemimpin yang sanggup menyediakan fasilitas umum yang terbaik, seperti alat transportasi umum yang nyaman dan murah. Gubernur seperti itu harus berani menolak konspirasi jahat kaum pengusaha angkutan umum yang membiarkan bus-bus mereka beroperasi tanpa adanya pesaing yang memberikan layanan lebih baik dengan tarif lebih murah.

Jangan sampai warga digiring untuk melupakan isu utama itu dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 dengan mengedepankan persoalan sekunder politik semacam isu penistaan agama.

Akhirnya, bingkai atau lahan demokrasi yang mengutamakan kedamaian telah dibentuk menjelang kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 sehingga kekhawatiran atas terjadinya dinamika liar yang mengakibatkan kegaduhan politik di sana tak perlu lagi.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016